ASEAN Bisa Menua Sebelum Kaya
Bagi ASEAN, apakah hierarki kepimpinan ekonomi Jepang akan berlanjut dengan China? Atau akan win-win? Hipotesisnya, pola serupa terjadi, ada asimetri. Perbedaan mungkin hanya pada derajadnya.
Ekonomi ASEAN mandek, tidak kunjung beranjak dari status berpendapatan menengah ke tinggi. Kecuali Singapura, ASEAN terjebak hanya pada status itu belasan atau puluhan tahun, disebut middle income trap. Ciri-ciri ekonomi negara seperti ini adalah pertumbuhan yang melambat, upah riil mandek atau anjlok, pendapatan timpang, dan maraknya kegiatan sektor informal.
Demografi muda di negara yang terperangkap berpotensi menua sebelum kaya. “Akankah penduduk negara-negara berkembang Asia menua sebelum sempat kaya?” demikian Anoop Singh, Direktur Departemen Asia Pasifik IMF menuliskan, 29 April 2015. Pertumbuhan di Indonesia, Malaysia, Thailand melambat dan lebih rendah dari pertumbuhan sebelum krisis 1997. Emerging Asia: At Risk of the “Middle-Income Trap”? (imf.org)
Filipina berhasil meraih status berpendapatan kelas menengah pada 1996 dan tetap pada posisi itu. Thailand berstatus berpendapatan menengah lebih tinggi pada 2011 tapi tak kunjung kaya. Malaysia dan Indonesia juga terjebak pada status serupa. final paper 1 with all corrections (gdn.int)
Baca juga: Siapkan KTT ASEAN, RI Fokus Dorong Asia Tenggara Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi
Pada 2014, Bank Pembangunan Asia (ADB) mengingatkan ASEAN4 (Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina) untuk melepaskan diri dari jebakan. Para pengambil kebijakan ASEAN, demikian ADB, agar merencanakan pembangunan, liberalisasi dan restrukturisasi lebih lanjut, menurunkan biaya-biaya, meningkatkan daya saing, agar terhindar dari jebakan. The ASEAN Economy in the Regional Context: Opportunities, Challenges, and Policy Options (Regional Economic Integration Working Paper No. 145) (adb.org)
Hingga 2023, status kelas menengah ASEAN tidak berubah (lihat table). Middle Income Countries : Development news, research, data | World Bank
Dikuasai korporasi asing
Aksi untuk melepaskan diri dari jebakan ini sangat urgen. Pakar dari Japan External Trade Organization (JETRO), 5 Oktober 2019, mengingatkan efek jebakan tersebut. Warga sulit meraih pendidikan tinggi dan negara sulit membiayai riset berbiaya besar. Can multinationals save ASEAN from the middle-income trap? | East Asia Forum
Efek lain, ASEAN bisa tergantung pada korporasi multinasional asing (MNCs) dalam proses industrialisasi sekaligus mengintegrasikan ekonomi dengan sendirinya ke kawasan. Industrialisasi otomatis ini belum tentu cocok bagi setiap negara dan tidak jaminan untuk memakmurkan negara.
ASEAN tidak pernah menjadi produsen otomotif merek sendiri, tak lebih sebagai pemasok komponen Toyota, sebagai contoh. ASEAN sekaligus menjadi pasarnya. “Negara-negara bisa saja membuat wilayahnya menarik sebagai tujuan investasi, tetapi tidak dapat mendikte struktur produksi yang cocok untuk dirinya,” demikian Shigehisa Kasahara dalam laporan UNCTAD, April 2004, berjudul “The Flying Geese Paradigm: A Critical Study of Its Application to East Asian Regional Development.” UNCTAD_OSG_DP_2004_3
Baca juga: Ekonomi ASEAN Tetap Bersinar
Secara relatif, lanjut Kasahara, ASEAN semakin banyak memproduksi dan mengekspor produk-produk yang tidak lengkap (komponen-komponen). “Derajad ‘ketidaklengkapan’ lebih tinggi terjadi pada produk-produk lebih canggih. Namun, perlu kita perhatikan bahwa ‘ketidaklengkapan’ adalah konsep industrialisasi yang sewenang-wenang,” demikian Kasahara.
Lebih jauh, MNCs dan pemerintahan asalnya itu berpotensi mencengkeram. Indonesia pernah merancang mobil nasional, secepat itu juga program tersebut lenyap. Masalah bukan hanya pada siapa motor mobil nasional tersebut, tetapi Indonesia bisa terjebak tuduhan pencurian teknologi. Mobil Proton, rancangan Malaysia, tidak kunjung merajai kawasan.
Dalam kasus terbaru, Uni Eropa “mencoba” menenggelamkan hilirisasi industri berbasis komoditas. Ini kebijakan yang bisa menjebak Indonesia agar tidak kaya.
Gagalnya kapitalisme ersatz
Mengapa ASEAN terjebak? “Daya inovasi yang tidak memadai adalah inti penyebab jebakan,” demikian laporan ADB pada 2017 Escaping the Middle-Income Trap: Innovate or Perish | Asian Development Bank (adb.org)
Inovasi untuk kemajuan juga menjadi fokus ekonom AS Paul Krugman tahun 1994 lewat artikel berjudul “The Myth of Asia’s Miracle”. Krugman berkesimpulan pertumbuhan bisa meningkat dalam durasi lama hanya dengan inovasi. Krugman tidak yakin dengan upaya keras negara untuk mendorong inovasi, harus berbasiskan mekanisme pasar. Microsoft Word - TheMythofAsiasMiracle.doc (nagoya-u.ac.jp)
Ironisnya, mekanisme pasar di ASEAN relatif terhambat akibat keberadaan para kapitalisme kroni (ersatz), didukung serta dilindungi pemerintah). Kapitalis yang tumbuh alamiah tak mendapatkan hal serupa karena bukan kroni. Demikian dituliskan ekonom Australia, Anne Booth, dalam “Contemporary Capitalism and The Rise of The Tigers”, September 2013. Booth turut mengutip buku “The Rise Of Ersatz Capitalism In South-East Asia” karya Kunio Yoshihara, 1988. Disebutkan kapitalis ersatz bisa memengaruhi kebijakan pemerintah untuk kepentingannya sendiri. Routledge Handbook of Southeast Asian History (routledgehandbooks.com)
Baca juga: Potensi Ekonomi ASEAN
Isu serupa terus bertahan dan tidak dibenahi. Persaingan di Asia tidak tinggi sehingga inovasi juga mandek. Competition in Asia: too little of a good thing | East Asia Forum
ASEAN bisa terjebak dalam proses industrialisasi tanpa bisa mengendalikannya. MNCs dan para kapitalis ersatz bisa berjalan sendiri-sendiri, atau bisa berkolaborasi untuk produksi tertentu atas nama kerja sama ekonomi regional.
Tidak semua negara kaya di Asia maju berbasiskan mekanisme pasar semata. Kasahara tidak sependapat bahwa inovasi harus berdasarkan kekuatan pasar. Ada peran kuat pemerintah di Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura dan membuatnya inovatif dan menjadi kaya. China contoh terakhir tentang ini. Peran negara ini didukung keberadaan infrastruktur kelas dunia dan kelembagaan kuat. Ada disiplin pemerintah dalam mengawasi kapitalis dan perusahaan negara yang difasilitasi agar sukses berinovasi. RETHINKING DEVELOPMENT STRATEGIES AFTER THE FINANCIAL CRISIS – Volume I: Making the Case for Policy Space (unctad.org)
Kegagalan ganko keitai?
Mekanisme pasar dan “peran buram” pemerintah tidak kungjung membuat ASEAN menjadi kaya. Ada saran lama menuju kaya, yakni melibatkan diri dalam kerja sama perekonomian di kawasan. Harapannya, dengan keterlibatan muncul proses belajar, inovasi terangsang, dan siapa tahu dapat akses untuk transfer teknologi dari kerja sama.
Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura – disebut lapis pertama NIEs (newly emerging countries) Asia – masuk duluan ke dalam paradigma pembangunan ekonomi kawasan Asia yang dimotori Jepang. Paradigma ini turut didorong AS setelah Perang Dunia II, agar Asia maju dan tidak masuk kubu komunis China (Buku William R Nester berjudul “Japan's Growing Power over East Asia and the World Economy: Ends and Means”, terbitan 1990).
Program yang dipercayakan kepada Jepang ini dikenal dengan paradigma wild flying geese (ganko keitai). Angsa liar di urutan pertama memimpin penerbangan bersama dan bergerak seiring. Paradigma ini mengharuskan peran swasta, pemerintah, keberadaan infrastuktur massal, pengembangan sumber daya manusia, peneltian dan pengembangan. Tentu juga ada liberalisasi perdagangan, dan luwesnya arus ekspor-impor di kawasan.
Baca juga: ASEAN Semakin Penting dan Diperlukan
AS menjadikan diri sebagai sasaran ekspor Jepang dan Asia lainnya. NIEs lapisan pertama menjadi maju lewat ganko keitai, termasuk karena peran pemerintahan. Atau bisa jadi, NIEs lapis pertama Asia ini dapat privilese dari AS.
Kemudian pada dekade 1970-an ASEAN, khususnya Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina – disebut lapis kedua NIEs Asia - jadi sasaran ganko keitai. Washington mempromosikan pola perdagangan segitiga antara Amerika Serikat, Jepang dan Asia Tenggara. Amerika menyediakan barang-barang modal dan teknologi, Jepang menyediakan barang modal dan produk konsumen massal, Asia Tenggara memasok bahan mentah. Segitiga ini bersenyawa dalam kegiatan ekonomi regional.
Pola ini relatif tidak berubah sampai sekarang. Lapis kedua NIEs Asia ini memang berkembang dan menjadi berpendapatan menengah. Namun NIEs lapis kedua ini tidak lulus masuk kelas berpendapatan tinggi seperti lapis pertama.
Kegagalan NIEs lapis kedua ini, menurut Kasahara, antara lain karena kegagalan transfer teknologi. “Situasi di NIEs Asia lapis kedua … merupakan kasus klasik enclave, terjadi industrialisasi yang dangkal. Korporasi trans-nasional cenderung mengambil keuntungan dengan memanfaatkan tenaga kerja murah untuk kegiatan perakitan produksi, tetapi tidak menyediakan teknologi khusus yang spesifik untuk perekonomian lokal,” lanjut Kasahara.
Merkantilisme Jepang
Kegagalan NIEs Asia lapis kedua juga terletak pada kekakuan perdagangan dengan Jepang. “Hasil penelitian menunjukkan … hubungan perdagangan antara Jepang dan ASEAN masih bersifat asimetris,” demikian dua peneliti Malaysia, Chen Chen Yong, dan Hui Boon Tan menuliskan pada 2007. Defisit bertahun-tahun pada awal ganko keitai ada di pihak ASEAN.The Impact of AFTA on japan – ASEAN Trade Flows – Jurnal Ekonomi Malaysia (ukm.my).
Nester pernah mencoba menjelaskan. “Meskipun status ekonomi Jepang meningkat menjadi negara adidaya ekonomi, Amerika Serikat pada umumnya tetap menoleransi kebijakan neo-merkantilismenya,” demikian Nester. Merkantilisme salah satu bentuk nasionalisme ekonomi yang berupaya meningkatkan kemakmuran lewat ekspor, sekaligus membatasi impor.
Baca juga: ASEAN Perlu Pacu Kerja Sama Energi Terbarukan
AS menghantam Jepang lewat Plaza Accord pada 1985 dan membombardir Jepang lewat tarif dagang. Tidak dapat dimengerti, mengapa ASEAN tidak mengganggu hierarki regional ini, demikian Kasahara.
Paradigma ganko keitai Jepang memudar. Kini muncul China dengan arus perdagangan dan investasi. ASEAN sudah masuk ke dalam poros perdagangan China. Keduanya menjadi mitra dagang terbesar bolak balik di dunia, mengalahkan relasi mereka dengan AS dan Uni Eropa. Keduanya malah menjadi episentrum terbesar pertumbuhan global. Pertanyaannya, siapa yang akan dapat porsi terbesar.
Bagi ASEAN, apakah hierarki kepimpinan ekonomi Jepang akan berlanjut dengan China? Atau akan win-win? Hipotesisnya, pola serupa terjadi, ada asimetri. Perbedaan mungkin hanya pada derajadnya.The Impact of ACFTA on People’s Republic of China–ASEAN Trade: Estimates Based on an Extended Gravity Model for Component Trade (adb.org)
Asimetri ASEAN-China juga ditemukan Tomoo Marukawa dari Tokyo University. Full article: Dependence and competition: trade relationship between Asian countries and China (tandfonline.com)
Apapun di depan, rekomendasi ADB adalah agar ASEAN menjalankan strategi dua jalur, reformasi di setiap negara, lalu liberalisasi sebagai satu ASEAN. Dari situlah ASEAN beranjak ke kawasan lebih luas. Namun, inti pesan ADB, setiap negara ASEAN harus inovatif terlebih dahulu. The ASEAN Economy in the Regional Context: Opportunities, Challenges, and Policy Options (Regional Economic Integration Working Paper No. 145) (adb.org)
Hanya saja ABD menyebutkan globalisasi sekarang membuat posisi negara berpendapatan menengah relatif sulit. Mendorong inovasi berskala global membutuhkan proses yang kompleks, dan kurva pengalaman serta waktu.
Siklus produksi global sekarang cepat berubah. Pelaku industri yang sudah mapan terus berupaya melaju lebih cepat. Posisi China sanggat ungul tentang inovasi. “Semua negara berpendapatan menengah menghadapi realitas global ini,” demikian ADB.
Tentu tidak bisa berdiam diri juga soal inovasi ini. Atau jika gagal, ASEAN bisa menunggu hingga China menua seperti Jepang untuk mengambil kesempatan. Akan tetapi ini berisiko, ASEAN berpotensi sama-sama menua sebelum sempat kaya. (AFP/AP/REUTERS)