Mengapa Biden Memutuskan Tak Hadir pada KTT ASEAN di Jakarta?
Gedung Putih mengumumkan, Presiden AS Joe Biden tidak akan menghadiri KTT ASEAN di Jakarta, 5-7 September ini. Ia akan diwakili Wapres Kamala Harris. Apa pesan yang ingin dikirimkan Washington dengan keputusan itu?
Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN telah selesai kala Presiden Amerika Serikat Joe Biden bertandang ke Asia Tenggara. Kunjungannya ke kawasan ini memang bukan untuk menghadiri forum multilateral yang digelar ASEAN. Ia tengah mengejar agenda bilateral Washington dengan negara di kawasan tersebut, yakni Vietnam.
Pada September 2023 ada dua agenda multilateral di Asia. Di Indonesia pada 5-7 September 2023 ada rangkaian KTT Ke-43 ASEAN dan aneka pertemuan ASEAN dengan para mitranya. Di India pada 8-9 September 2023 ada KTT G20.
Biden akan melawat ke India, 7-10 September, untuk menghadiri KTT G20, lalu menyambangi Vietnam pada 10 September 2023. Dari Hanoi, ia terbang kembali ke Washington DC untuk peringatan peristiwa serangan 11 September 2001.
Untuk KTT ASEAN, Biden mengutus Wakil Presiden Kamala Harris ke Jakarta, 4-7 September. Juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre, dalam pernyataan, 22 Agustus 2023, menyebutkan bahwa Harris akan menghadiri KTT AS-ASEAN dan KTT Asia Timur (East Asia Summit/EAS).
Baca juga : Menanti Konsistensi Washington di Asia Tenggara
”Wakil Presiden dan para pemimpin ASEAN akan membahas perluasan dalam hubungan AS-ASEAN di bawah pemerintahan Biden-Harris, yang belum pernah terjadi selama ini, dan Wakil Presiden akan menegaskan kembali komitmen Amerika Serikat pada Asia Tenggara dan sentralitas ASEAN,” kata Jean-Pierre.
”Sepanjang KTT (ASEAN) ini dan pertemuan-pertemuan tambahan, Wakil Presiden akan mendorong inisiatif-inisiatif dalam mempromosikan kesejahteraan dan keamanan bersama, termasuk dengan mendorong kerja kita dalam penanganan krisis iklim, keamanan maritim, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, upaya-upaya menegakkan serta memperkuat aturan-aturan dan norma-norma internasional di kawasan, serta menangani tantangan-tantangan di kawasan lain dan global,” lanjut Jean-Pierre.
Namun, benarkah seperti itu pesan yang ingin dikirimkan Washington ke Asia Tenggara, khususnya ASEAN? Sejumlah pengamat mempunyai pandangan lain.
”Pesannya amat jelas, AS sudah menentukan prioritasnya. Indonesia dan ASEAN tidak termasuk prioritas itu,” kata Suzie Sudarman, peneliti tamu John Hopkins University, AS.
Baca juga : Wawancara Khusus dengan Menlu Retno: ”Fokus ASEAN Bukan Hanya Myanmar”
Sementara dosen pada Princeton University, Zack Cooper, menyebut keputusan Biden bertandang ke Hanoi beberapa hari setelah KTT ASEAN selesai jelas membingungkan. Keputusan itu akan memicu anggapan AS tidak menganggap serius Indonesia, negara terpenting di Asia Tenggara yang selama ini kerap disebut sebagai pemimpin tradisional ASEAN.
Pesannya amat jelas, AS sudah menentukan prioritasnya. Indonesia dan ASEAN tidak termasuk prioritas itu.
Dengan keputusan yang telah diambil Gedung Putih, Biden dengan sengaja tidak menghadiri rangkaian KTT ASEAN yang digelar di negara terpenting di Asia Tenggara. Keputusan ini juga akan meningkatkan keraguan pada keseriusan Biden terhadap Asia Tenggara.
Beda kata dan perbuatan
Copper mengatakan, posisi geografis dan peran Indonesia di kawasan serta panggung lebih luas seharusnya tidak diabaikan begitu saja oleh Biden. ”Sepertinya Washington sekali lagi menunjukkan perkataannya berbeda dengan perbuatannya,” katanya.
Copper merujuk pada berulang kali pernyataan AS bahwa ASEAN akan menjadi inti strateginya di Indo-Pasifik. AS menyebut ASEAN sebagai mitra penting dan mendukung sentralitasnya. ”Akan muncul anggapan bahwa AS menurunkan skala hubungannya dengan Indonesia gara-gara Indonesia mau bergabung dengan inisiatif (yang dimotori AS) karena (inisiatif tersebut) bisa menggerus otonomi Jakarta,” ujarnya.
Peneliti pada RAND Corporation, Derek Grossman, menyebut keputusan Biden melemahkah argumen AS bahwa ASEAN penting di Indo-Pasifik. Keputusan tidak datang ke KTT ASEAN jelas-jelas meremehkan kawasan.
Ironisnya, ketidakhadiran Biden dalam rangkaian KTT Ke-43 ASEAN terjadi hanya beberapa pekan setelah AS kembali menyatakan dukungan pada sentralitas ASEAN. Pernyataan itu disampaikan dalam dua dari tiga dokumen hasil pertemuan AS dengan dua sekutunya di Asia, Jepang dan Korea Selatan, pada 18 Agustus 2023 di Camp David, AS.
Baca juga : ASEAN Jadi Pusat Perhatian Aliansi Anti-China dan Korea Utara
Faktor ASEAN
Suzie mengatakan, ketidakhadiran Biden memang dapat dimaknai terkait faktor politik dalam negeri AS. Dengan keruwetan yang tidak pernah berhenti di AS, sulit bagi Biden berada terlalu lama di luar negeri. ”Ketidakhadirannya (di Jakarta) tentu bukan karena alasan politik dalam negeri saja,” ujar dosen Universitas Indonesia itu.
Menurut Suzie, ada faktor ASEAN dan praktik politik luar negeri Indonesia yang menjadi pertimbangan AS dalam keputusan tersebut. Di mata Washington, ASEAN dipandang semakin tidak jelas manfaatnya dalam mengatasi dinamika kawasan. ASEAN juga dinilai tidak bisa menolong anggotanya dalam sengketa perairan dengan China.
Empat negara ASEAN, yakni Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, dan Vietnam, terlibat sengketa wilayah perairan di Laut China Selatan dengan China. Akibatnya, Filipina mendekati AS dan sekutunya untuk menghadapi China.
Pengamat dinamika Asia Tenggara, Michael Vatikiotis, menyebut, ASEAN terus menunjukkan perpecahan dan ketidakberdayaan. Asia Tenggara masa kini bukan lagi kawasan tempat kedamaian dan pertumbuhan. Kawasan itu dipenuhi perpecahan internal dan menjadi palagan utama persaingan AS-China. ASEAN jelas terpecah dan juga nyaris tidak bisa berbuat apa-apa soal Myanmar.
Baca juga : ASEAN Perkuat Ketahanan Kesehatan pada Masa “Damai”
Sementara Filipina jelas memilih jalan di luar ASEAN untuk membela kepentingannya di Laut China Selatan. ASEAN nyaris tidak berbuat apa-apa soal kegelisahan Manila. Padahal, sengketa China-Filipina berpeluang paling besar menjadi konflik terbuka di Asia Tenggara. Alih-alih membantu Manila, ASEAN disibukkan dengan pertanyaan soal netralitas di tengah persaingan AS-China.
ASEAN juga tidak lincah menyelesaikan atau setidaknya mengelola aneka tantangan karena hubungan makin renggang di antara masyarakat dan pemimpinnya. Kerenggangan ASEAN, antara lain, disebabkan ikatan di antara pemimpin dan masyarakat ASEAN tidak lagi sama seperti setidaknya tiga dekade lalu. Ironisnya, perkembangan demokrasi menyumbang kerenggangan itu.
Dulu, karena lama berganti, para pemimpin ASEAN bisa terus menjalin hubungan. Kedekatan mereka menjadi modal penting untuk menyelesaikan berbagai masalah ASEAN.
Kini, demokrasi yang berkembang memungkinkan pergantian pemerintahan lebih kerap di sejumlah negara anggota ASEAN. Akibatnya, para pemimpin ASEAN tidak sempat lebih mengenal dan lebih dekat satu sama lain. Alih-alih mengurus kawasan, para pemimpin di negara anggota ASEAN lebih fokus pada aneka isu domestik. Sebab, isu domestik dibutuhkan untuk meraih dan menjaga kekekuasaan.
Jaringan masyarakat sipil dan akademisi ASEAN juga melemah. Para senior di jaringan itu sudah banyak yang pensiun atau meninggal. Sementara akademisi dan tokoh masyarakat sipil yang lebih muda belum mampu menggantikan peran para senior itu dalam menjaga keakraban ASEAN.
Faktor Indonesia
Suzie mengatakan, ada pesan yang sudah ditangkap AS dari Indonesia. Jakarta memang selalu menyatakan menjaga netralitas di tengah persaingan Beijing-Washington. Sayangnya, Indonesia menunjukkan kencenderungan merapat ke China-Rusia. Meski akhirnya tidak jadi—untuk sekarang ini—bergabung, Indonesia menunjukkan kedekatan pada BRICS yang dianggap antitesis aneka forum multilateral Barat.
Baca juga : Indonesia dan BRICS
Biden, lanjut Suzie, sudah menunjukkan hasrat mengembalikan kepemimpinan AS di panggung global. Indonesia, apa pun alasannya, menolak mendukung hasrat itu.
”Ada harga yang harus dibayar atas keputusan itu. Ketidakhadiran Biden di KTT ASEAN bisa disebut sebagai cara AS menunjukkan tidak berminat pada ASEAN dan Indonesia,” kata Suzie.
Ada harga yang harus dibayar atas keputusan itu. Ketidakhadiran Biden di KTT ASEAN bisa disebut sebagai cara AS menunjukkan tidak berminat pada ASEAN dan Indonesia.
Memang, dalam berbagai pernyataan, AS selalu menekankan sentralitas ASEAN. Walakin, kata-kata harus dibuktikan lewat tindakan. Faktanya, AS tidak benar-benar menunjukkan minat pada ASEAN. Kehadiran aneka peralatan perang AS di Asia Tenggara bukan karena AS berminat pada ASEAN. ”Sudah jelas, kehadiran itu karena faktor China,” ujar Suzie.
Baca juga : Tantangan ASEAN Mewujudkan Episentrum Pertumbuhan
Cooper mengatakan, sulit untuk tidak menyimpulkan semua manuver AS di Indo-Pasifik sepenuhnya ditujukan untuk membendung China. AS sejauh ini hanya sukses di negara-negara yang sangat anti-China. Sementara di negara netral, apalagi cenderung ke China, pendekatan AS bisa disebut berantakan. ”Biden menguatkan kesan hubungan dengan AS harus transaksional,” katanya.
Ekonomi menjadi alasan utama kecenderungan Asia Tenggara lebih ke China. Cooper menyebut, kawasan tidak kunjung mendapatkan tawaran kerja sama ekonomi konkret dari AS. Biden dan jajarannya hanya berputar-putar tanpa menawarkan akses pasar yang sangat ditunggu Asia Tenggara.
Ekonom pada ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO), Khor Hoe Ee, mengingatkan, Asia Tenggara terhubung dengan rantai pasok industri China. China menyerap hingga 60 persen ekspor sejumlah anggota ASEAN.
Dosen Singapore University of Social Sciences, Randolph Tan, menyebut, Asia Tenggara ikut terimbas perang ekonomi Amerika Serikat-China. ”Perselisihan AS-China, termasuk perdagangan dan Taiwan, adalah sumber utama risiko geopolitik dan terus menghadirkan tantangan serius bagi pengambil kebijakan,” katanya kepada media Jepang, Nikkei. (AFP/REUTERS)