China Protes Rilis Pentagon Terkait Pertemuan Austin dan Prabowo
Sengketa di Laut China Selatan harus segera dituntaskan karena mengundang risiko konflik terbuka di kawasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedutaan Besar China di Jakarta keberatan atas keterangan pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat terkait kerja sama pertahanan dengan Indonesia di Laut China Selatan. Keterangan pers itu menyebutkan, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto sama-sama berpandangan bahwa klaim maritim China yang ekspansif di Laut China Selatan tidak konsisten dengan hukum internasional.
”Setelah membandingkan keterangan pers AS dengan keterangan pers yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Indonesia, kalimat yang menuduh dan memojokkan China ini hanya ada di siaran pers Kementerian Pertahanan AS,” demikian tanggapan keberatan yang ditandatangani oleh juru bicara Kedubes China di Jakarta, Senin (28/8/2023).
China, mengutip siaran pers Kedubes China di Jakarta, menentang segala upaya yang hendak menggoyang stabilitas kawasan Indo-Pasifik. China juga menyebutkan, pihaknya bekerja sama dengan berbagai negara di kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan.
Rilis yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan AS pada Sabtu (26/8/2023) menerangkan hasil pertemuan Austin dan Prabowo. Dikatakan, Pandangan Indo-Pasifik Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (AOIP) sejalan dengan pandangan Indo-Pasifik AS. Intinya ialah mewujudkan pertahanan, keamanan, ketenteraman, kesejahteraan, dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.
Rilis itu juga menyebutkan, Indonesia dan AS yang sudah berhubungan diplomatik selama 75 tahun telah menggelar 220 kerja sama pertahanan per tahun. Bentuknya mulai dari latihan gabungan, diskusi, dan pertukaran teknologi.
Latihan gabungan Perisai Garuda yang awalnya hanya melibatkan kedua negara kini diikuti oleh 19 negara. AS juga merupakan mitra terbesar Indonesia di dalam peremajaan dan pemutakhiran persenjataan serta logistik.
Masih merujuk siaran pers itu, Kementerian Pertahanan AS memantau kegiatan China di Laut China Selatan yang semakin ekstensif dan ekspansif. Tindakan ini melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa karena yang menegaskan bahwa batas-batas kedaulatan setiap negara harus dihormati.
Laut China Selatan masih dalam sengketa antara China dan sejumlah angota ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia. China menerapkan sistem bernama Sembilan Garis Putus-putus yang mengatakan bahwa dua pertiga dari Laut China Selatan merupakan milik China. Teorinya, sistem ini berlandaskan dengan pergerakan historis China di perairan tersebut.
Filipina menggugat klaim ini ke Mahkamah Internasional. Keputusan yang dikeluarkan pada 2016 menyatakan kemenangan Filipina dan bahwa Sembilan Garis Putus-putus itu tidak sah. Namun, sengketa tetap berlanjut karena kode panduan (code of conduct) antara China dan ASEAN tidak kunjung selesai.
Filipina merupakan negara yang paling geram dengan hal tersebut sehingga sentimen anti-China di negara tersebut tumbuh. Dilansir dari media lokal GMA, Panglima Militer Filipina Jenderal Romeo Browner mengatakan, dari berbagai kapal asing di Laut China Selatan, sebanyak 85 persen atau setara dengan 400 kapal berbendera China. Ini mencakup kapal militer, kapal patroli, kapal penangkap ikan, dan kapal penelitian.
Ketegangan terjadi pada 5 Agustus lalu ketika kapal militer China menembak kapal patroli Filipina dengan meriam air. Kapal patroli tersebut sedang mengangkut persediaan untuk kapal militer Manila yang berlabuh di salah satu karang di Laut China Selatan. Manila sengaja menempatkan kapal di tengah Laut China Selatan guna menunjukkan batas wilayahnya agar tidak diklaim China.
Tindakan ini ditanggapi oleh AS. Dari Pangkalan Armada Ketujuh AS di Yokosuka, Jepang, pemimpin palagan tersebut, Laksamana Madya Karl Thomas, terbang ke Manila. Setelah itu, ia bersama para petinggi militer Filipina terbang memantau Laut China Selatan. Armada Ketujuh AS ini memiliki wilayah operasi seluas 124 juta kilometer persegi. Mereka memiliki 27.000 tentara, 70 kapal, dan 150 pesawat.
Pakar politik dari Universitas Filipina (UP), Richard Heydarian, dalam diskusi di The Habibie Centre, pekan lalu, mengungkapkan bahwa pakta pertahanan baru, JAPHUS, semakin mungkin terbentuk. Ini adalah pakta antara Jepang, Filipina, dan AS yang bertujuan menjegal China khusus di kawasan Laut China Selatan dan sekitarnya.
”ASEAN harus lebih cepat bertindak menyelesaikan COC. Sentimen publik di Filipina sangat berpengaruh kepada keputusan pemerintah. Jika sentralitas ASEAN memang penting, harus ada dorongan yang lebih keras untuk menyelesaikan sengketa ini,” ujarnya. (REUTERS)