Masih Adakah ”ASEAN Way”?
ASEAN masih pempunyai fungsi mendorong integrasi ekonomi regional, tetapi sebagai entitas politik, sudah waktunya ASEAN mempertimbangkan untuk meninjau kembali ”ASEAN Way” agar tetap relevan dalam perubahan geopolitik.
Walaupun sering dianggap sebagai success story sebuah organisasi regional—terutama di kelompok negara-negara berkembang—ASEAN juga tidak luput dari berbagai kritik.
Dengan dinamika perkembangan kawasan yang cepat, sebagai ketua dalam perhelatan besar KTT ASEAN yang diselenggarakan pada 5-7 September 2023 di Jakarta, Indonesia perlu berhati-hati menyikapinya.
Memasuki 56 tahun usianya, ASEAN berhasil mempertahankan perdamaian, stabilitas, dan keamanan melalui berbagai kerangka kerja dan mekanisme, seperti ZOPFAN (1971), TAC (1976), dan SEANWFZ (1995). Dengan populasi 664 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) 3,9 triliun dollar AS, dan pertumbuhan ekonomi rata-rata 4,1 persen per tahun (2012-2021), ASEAN adalah perekonomian terbesar ketiga di Asia dan kelima di dunia setelah Amerika Serikat, China, Jepang, dan Jerman (HKTDC Research, 21/2/2023).
Oleh karena itu, pantas apabila Indonesia mengusung tema ”ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”.
Tidak campur tangan
Keberhasilan organisasi ini sering kali dikaitkan dengan praktik penyelesaian masalah/konflik secara damai melalui ”ASEAN Way”, yaitu mengutamakan penghormatan kedaulatan, kepentingan nasional dan kesetaraan (equality), serta kemitraan (partnership) anggotanya.
Elemen terpenting ”ASEAN Way” adalah prinsip noncampur tangan (noninterference) bahwa negara berdaulat tidak boleh campur tangan dalam urusan domestik satu negara, disertai model pengambilan keputusan yang nonkonfrontatif dan berdasarkan konsensus.
Prinsip ini telah menjadi modus operandi yang tepercaya sejak ASEAN dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967.
Bab 2 Piagam ASEAN (ASEAN Charter) mengenai prinsip-prinsip jelas menyebutkan, antara lain, perlunya penghormatan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan, integritas teritorial dan identitas nasional; serta komitmen dan tanggung jawab bersama mengembangkan perdamaian, keamanan dan kesejahteraan kawasan.
Prinsip noncampur tangan yang sudah melekat sejak berdirinya ASEAN tersebut tetap dipertahankan hingga kini.
Prinsip noncampur tangan yang sudah melekat sejak berdirinya ASEAN tersebut tetap dipertahankan hingga kini. Pasal 2 e dan f menegaskan adanya hak bagi negara untuk terbebas dari campur tangan (interference), subversi (subversion), dan paksaan (coercion).
Di masa lalu, sesuai dengan eranya, ASEAN masih ”malu-malu kucing” atau bahkan ”alergi” terhadap isu-isu politik dan keamanan, menyangkut penerapan prinsip noncampur tangan. Oleh karena itu, dengan ”kesepakatan” tidak tertulis, masalah Timor Timur tidak pernah disinggung dalam pembahasan di ASEAN.
Menariknya, melalui piagam ini ASEAN justru mulai ”masuk” ke ranah sensitif (politik dan keamanan) sehingga dinamika kerja samanya menjadi kompleks, bahkan kerap memunculkan masalah.
Menurut Muhammad Othman dan Zaheruddin Othman dalam makalah ”The Principle of Non-Interference in ASEAN” (Universiti Utara Malaysia, 1/1/2010), prinsip noncampur tangan adalah metode hubungan noninklusif yang telah melalui beberapa fase perubahan di berbagai bidang kerja sama kecuali politik-keamanan.
Namun, ketika ASEAN menjadi lebih besar dan kawasan mengalami berbagai gejolak global sejak 1997—seperti krisis ekonomi dan lingkungan, revolusi teknologi dan informasi, peristiwa politik, gerakan demokrasi dan HAM—efektivitas noncampur tangan dalam penyelesaian konflik menjadi perlu untuk ditinjau kembali.
”Offside”
Sebenarnya tak ada yang salah apabila ASEAN kemudian memasuki bidang yang tadinya dianggap ”tabu” ini karena perkembangan dunia dan masyarakat internasional menuntutnya, sebagaimana juga Uni Eropa.
Namun, masuknya ASEAN ke ranah politik dan keamanan ini menghadapkan organisasi ini pada kenyataan bahwa di Asia Tenggara masalah ini tidak hanya meliputi konflik bilateral, tetapi kini juga mencakup konflik internasional dan bahkan masuk ke konflik domestik.
Menurut Zhang Naigen dalam ”The Principle of Noninterference and Its Application in Practices of Contemporary International Law” (Fudan Journal of the Humanities and Social Sciences) (3), September 2016, penerapan prinsip noncampur tangan dalam penyelesaian masalah akan ditentukan dalam konteks yurisdiksi domestik dan ini masih kontroversial dalam praktik hukum internasional.
Apalagi, apabila prinsip ini dikaitkan dengan perlindungan HAM global dewasa ini, seperti Right to Protect.
Diakui atau tidak, kalau mau jujur, di sinilah mulai terlihat bahwa ”ASEAN Way”, meminjam istilah sepak bola, mulai offside melanggar prinsipnya sendiri sehingga tidak dapat bekerja maksimal, tertatih-tatih, bahkan lumpuh.
Pertama, dalam konteks bilateral, sebagian konflik yang selama ini bagaikan ”api dalam sekam” (status quo), seperti masalah perbatasan, harus diselesaikan melalui arbitrase internasional, khususnya Mahkamah Internasional (ICJ). Misalnya. sengketa Sipadan dan Ligitan (antara Indonesia dan Malaysia) sejak 1967 akhirnya diselesaikan oleh ICJ pada 17 Desember 2002 dengan menyerahkan kepemilikannya pada Malaysia.
Juga sengketa dua abad Candi Preah Vihear (Kamboja dan Thailand) pada 11 November 2013 diputuskan kepemilikannya kepada Kamboja. Sementara konflik bilateral lain antara Malaysia dan Filipina (mengenai Sabah), Indonesia dan Malaysia (Tanjung Datu, Camar Wulan, dan Ambalat), Malaysia dan Thailand (Bukit Jeli), misalnya, masih belum jelas arah penyelesaiannya.
Namun, masuknya ASEAN ke ranah politik dan keamanan ini menghadapkan organisasi ini pada kenyataan bahwa di Asia Tenggara masalah ini tidak hanya meliputi konflik bilateral, tetapi kini juga mencakup konflik internasional dan bahkan masuk ke konflik domestik.
Kedua, dalam konflik internasional, khususnya di Laut China Selatan (LCS), Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Vietnam terlibat sengketa teritorial tumpang tindih (over-lapping), selain dengan China, berdasarkan klaim teritorial Nine Dash Line, juga di antara sesama ASEAN sendiri. Misalnya, klaim Brunei Darussalam atas landas kontinennya yang tumpang tindih dengan China, Taiwan, dan Vietnam.
Konflik semakin kompleks, khususnya di gugusan Spratly Islands yang disengketakan Filipina dan China, yang dibawa Manila ke arbitrase tribunal pada 2015, dan diputuskan bahwa klaim China tidak berdasar.
Dalam kenyataannya, China mengabaikan keputusan itu dan tetap melanjutkan pembangunan di sejumlah pulau di Spratly, sementara Filipina kini ”merangkul” AS untuk mengembangkan dan menjaganya.
Ketiga, dalam masalah domestik Myanmar, khususnya isu Rohingya. Keprihatinan atas masalah ini, yang diwujudkan dengan disepakatinya ”5 Butir Konsensus (5PC)” yang dicapai pada KTT di Jakarta pada 24 April 2021, tampaknya justru semakin menjauhkannya dari ”ASEAN Way”. Khususnya butir 3 dan 5 mengenai penunjukan utusan khusus (special envoy) dan melakukan kunjungan ke situ untuk bertemu dengan semua pihak terkait (!).
Ini justru menunjukkan offside-nya ASEAN dalam noncampur tangan. Hal ini tidak akan pernah terbayangkan dalam proses penyelesaian masalah Timor Timur dulu.
Ironis
Kalau mau jujur, penyelesaian masalah Rohingya justru terbuka lebar ketika Aung San Suu Kyi, penerima berbagai penghargaan dunia di bidang kemanusiaan dan perdamaian, termasuk Nobel Perdamaian (1991), memenangi Pemilu 2015 dan terpilih menjadi presiden Myanmar. Namun, karena melanggar, karena bersuamikan dan memiliki anak dari orang asing, Suu Kyi tidak dapat menduduki jabatan presiden.
Sebagai kompromi, Suu Kyi diberikan posisi state counsellor (setara dengan perdana menteri) dan secara de facto tetap merupakan pemimpin Myanmar (2016-2021). Ironisnya, selama masa pemerintahannya Suu Kyi justru mengabaikan masalah Rohingya dan membiarkan penindasan di Rakhine berlanjut.
Pada 2019, Suu Kyi tampil di depan ICJ di mana dirinya menyangkal bahwa kelompok militer Myanmar melakukan genosida atas penduduk Rohingya (Al Jazeera, 13/1/2020). Suu Kyi yang menjunjung tinggi UU Kewarganegaraan 1982, yang menyangkal identitas orang yang diserang, meminta Duta Besar AS untuk tidak menggunakan istilah Rohingya.
Ia mengingkari mereka sebagai suku bangsa dan mengklasifikasikannya sebagai penyusup meski mereka telah berabad-abad tinggal di Myanmar (The Guardian, 5/9/2017).
Akibatnya, sejumlah tokoh—termasuk penerima Nobel perdamaian Malala Yousafzai dan Desmond Tutu (The Atlantic, 21/9/2017), serta tokoh Indonesia, seperti Goenawan Mohamad, Ade Armando, Fachry Ali, Didik J Rachbini, dan Suharso Monoarfa—mengeluarkan pernyataan agar penghargaan Nobel perdamaiannya dicabut (www.change.org, 28/3/2016).
Ironisnya, selama masa pemerintahannya Suu Kyi justru mengabaikan masalah Rohingya dan membiarkan penindasan di Rakhine berlanjut.
Ditambah pembekuan keanggotaan (pengucilan/isolation) Myanmar dari pertemuan-pertemuan ASEAN, yang disepakati pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) pada 3 Agustus 2022 di Phnom Penh, Kamboja, yang belum pernah ada presedennya, ini semakin menegaskan terjadinya pelanggaran ”berat” organisasi ini terhadap prinsip noncampur tangan.
Diketahui luas bahwa dalam konteks organisasi internasional dan aturan hukumnya, termasuk PBB dan Dewan Keamanan (DK)-nya, keputusan organisasi internasional bersifat tak mengikat (non-binding).
Mungkin ASEAN ingin mengikuti Economic Community of West African States (ECOWAS), yang beranggotakan 15 negara tetapi telah membekukan empat anggotanya (Mali, Guinea, Burkina Faso, dan terakhir Niger), semua karena masalah dalam negerinya (kudeta).
Oleh karena itu, Joshua Kurlantzick dari Council on Foreign Relations dalam artikelnya, ”ASEAN’s Year of Misery” (22/2/2022) mengatakan bahwa organisasi (ASEAN) ini masih mempunyai fungsi penting dalam mendorong integrasi ekonomi regional, tetapi sebagai sebuah entitas politik, organisasi ini ”secara virtual menghilang”.
Tinggal kini, bukan hanya sebagai ketua, melainkan terlebih sebagai pemain kunci, di bawah kepemimpinan Indonesia, mungkin sudah waktunya ASEAN mempertimbangkan untuk meninjau kembali ”ASEAN Way” jika ingin menghindari apa yang dikatakan Kurlantzick dan mengefektifkan kerjanya, serta tidak ingin dijadikan olok-olok oleh negara atau organisasi internasional lain.
Dian WirengjuritAnalis Geopolitik dan Hubungan Internasional
Dian Wirengjurit