Pada awal menerima tampuk keketuaan—dari Kamboja— ada begitu banyak harapan diletakkan di pundak Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, harus diakui Indonesia bukanlah pemilik ”peluru perak”.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Dua pekan mendatang, Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN akan digelar di Jakarta. Perhelatan itu sekaligus menandai berakhirnya keketuaan bergilir ASEAN yang tahun ini diampu oleh Indonesia. Selanjutnya, Laos akan meneruskan estafet keketuaan tersebut.
Pada awal menerima tampuk keketuaan—dari Kamboja— ada begitu banyak harapan diletakkan di pundak Indonesia. Harapan itu mengacu pada keberhasilan Indonesia yang dinilai mampu menakhodai negara-negara anggota G20 untuk mencapai konsensus.
Ada upaya diplomasi intensif dijalankan oleh semua jajaran pemerintah, termasuk pendekatan dan pertemuan personal di beragam forum internasional. Tidak mudah karena kala itu relasi antarnegara dibayangi perseteruan hebat antara Rusia dan Amerika Serikat serta sekutunya menyusul invasi Rusia ke Ukraina.
Akan tetapi, di Bali, Indonesia berhasil menjadi tuan rumah yang baik. Bali menjadi saksi pertemuan antara para petinggi dunia, termasuk pertemuan bilateral Presiden China Xi Jinping dan mitranya, Presiden AS Joe Biden. Pertemuan di Bali antara dua pemimpin negara adidaya itu hingga kini sering disebut-sebut kembali kala relasi China-AS menghangat atau meruncing. Sebab, dalam pertemuan di Bali, kedua pemimpin dunia itu sepakat untuk membangun komunikasi yang baik dan sikap saling pengertian.
Kini, di Jakarta, mata dunia akan kembali mengarah. Orang kembali berharap-harap, Indonesia mampu memainkan ”tongkat ajaib”-nya sehingga sejumlah persoalan domestik dan kawasan dapat diselesaikan. Salah satunya, yang menarik perhatian, adalah isu Myanmar. Indonesia yang bersuara keras terhadap sikap junta militer Myanmar diharapkan mampu membuka ”pintu” lebih luas agar krisis politik di negeri itu dapat diakhiri dengan damai.
Akan tetapi, di sisi lain, harus diakui Indonesia bukanlah pemilik ”peluru perak”.
Meskipun telah menggelar ratusan kali pertemuan dengan sejumlah pihak—termasuk sejumlah kelompok di Myanmar—sejak awal Jakarta telah menegaskan, krisis politik di Myanmar hanya bisa diselesaikan melalui pola Myanmar-led, Myanmar-own. Kata kunci dari pola itu adalah dialog atau pendekatan inklusif.
Sikap ”keras” atau sikap ”tegas” yang diutarakan ASEAN atau Indonesia—terutama dalam penerapan lima poin konsensus ASEAN—semata-mata diarahkan agar para pemangku kepentingan di Myanmar menempatkan diri pada pola Myanmar-led, Myanmar-own. Tentu saja itu tidak mudah diwujudkan. Pemilu yang dijanjikan junta militer pun tak kunjung terwujud. Beberapa kali diundur karena saat ini semua pemangku kepentingan di negeri itu saling ”bertempur”.
Melihat situasi tersebut, pendekatan terbaik adalah mengupayakan agar tensi di dalam negeri Myanmar turun. Dalam hal ini, publik mungkin dapat kembali berharap pada ”kesabaran” Indonesia berdiplomasi, mendekati semua dan setiap pemangku kepentingan, termasuk mitra-mitra dialog ASEAN. Pendekatan inklusif ini diyakini dapat membangun proses dialog yang terbangun di Myanmar menjadi berkelanjutan.
Upaya ini sejatinya bukan sekadar menegaskan soal isu kesatuan atau sentralitas ASEAN saja. Lebih dari itu, ada prinsip-prinsip ASEAN yang harus dipatuhi dan diwujudkan, yaitu prinsip-prinsip demokrasi, aturan hukum dan tata pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, serta kebebasan-kebebasan fundamental. Selain itu, ada juga kepentingan bersama yang harus dijaga oleh anggota ASEAN—dan tentu mitra ASEAN—di antaranya adalah mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adalah pusat dari proses pembentukan komunitas ASEAN (Piagam ASEAN).
Apabila dicecapi lebih dalam, tentu tugas untuk mewujudkan semua itu bukan semata-mata tugas ketua ASEAN, yang tahun ini diampu Indonesia dan tahun depan diampu Laos. Sebagai satu asosiasi, tugas itu menjadi beban bersama, termasuk Myanmar. Dalam membangun komunitas bersama, tentu tidak layak apabila satu pihak hanya mau mengambil yang menguntungkan saja, tanpa mau bersusah payah membangun atau bergetah-getah.
Sebagai kawasan yang diproyeksikan menjadi salah satu pusat pertumbuhan global, para pihak dan pemangku kepentingan tentu diharapkan—dan sudah selayaknya—ambil bagian secara aktif mewujudkannya. Tidak sebaliknya, menjadi batu sandungan.
Ini bukan tentang Indonesia atau Myanmar semata. Ini tentang kepentingan bersama sebagai keluarga besar ASEAN.