Iran Masuk ke BRICS, Refleksi Gentingnya Postur Kekuatan Barat
”Kita tidak punya bukti selama bertahun-tahun bahwa Eropa menginginkan diri jadi mitra tepercaya, terandalkan, dan mitra adil bagi negara-negara berkembang,” kata Reinhard Butikofer.
Dari sisi ekonomi, Iran layak masuk ke dalam BRICS, blok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Besaran ekonomi Iran ada di atas Afrika Selatan. Namun, dari sisi netralitas relatif BRICS, di tengah pertarungan geopolitik yang sedang memanas, masuknya Iran memiliki bobot ”genting”. Bergabungnya Iran merupakan tamparan lanjutan yang kritis bagi kekuatan geopolitik Barat.
”Bergabungnya Iran akan menyebabkan rasa gusar pada AS dan sekutunya,” demikian Bloomberg, 24 Agustus 2023. Iran salah satu dari enam negara yang bergabung dengan BRICS di samping Argentina, Mesir, Arab Saudi, Etiopia dan Uni Emirat Arab pada 24 Agustus.
Frasa ”Iran menggelisahkan” sangat logis. Dunia agaknya turut menarik napas setelah Iran bergabung. Kegelisahan bahkan turut dirasakan sebagian anggota BRICS. ”Saya bisa bayangkan sejumlah anggota khawatir BRICS akan bersitegang secara geopolitik dengan kekuatan Barat,” kata Cobus van Staden, peneliti China Global South Project di harian The New York Times, 24 Agustus.
Ini artinya, Iran kemungkinan mengeksploitasi relasinya dengan Rusia, China, dan Afrika Selatan untuk agenda anti-Israel.
Tentu, Israel, dedengkot utama AS di Timur Tengah, termasuk yang paling gusar. ”Ini artinya, Iran kemungkinan mengeksploitasi relasinya dengan Rusia, China, dan Afrika Selatan untuk agenda anti-Israel,” demikian The Jerusalem Post, 4 Juli, yang telah mengantisipasi bergabungnya Iran ke BRICS. Harian ini tidak menyebutkan India walau pasti tidak menghendaki Iran bergabung.
Namun, bisa diduga, tembakan BRICS soal Iran ini bukan Israel, melainkan AS. Apa pun tembakan BRICS, perhatian mencuat karena Iran. Perhatian tidak akan sebesar itu jika yang bergabung adalah Meksiko, Indonesia, Thailand, Nigeria, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Bangladesh. Perhatian juga tidak terlalu terarah pada lima negara lain yang bergabung ke BRICS.
Iran sangat potensial di Timur Tengah sebagai kekuatan geopolitik regional. Strategi domestik Iran, yang menjadi haknya, membuatnya selalu melawan AS. Perlawanan membuat AS menekan Iran dari dekade ke dekade. Hal ini juga terlihat dari reaksi Iran setelah bergabung. ”Keanggotaan Iran di BRICS merupakan penolakan terhadap unilateralisme AS,” kata Presiden Iran Ebrahim Raisi, seperti dikutip dari laman iranintl.com. Ia menambahkan, Iran turut mendukung BRICS membebaskan diri dari pemakaian dollar AS.
Baca juga: BRICS, Bola Salju Para Pecundang?
Teori DNA hegemoni
Tidak ada pernyataan eksplisit sekeras itu dari lima negara lain yang bergabung. Tindakan BRICS soal keanggotaan baru ini dimotori Rusia dan China. Brasil, Afrika Selatan, dan India masih bersuara tentang independensi terkait relasi dengan AS.
Mengapa Rusia dan China memasukkan Iran? Ini tidak terlepas dari hipotesis DNA hegemoni. Kekuatan geopolitik itu ingin hegemonik di kawasannya dan ingin pesaing geopolitik keluar dari kawasannya. Pakar geopolitik dari University of Chicago, John Mearsheimer, menuangkan itu dalam bukunya berjudul The Tragedy of Great Power Politics terbitan 2001.
”Jepang, Jerman, dan Uni Soviet kasus langsung yang memberikan dukungan kuat terhadap teori saya. Mereka hampir selalu mencari peluang untuk melakukan ekspansi melalui penaklukan. Ketika ada peluang, mereka biasanya langsung memanfaatkan. Menjadi kuat tidak mengurangi kecenderungan ofensif, malah mempertajam niat ofensif. Faktanya, ketiga kekuatan besar tersebut menginginkan hegemoni regional. Jerman dan Jepang berperang besar untuk mencapai tujuan tersebut. Hanya, Amerika Serikat dan sekutunya menghalangi Uni Soviet yang mencoba menaklukkan Eropa,” demikian kutipan di halaman 169 buku tersebut.
Baca juga: BRICS Terima 6 Anggota Baru, Indonesia Masih Kaji
Ini mirip aksi AS lewat Doktrin Monroe, yang menyatakan kekuasaannya atas wilayah Western Hemisphere (Benua Amerika). Teori itu sekaligus mengambangkan pernyataan Presiden China Xi Jinping bahwa China tidak memiliki DNA hegemoni. Sekarang ini China dan Rusia adalah kekuatan geopolitik kedua dan ketiga di dunia setelah AS. Secara teoritis, dua kekuatan baru ini juga tidak menginginkan pesaing ada di dekat wilayahnya dengan alasan ingin bebas dari tekanan pesaing.
Lalu mengapa Iran menjadi kepentingan hegemonik Rusia dan China? Iran ada di kawasan Timur Tengah, yang ratusan tahun ada di bawah poros Barat, dimulai dengan Inggris kemudian didikte dan didominasi AS. Kawasan kaya sumber energi fosil ini menjadi rebutan kekuatan geopolitik secara historis. Dalam konteks ini, masuknya Arab Saudi dan UEA ke BRICS sekaligus menunjukkan kemenangan pemberian zaman kepada Rusia dan China lewat BRICS.
Iran salah satu simbol utama cengkeraman AS di Timur Tengah, di samping Eropa dan Asia. Bertahun-tahun sejak 1980, Iran adalah sasaran utama kepentingan geopolitik AS walau tentu tidak lepas dari kepentingan Israel bahwa tidak boleh ada negara di sekitar yang bisa menantangnya.
Pembalasan
Rusia dan China berperilaku serupa, ingin mendorong AS keluar dari Timur Tengah lewat BRICS. Duet ini memanfaatkan perlawanan Iran terhadap AS. Namun, kepentingan hegemoni Rusia dan China soal Iran juga tidak lepas dari perkembangan geopolitik dalam beberapa dekade terakhir.
AS lewat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), dalam pertemuan pada 2008, ingin merangsek ke Eropa Timur, bagian dari halaman belakang Rusia. Hal ini menggelisahkan Rusia, terutama Presiden Vladimir Putin. Sebelum menjadi presiden, ia tokoh KGB yang mengotaki pembendungan laju Barat ke dekat Rusia. Bertahun-tahun kemudian, aksi balas dendam Rusia terwujud lewat Presiden Putin. Ini bukan hanya dengan mengganggu Ukraina, melainkan kini ke kawasan lebih jauh, Iran.
Hal serupa berlaku dengan Taiwan. Sejak zaman Jenderal Douglas MacArthur, Taiwan yang dijuluki ”armada tak tertenggelamkan” ingin dijadikan AS sebagai batu loncatan membendung China.
Baca juga: BRICS, Dulu Kelompok Tersisihkan, Kini Siap Gantikan G7
Dukungan AS pada Ukraina dan Taiwan menjadi salah satu benih pemunculan aliansi Sino-Rusia. Kini Rusia dan China seperti hendak mengatakan bahwa aliansi ini tidak saja bisa menggusur AS dari halaman belakang terdekat (Ukraina dan Taiwan), tetapi juga halaman belakang paling jauh dari wilayah aliansi ini (Iran).
Masuknya Iran sekaligus menohok AS dalam konteks pengenaan sanksi ekonomi dan politik. Iran paling lama dan intensif sebagai sasaran sanksi ekonomi Barat. Rusia juga dibombardir dengan sanksi, demikian juga China sejak pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump. Rusia dan China lewat BRICS ingin menunjukkan bahwa sanksi tidak akan mempan dan negara-negara akan luput dari sanksi, apalagi jika berjalan tandem.
Perlawanan kolosal
Masuknya Iran, Arab Saudi, Mesir, UEA, Etiopia, dan Argentina sekaligus menggambarkan perlawanan kolosal bagi dominasi kekuatan lama. Perlawanan kolosal itu juga muncul karena pengabaian Barat pada Benua Afrika. Eks koloni Eropa ini sejak kemerdekaannya tidak pernah merasakan keberpihakan Eropa.
Cheta Nwanze, peneliti di SBM Intelligence (think-tank Nigeria), sebuah penasihat geopolitik yang berfokus pada Afrika Barat, mengatakan, ”Saya pikir ini merupakan dakwaan terhadap kebijakan luar negeri kami atau ketiadaan kebijakan luar negeri kami. Kami dulunya sangat Pan-Afrika dalam kebijakan luar negeri. Satu hal yang kini sangat jelas adalah sebagian besar wilayah Afrika—mungkin kecuali Nigeria dan Kenya—sedang menjauh dari Barat menuju Timur. Kami lama bertahan di kubu Barat tanpa mendapatkan manfaat apa pun dari kubu Barat,” kata Nwanze kepada Al Jazeera, 24 Agustus.
Eropa tidak bisa membantah pernyataan ini. ”Kita tidak punya bukti selama bertahun-tahun bahwa Eropa menginginkan diri jadi mitra tepercaya, terandalkan, dan mitra adil bagi negara-negara berkembang,” kata Reinhard Butikofer, koordinator kebijakan luar negeri dari kubu Hijau di Parlemen Eropa.
Antusiasme banyak negara terhadap BRICS merefleksikan bukan hanya daya tarik China tentang nilai netral globalisasi, melainkan juga kegagalan Barat membangun tatatan internasional yang inklusif.
Demikian juga Argentina menjadi negara yang lama telah merasa tertekan dengan dominasi AS. Argentina merupakan potret perlawanan Amerika Latin yang mengalami kehilangan pertumbuhan pada dekade 1980-an. Presiden Argentina Alberto Fernandez pada 18 Mei 2023 menolak tekanan Dana Moneter Internasional (IMF), badan internasional yang didominasi Barat, tentang program penghematan.
Marak kritikan atas perilaku Barat seiring dengan perkembangan BRICS terbaru. Ini menarik minat negara-negara berkembang bergabung. ”Antusiasme banyak negara terhadap BRICS merefleksikan bukan hanya daya tarik China tentang nilai netral globalisasi, melainkan juga kegagalan Barat membangun tatatan internasional yang inklusif,” kata Neil Thomas, peneliti di Asia Society Policy Institute’s Center for China Analysis, dikutip dari laman The New York Times.
Dikatakan Barat, dominasi AS yang gagal menjadi sorotan. Editorial The Telegraph, 25 Agustus, turut menyalahkan kebijakan Presiden AS Joe Biden, terutama penekanan terhadap Arab Saudi, pendorong masuknya negara itu ke BIRCS.
Baca juga: BRICS Perlu Arab Saudi dan Indonesia
Amat percaya diri
Meski demikian, abainya Barat merangkul dunia atau kesan Barat bertindak seenaknya, tidak pernah membuat negara-negara di dunia berani menampilkan Iran ke panggung internasional. Rusia dan China sekalipun sejak 1980-an tidak pernah berhasil menolong Iran, kecuali sembunyi-sembunyi.
Kini Iran ada di panggung internasional melalui BRICS. Latar belakangnya adalah pemudaran Barat. Rusia dan China memiliki prisma ini. Kalimat Presiden Xi dan Putin memperlihatkan keteguhan dengan masuknya Iran ke dalam BRICS. ”Perluasan keanggotaan ini bersejarah. Ini menunjukkan tekad negara-negara BRICS untuk bersatu dan bekerja sama dengan negara-negara berkembang yang lebih luas,” kata Xi. Ini simbol unjuk taring.
Putin mengakui bangkitnya tatanan dunia baru masih dihadapkan pada para penentang kuat. Namun, Iran tetap bergabung ke BRICS dan Putin sepakat dengan China tentang ini.
Sanusha Naidu, peneliti senior dari Institute for Global Dialogue, think-tank Afrika Selatan yang mendalami China, berkata, ”Memiliki Iran di dalam BRICS sekaligus mengirimkan pesan sangat kuat kepada G7, negara-negara Utara, dan Washington.”
Aksi mereka mirip pernyataan, ”Anda boleh mempunyai masalah dengan Iran, tetapi kami akan menampungnya di BRICS.” Pernyataan implisit lain, ”Masalah Anda (dengan Iran) bukanlah masalah kami.”
Naidu mengatakan, Afrika Selatan, yang memiliki hubungan penting dengan AS, mungkin harus menghadapi ”dampak” masuknya Iran ke dalam BRICS. Namun, Naidu mengatakan, Afrika Selatan kini memiliki kekuatan strategis untuk mengatakan ”Saya memiliki BRICS di belakang saya sekarang. Saya memiliki tembok BRICS.”
Baca juga: 40 Negara Berminat Gabung BRICS
Sudah melemah
Gerard Araud, mantan Duta Besar Perancis untuk AS, menuliskan di The Telegraph bahwa Eropa sendiri sudah lama memudar dan sejak 1945 melulu ada di belakang AS. Ia menuliskan itu lewat artikel berjudul ”Deluded Europe can’t see that it’s finished”. Intinya ia menyimpulkan bahwa Eropa tetap merasa diri jadi penentu, tetapi hal itu sudah tidak berlaku lagi.
John Bolton, mantan penasihat keamanan nasional untuk Donald Trump, tidak merasa gusar dengan BRICS dan segala perkembangannya. Pandangan itu serupa dengan Trump. Ia bahkan mengatakan, BRICS tidak akan beranjak ke mana-mana dilengkapi argumentasi bahwa China sedang memudar secara ekonomi.
Jake Sullivan, penasihat keamanan nasional untuk Presiden Biden, mengatakan, ”AS tidak melihat BRICS sebagai kelompok yang menjadi rival geopolitik bagi AS dan siapa pun yang lainnya.” Departemen Luar Negeri AS juga tidak menjelaskan pertanyaan tentang opini AS tentang negara-negara yang telah dalam rangkulan BRICS.
Namun, tidak demikian pandangan pakar Eropa lainnya.Mats Engstrom, pemikir senior dari European Council on Foreign Relations, mengatakan, masuknya anggota baru ke BRICS jelas menunjukkan kemenangan China. Meskipun mungkin ekonomi China sedang memudar, Engstrom melanjutkan, China berhasil memanfaatkan situasi di mana Barat selama ini dipandang tidak akomodatif terhadap kepentingan banyak negara.
Semua ini memunculkan hipotesis, dunia dengan pemudaran Barat sedang berlangsung. Bergabungnya Iran ke BRICS adalah simbol terbaru yang kuat tentang itu. (AFP/AP/REUTERS)