BRICS, Dulu Kelompok Tersisihkan, Kini Siap Gantikan G7
Saat Afrika Selatan bergabung BRIC (berdiri 2006) tahun 2010, sejatinya bukan Afrika Selatan, tetapi Indonesia yang disebut dalam makalah Goldman Sachs berjudul ”Building Better Global Economic BRICs”, 30 November 2001.
Jauh sebelum berdiri pada 2006, negara-negara anggota BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) sudah terlihat menjadi sumber keuntungan investasi global. Afrika Selatan bergabung pada 2010 sehingga nama kelompok itu ditambahi dengan huruf ”S” (singkatan dari: South Africa/Afrika Selatan) menjadi BRICS.
Pada 2001, Goldman Sachs Economic Research Group memprediksi besaran ekonomi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan akan meningkat. Hal itu kini benar-benar terjadi dan berpotensi merombak secara signifikan tatanan dunia.
Saat Afrika Selatan bergabung tahun 2010, sejatinya bukan Afrika Selatan, melainkan Indonesia yang disebut dalam makalah Goldman Sachs berjudul ”Building Better Global Economic BRICs” pada 30 November 2001. Tulisan Jim O’Neill, Kepala Global Economic Research Goldman Sachs, juga menyebut Indonesia sebagai bagian dari kebangkitan negara-negara berkembang.
”Perubahan kekuatan ekonomi global tergambar dari membesarnya porsi perekonomian Brasil, Rusia, India, China, dan Indonesia,” tulis O’Neill. Afrika Selatan malah tak disinggung dalam makalah itu.
Baca juga: BRICS Perlu Arab Saudi dan Indonesia
Saat bersamaan, O’Neill melihat tata kelola dunia di bawah G7 (AS, Kanada, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, dan Italia) tidak memadai. ”Tahun demi tahun berlalu, G7 berkumpul hanya untuk mengumpulkan informasi dan menghindari urusan penting dunia dan pasar,” kata O’Neill.
Sebagai contoh, saat krisis Asia merebak pada 1997, G7 hanya berbicara tanpa bertindak. Kebijakan ekonomi G7 bahkan sering mengorbankan kepentingan negara berkembang, termasuk akibat fluktuasi kurs dollar AS. Meksiko digoyang Tequilla fever pada 1994, dengan amblasnya kurs peso. Lira Turki dan rubel Rusia amblas akibat kenaikan suku bunga AS.
Terbelenggu kepentingan AS
O’Neill, lulusan ekonomi dari Sheffield University dan University of Surrey, terpaku pada nalar ekonomi bahwa dunia akan berkembang baik jika berjalan beriringan. Ia paham ego negara-negara, tetapi untuk urusan kemakmuran, kolaborasi kolosal merupakan hal mutlak.
Fenomena penduduk menua sebelum kaya menjadi ancaman global. Pertumbuhan dan pemerataan kue ekonomi global menjadi keharusan. Maka, O’Neill mencuatkan ide agar G7 diperluas. ”G7 harus direformasi menjadi G9 agar pembuatan kebijakan global jauh lebih efektif,” ujar O’Neil. Kanada dan Italia ketika itu sudah tidak seelegan China dan Rusia secara ekonomi.
Tahun demi tahun berlalu dengan status quo G7. Di atas semua itu, G7 secara efektif menjadi sandera kepentingan AS.
Tahun demi tahun berlalu dengan status quo G7. ”Di atas semua itu, G7 secara efektif menjadi sandera kepentingan AS. Jadi, bagaimana Anda bisa mengatasi isu besar global hanya dengan keterlibatan segelintir pihak saja,” kata O’Neil dalam pernyataan terbaru, 1 Juni 2023, kepada African Business.
Baca juga: G7 Semakin Tak Relevan bagi Dunia
Jurnalis Inggris, Martin Wolf, di harian The Financial Times, 23 Mei 2023, menegaskan, ”Yes, G7 harus membela nilai-nilai dan kepentingannya, tetapi tidak akan bisa menjadi komando dunia…. Jalur menuju kolaborasi global harus ditemukan.”
Pemikiran serupa berkembang di luar G7. Muncul penolakan pada dominasi Barat yang diskriminatif dan mendikte. ”Tidak ada peradaban yang lebih tinggi dari yang lain,” kata Profesor David Monyae, spesialis studi China-Africa di University of Johannesburg, 6 Agustus 2023. Artinya, dalam pembangunan juga tidak boleh ada yang mendikte (CGTN, 6 Agustus 2023).
Aneka keluhan, seperti dituliskan Reuters, 21 Agustus 2023, membuat BRICS diminati banyak negara untuk bergabung. Ada alasan seragam di balik niat itu, yakni keinginan memiliki kesetaraan dalam tatanan global, yang selama ini banyak bertindak curang.
Baca juga: 40 Negara Berminat Gabung BRICS
Kecurangan itu terlihat, antara lain, lewat praktik dagang curang, pengenaan sanksi terhadap rezim yang tak disukai G7 yang didominasi AS. Tatanan global selama ini dipersepsikan mengabaikan kepentingan negara-negara miskin. Alasan lain, Barat kaya terlalu dominan dalam badan-badan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dana Moneter Internasional (IMF), atau Bank Dunia.
”Tatanan global dibutakan dengan visi hegemonik AS,” kata Ramon Lobo, mantan Menteri Keuangan dan mantan Gubernur Bank Sentral Venezuela.
Harapan terlalu tinggi
”Badan-badan multilateral sekarang ini bukanlah tempat bagi kami berlandas dan bukan badan yang membuat kami merasakan hak setara dan inklusif,” kata Rob Davies, mantan Menteri Perdagangan Afrika Selatan yang memelopori masuknya Afsel ke BRICS.
Di tengah ketidakpuasan yang meluas terhadap tatanan dunia selama ini, BRICS mencanangkan diri sebagai kampiun untuk blok ”global selatan”. ”Niat bergabung dengan BRICS tidak pernah seantusias sekarang ini,” kata Davies.
Baca juga: BRICS, Kekuatan Penyeimbang Barat
Lewat pembangunan, BRICS dan simpatisannya telah melumpuhkan dominasi Barat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kubu global selatan ini tak mau meneken perjanjian baru WTO karena hanya menuntut keterbukaan pasar negara berkembang, tanpa kewajiban Barat membuka pasarnya.
Dalam pertemuan puncak di Johannesburg, Afrika Selatan, 22-24 September 2023, penolakan dominasi Barat itu tetap mencuat. Dalam pidatonya, Rabu, 23 Agustus 2023, Presiden China Xi Jinping mengatakan, ”BRICS adalah sebuah kekuatan penting dalam membentuk lanskap internasional. Kami memilih jalur pembangunan secara independen, bergabung membela hak kami dalam pembangunan, berjalan tandem menuju modernisasi.”
Namun, ada peringatan bahwa BRICS bisa menjadi harapan kosong. ”Mereka yang sekarang berminat untuk bergabung BRICS, kemungkinan sedang menaruh harapan berlebihan tentang apa yang bisa diberikan BRICS,” demikian peringatan Steven Gruzd dari South African Institute of International Affairs. ”Perolehan hal konkret dari BRICS sulit ditemukan. Ada lebih banyak pembicaraan. Aksi jauh lebih sedikit,” kata Gruzd.
Ini benar jika BRICS dipersepsikan mirip sebagai badan pemberi bantuan langsung tunai, sebagai contoh. BRICS bukan badan karitas, melainkan kerangka kerja sama berbasis multilatelarisme global. Di dalamnya tentu akan ada bantuan teknis dan finansial, tetapi intinya adalah membangun bersama dengan sikap saling akomodatif dan terbuka secara ekonomi.
Dominasi China
Namun, memang BRICS timpang. BRICS menjadi menarik hanya karena warna China. Investasinya di Afrika, Amerika Latin, dan Asia membuat China jadi tumpuan harapan. China di bawah Presiden Xi Jinping akan fokus dengan investasinya di Afrika sebesar 300 miliar dollar AS.
BRICS hanya akan lebih membahana dan bisa menjadi kampiun ”dunia selatan (global south)” sesungguhnya jika para anggotanya sama-sama mau berkembang. Dalam pandangan O’Neill, sejak berdiri pada 2010, hanya China dan India yang terus menggelinding. Itu pun, India tidak sehebat China dalam kepeduliannya. Bahkan, India dan China bertentangan dalam banyak isu global.
Baca juga: Perbedaan Aspirasi Jadi Tantangan Konsolidasi BRICS
Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan, menurut O’Neill, mengalami degradasi setelah BRICS berjalan pada sepuluh tahun pertama. Rusia terlalu fokus pada harga diri geopolitik dan melindas tetangganya. Akibatnya, Presiden Rusia Vladimir Putin tidak bisa menghadiri pertemuan puncak di Johannesburg, Afrika Selatan, 22-24 Agustus 2023.
Di samping itu, Barat lewat G7 sangat risi dengan BRICS. Media-media G7 secara sporadis membombardir kelesuan ekonomi China sekarang ini. BRICS sedang jadi bulan-bulanan eksternal, terutama dengan komando AS lewat medianya.
Negara-negara yang berpotensi bergabung dengan BRICS juga ada yang enggan dan seperti malu-malu kucing. Ada yang ketakutan dicap menjadi blok China jika menjadi anggota BRICS. Tidak banyak yang seperti China, terus berani menjalankan program ekonominya sendiri walau bertahun-tahun ditekan AS.
BRICS akan melaju
Meski demikian, O’Neill melihat China tetap berkembang apapun opini buruk yang ditebar AS tentang prospek perekonomiannya. India, walau diperkirakan akan antagonis dalam banyak hal dengan China, setidaknya terus melaju dengan inovasi teknologi.
Baca juga: India Ukir Sejarah, Misi Chandrayaan-3 Berhasil, Vikram Mendarat di Bulan
Kuat harapan BRICS akan membesar. Kesempatan pembangunan dengan aliran investasi dan aliran dagang akan memperbesar BRICS. Kondisi demografi yang relatif muda membuat BRICS, dengan porsi 40 persen dari total penduduk, akan terus menggelinding.
BRICS kini memiliki porsi 28,96 persen terhadap produksi domestik bruto global berdasarkan purchasing power parity tahun 2022. Prediksi IMF pada Juli 2023 menyebutkan, Asia akan menyumbang 70 persen terhadap pertumbuhan PDB global. Kontribusi China (34,9 persen) dan India (15,4 persen) menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi global 2023. Bandingkan dengan kontribusi Eropa yang hanya 7,1 persen dan Benua Amerika 13,7 persen.
Tidak tertutup kemungkinan, BRICS akan maju hingga bisa mempercepat dedolarisasi. Sekarang ini saja, jika India dan China bersatu, dedolarisasi bisa melaju kencang.
Baca juga: Proses Dedolarisasi Sedang Berlangsung
Sebagai motor utama BRICS, China kini memiliki neraca perdagangan sebesar 25,6 persen dengan AS dan Uni Eropa dari total neraca perdagangan China dengan dunia. Neraca perdagangan China dengan BRICS hanya 8,7 persen. Namun, neraca perdagangan China dengan ASEAN, Amerika Latin, Rusia, dan India sudah 32,80 persen.
Profesor Richard D Wolf, mantan dosen di Yale University, memotret bahwa di depan, dominasi kapitalisme Barat akan menjadi masa lalu. Ia melihat, pusat-pusat ekonomi dunia tidak hanya berpusat di China, tetapi juga di Afrika, Latin, dan Asia lainnya.
Hal yang juga menarik, Wolf melihat China dan BRICS akan mengombinasikan kekuatan negara dengan kekuatan kapitalis. Kapitalisme laissez-faire tidak akan dibiarkan mengeruk keuntungan semata tanpa memikirkan kemakmuran bersama seperti terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Wolf juga tidak yakin dengan kampanye buruk AS dan Barat tentang prospek ekonomi China. ”Itu hanya sinyal penolakan AS pada kekuatan baru sekaligus penyangkalan diri bahwa kekuatannya telah memudar,” tegas Wolf.
Baca juga: Biden dan Pakar AS Proyeksikan Kejatuhan Ekonomi China
Wolf mengingatkan sejarah bahwa Inggris juga pernah menghantam AS karena mencoba melepaskan diri dominasi Inggris. Namun, akhirnya Inggris berhenti menyerang dan berkolaborasi.
Hindari perangkap China
Namun, BRICS harus dijaga secara internal agar jangan jadi antagonis terlalu dalam terhadap Barat. Maka untuk itu, BRICS dan para calon anggota berikutnya harus maju dengan meniru hal baik dari China soal pengalaman pembangunan. China sangat suka membantu dan memberi bantuan teknis dalam pembangunan di banyak negara.
Baca juga: BRICS Bukan Hegemon Baru
Hal yang perlu dijaga adalah agar para anggotanya tidak masuk perangkap China dan menjadi ”blok China” yang sangat antagonis dengan blok non-China. Maka dari itu, anggota BRICS sejak diri harus mengambil kesempatan untuk mengembangkan diri termasuk lewat pengembangan teknologi, seperti dibuktikan lewat kemajuan ekonomi China.
Para anggota BRICS juga harus berbenah agar tidak terjebak dengan ”kutukan komoditas”, merujuk pada kekayaan alam yang memberi rezeki tetapi lupa bergegas, seperti dialami Rusia dan Brasil.
Akhir kata, tujuan awal BRICS adalah pengelolaan global lewat tatanan baru yang inklusif bagi semua. Namun, jangan pula BRICS terjebak menjadi rezim otoriter, komunis. Tidak ada jaminan China tak tergoda untuk hegemonik. AS sangat lama bertahan menjadi kekuatan benevolent, tetapi berubah juga menjadi kekuatan liberal hegemonik. China bisa berubah juga.
Xu Xiujun, staf senior di National Institute for Global Strategy, Chinese Academy of Social Sciences, mengatakan bahwa pertemuan puncak di Johannesburg menjadi kesempatan bagi Beijing menorehkan pengelolaan global yang lebih baik dan multilateralisme sejati (China Daily, 21 Agustus 2023). Falsafah multilateralisme sejati ini yang harus dijaga ketat oleh BRICS secara internal. (REUTERS/AP/AFP)