Anggota BRICS menyatakan mereka tidak ingin menjadi hegemon baru. Sebaliknya, BRICS ingin mendorong kerja bersama yang lebih inklusif yang bisa memberi kemajuan dan kemakmuran serta pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
JOHANNESBURG,RABU — Lima negara anggota kelompok kekuatan menengah yang tergabung dalam BRICS, yaitu Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan, tidak dalam posisi berhadapan dengan kerja sama multilateral lain dan bukan berupaya untuk menjadi hegemon baru. Kerja sama ini adalah bagian dari upaya untuk menjadi penafsir baru sistem internasional dan tatanan global yang selama ini secara eksklusif milik negara-negara Barat semata.
Pandangan itu mengemuka dari sejumlah kepala negara dan perwakilan negara anggota BRICS saat menghadiri forum bisnis yang diadakan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi BRICS, Rabu (23/8/2023). Tuan rumah, Presiden Afrika Selatan Cyrill Ramaphosa, Presiden Brasil Lula da Silva dan Perdana Menteri India Narendra Modi hadir secara langsung.
Presiden China Xi Jinping, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Menteri Perdagangan Wang Wentao, mengatakan, menjadi hegemon baru tidak ada dalam DNA China. Dia juga menyatakan bahwa pertemuan antara lima anggota BRICS dengan sejumlah negara undangan yang hadir di forum tersebut adalah bukan untuk meminta negara-negara mitra mereka. untuk memihak atau menciptakan konfrontasi dengan membentuk blok baru, akan tetapi adalah upaya untuk memperluas upaya penciptaan perdamaian dan pembangunan bersama.
“Apa pun perlawanan yang mungkin ada, BRICS adalah kekuatan positif dan stabil dengan niat baik yang terus tumbuh. Kami akan menjalin kemitraan strategis BRICS yang lebih kuat, secara aktif memajukan perluasan keanggotaan dan membantu membuat tatanan internasional lebih adil dan merata,” tulis Xi.
Xi juga menambahkan, saat ini tatanan dunia tengah mengalami perubahan dan mengarah pada satu titik yang dinilainya sangat kritis. Keputusan masing-masing negara itulah yang nantinya akan membentuk dan menjadi catatan sejarah tersendiri. ”Alur sejarah akan dibentuk oleh pilihan yang kita buat,” katanya.
Pandangan demikian juga ditimpali oleh Lula. "Kami tidak ingin menjadi tandingan G7, G20 atau Amerika Serikat. Kami hanya ingin mengatur diri kami sendiri,” katanya dalam sebuah unggahan di media sosial.
Pandangan senada disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov. Mengutip pernyataan Lavrov dalam sebuah wawancara dengan media Afrika Selatan, 21 Agustus 2023, Rusia memandang persekutuan BRICS tidak bertujuan untuk mengganti mekanisme multilateral yang ada, apalagi menjadi hegemon kolektif baru. Sebaliknya, dalam pandangan Rusia, menurut Lavrov, persekutuan ini telah mendorong pemerataan pembangunan di semua negara, mengesampingkan persaingan antarnegara atau kelompok negara tertentu seperti yang terjadi pada era Perang Dingin dan pendekatan geopolitik zero-sum. “BRICS berupaya menawarkan solusi inklusif berdasarkan pendekatan partisipatif,” tulisnya.
Pendekatan baru yang ditawarkan oleh BRICS menurut Lavrov telah mendorong munculnya pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai wilayah. Dari sana, partisipasi negara-negara yang berada dalam satu wilayah tertentu tentang isu geopolitik atau geoekonomi, di Eurasia, Asia Pasifik, Timur Tengah, Afrika hingga Amerika Latin, bermunculan karena negara-negara tersebut merasa bahwa suara dan kepentingan mereka harus terwakili dalam setiap pengambilan keputusan.
“Upaya kolektif Barat untuk membalikkan tren ini dengan maksud untuk mempertahankan hegemoninya sendiri memiliki efek sebaliknya. Komunitas internasional lelah dengan pemerasan dan tekanan dari para elit Barat dan perilaku kolonial mereka,” tulisnya. Lavrov menambahkan, dunia tengah menyaksikan kemunculan tatanan dunia multipolar yang lebih adil.
Mengisi Kesenjangan
Sarang Shidore, Direktur Program Global Selatan QUincy Institute yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, mengatakan, negara-negara selatan (miskin dan berkembang) melihat kelompok ini sebagai kumpulan negara yang bisa mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh buruknya tata kelola global AS. Kondisi itu terjadi saat negara-negara global selatan tengah berupaya keluar dari krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19, Washington hanya memberi dukungan minimalis.
Bahkan, lebih jauh, kebijakan menaikkan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed, dinilainya, telah memperburuk situasi ekonomi global.
Pandangan yang sama disampaikan peneliti senior Pusat Kebijakan Pembangunan Global Universitas Boston Rebecca Ray. “BRICS memenuhi permintaan yang belum atau tidak bisa dipenuhi di tempat lain,” ujar Ray, dikutip dari laman Foreign Policy.
Oliver Stuenkel, profesor di School of International Relations Fundacao Getulio Vargas di Brasil. “Kelompok ini berada pada waktu dan titik yang tepat untuk memenuhi perannya, membantu anggotanya membatasi peran AS sampai batas tertentu dan memperkuat hubungan sesama anggota,” kata Stuenkel.
Substansi yang mengemuka dalam pertemuan itu adalah proses untuk meminimalisir penggunaan mata uang AS, dollar, dalam transaksi antarsesama anggota BRICS. Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam pidatonya secara virtual, menyebut, penggunaan dolar AS dalam transaksi sesama anggota BRICS pada tahun lalu hanya 28,7 persen dan terus menurun.
"Proses de-dolarisasi hubungan ekonomi kita yang objektif dan tidak dapat diubah sedang mendapatkan momentum," kata Putin. (AP/AFP/Reuters)