Penggunaan Yuan untuk pembayaran transaksi internasional akhir-akhir ini memang meningkat pesat, Akan tetapi untuk mengatakan bahwa penggunaan USD telah digantikan RMB atau uang BRICS itu sedikit terlalu tergesa-gesa.
Oleh
J SOEDRAJAD DJIWANDONO
·3 menit baca
Akhir-akhir ini muncul berbagai tulisan tentang rencana dikeluarkannya satu mata uang negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), seperti euro di Uni Eropa (UE).
Dewasa ini UE beranggotakan 27 negara, tapi dari jumlah ini baru 20 yang menggunakan euro sebagai alat pembayaran mereka. Artinya, masih ada tujuh anggota EU yang menggu- kan mata uang mereka sendiri. Bisa dibayangkan penyelenggaraan pembayaran di antara mereka tentu cukup rumit.
Bagaimana bank sentral UE, European Central Bank (ECB), beroperasi bersamaan dengan bank-bank sentral yang mata uangnya masih terpisah, ini tentu memunculkan permasalahan tersendiri. Apalagi kewenangan fiskalnya benar-benar masih terpisah.
Sebagaimana diketahui, ada pula negara yang semula telah bergabung dengan UE, tetapi kemudian menyatakan keluar, yakni Inggris. Keluarnya Inggris ini dikenal dengan istilah Brexit. Semula ada yang memperkirakan akan ada eksodus negara-negara lain mengikutinya untuk keluar dari UE, tetapi sampai sekarang tidak ada tanda-tanda itu. Justru Inggris yang tampaknya merasakan akibat negatif dari keputusan Brexit ini.
Uni Eropa terbentuk sejak 1957. Akan tetapi, pembentukan euro memakan waktu lama sekali, baru terlaksana dalam kesepakatan di tahun 1992, dengan pertemuan mereka di Belanda dan karena itu kesepakatan pembentukan euro ini juga dinamakan ”Maastricht Treaty”. Mengambil nama kota tempat dilangsungkannya kesepakatan tersebut. Jadi mereka memerlukan waktu 35 tahun untuk menciptakan euro.
Mengambil pelajaran dari pembentukan UE dan euro, akhir-akhir ini ramai dibahas tentang uang BRICS, bahkan oleh para ahli. Termasuk soal akan hilangnya dolarisasi atau sistem pembayaran dengan dollar AS, digantikan mata uang China, yuan/renminbi (RMB).
Dalam pandangan saya, pendapat-pendapat tersebut agaknya terlalu tergesa-gesa karena penggantinya, apakah RMB atau uang BRICS, rasanya masih jauh dari memadai untuk menggantikan kedudukan dollar AS yang masih sangat kuat itu. Bahwa berpotensi untuk menggantikan, tentu saja dimungkinkan, tetapi masih akan memakan waktu lama dengan persiapan yang matang. Kapan hal tersebut terjadi, saya tidak berani ikut menebak.
Mengenai hal di atas tentu ada yang mengingatkan bahwa RMB semakin banyak dipergunakan dalam pembayaran internasional, demikian pula penggunaan dollar AS sebaliknya menurun, tampak dari depresiasi dollar AS, termasuk terhadap rupiah. Itu memang benar, tetapi perlu pula dicatat mengapa hal tersebut terjadi.
Penggunaan RMB dalam pembayaran internasional memang meningkat tajam.
Penyebab utamanya adalah dari peningkatan luar biasa perdagangan antara China dan Rusia. China, yang jelas kiblatnya dalam Perang Rusia-Ukraina, ingin membantu Rusia dengan mendorong ekonominya, membeli banyak minyak dan gas dari Rusia dan komoditas lain dengan pembayarannya yang boleh dilakukan menggunakan RMB, sehingga penggunaan RMB meningkat banyak.
Tentu saja, sebaliknya dengan penggunaan dollar AS. Dan hukum pasar tetap berlaku, RMB naik pamornya, dan dollar AS terdepresiasi. Jadi kalau terhadap rupiah, dollar AS juga sedang terdepresiasi, tentu saja ada apresiasi terhadap rupiah.
Rupiah menguat terhadap dollar AS bukan karena ekonomi Indonesia yang menguat, melainkan dollar AS yang sedang melemah. Itu yang terjadi, tidak kurang, tidak lebih.
Apakah hal tersebut berarti dollar AS lalu nyungsep, tidak lagi dipergunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan dunia? Bahwa itu suatu kecenderungan, iya. Apakah akan cepat terjadi, nanti dulu. Sebelum cepat berkesimpulan, lebih baik kita mempelajari perkembangannya sebagaimana tergambar secara statistik.
Dengan peningkatan penggunaan RMB dalam pembayaran internasional, terutama untuk pembayaran impor migas China dari Rusia, telah terjadi peningkatan persentase penggunaan RMB dalam pembayaran global. Dari 2,7 persen pada Desember lalu, menjadi 3,2 persen pada April ini, menurut IMF. Dengan demikian urutan penggunaan uang kini: 1) dollar AS, 2) euro, 3) pound Inggris, 4) dollar Kanada, dan 5) RMB.
Dengan peningkatan penggunaan RMB dalam pembayaran internasional, terutama untuk pembayaran impor migas China dari Rusia, telah terjadi peningkatan persentase penggunaan RMB dalam pembayaran global.
Butuh waktu lama
Jadi, penggunaan RMB untuk pembayaran transaksi internasional akhir-akhir ini memang meningkat pesat, terutama karena peningkatan impor migas oleh China dari Rusia yang dibayar dengan RMB. Dengan demikian, benar terjadi penurunan penggunaan dollar AS dalam pembayaran internasional.
Akan tetapi, untuk mengatakan bahwa penggunaan dollar AS telah digantikan RMB atau uang BRICS, itu terlalu tergesa-gesa. Ada pergerakan demikian, tetapi proses masih akan berjalan lama.
Lihat saja bagaimana pound Inggris dulu merajai uang dunia dan kemudian digantikan dollar AS sejak akhir Perang Dunia II. Prosesnya panjang, tidak terjadi segera. Ini adalah kenyataan yang berkembang, tanpa bumbu apa pun.
J Soedradjad DjiwandonoGuru Besar Emeritus Ekonomi, FEB-UI. Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional RSIS, Nanyang Technological University, Singapura