Arab Saudi Diminta Jauhi China dan Gandeng Israel jika Ingin Raih Nuklir AS
Kedekatan Arab Saudi dan China menggelisahkan Amerika Serikat, termasuk setelah Arab Saudi mempertimbangkan penggunaan mata uang China, yuan, sebagai alat pembayaran atas ekspor minyaknya.
Oleh
KRIS MADA
·6 menit baca
SAUDI ROYAL PALACE/BANDAR AL-JALOUD/AFP
Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken di Jeddah, Arab Saudi, 7 Juni 2023.
TEL AVIV, JUMAT — Upaya Amerika Serikat memediasi normalisasi hubungan Arab Saudi dan Israel menghadapi banyak tantangan. Penolakan Israel serta tuntutan Arab Saudi dan Amerika Serikat menjadi rintangan utama. AS juga menjadikan perundingan dalam proses mediasi itu sebagai alat menambah mitra agar menjauhi China. Permintaan ini diajukan untuk menyelamatkan perekonomian AS.
Sejumlah pihak di Israel dilaporkan menolak syarat yang diajukan Arab Saudi. ”Sekarang, kami tidak tahu akan memulai (perundingan damai Arab Saudi-Israel) dari mana. Mereka (Arab Saudi-AS) masih membahas urusan mereka,” kata Penasihat Keamanan Nasional Israel Tzachi Hanegbi sebagaimana dikutip media Israel, Times of Israel dan Jerusalem Post, Kamis (10/8/2023) malam waktu Tel Aviv atau Jumat (11/8/2023) dini hari WIB.
Pendahulu Hanegbi, Eyal Hulata, dan pemimpin oposisi, Yair Lapid, malah tegas menolak sebagian syarat perundingan. Hulata menyebut, teknologi nuklir jenis apa pun yang dimiliki AS tidak boleh diberikan ke Arab Saudi. Pemberian dengan alasan penggunaan untuk keperluan sipil sekalipun harus dilarang.
Sementara Lapid masih bisa mendukung jika Arab Saudi hanya diberi akses teknologi nuklir sipil milik AS. Walakin, ia menolak jika AS memberikan teknologi pengayaan uraniumnya ke Arab Saudi.
”Saya menentang kesepakatan apa pun yang memasukkan pengayaan uranium di Arab Saudi. Kesepakatan itu membahayakan keamanan Israel dan kawasan. Terlarang untuk memberikan Arab Saudi (teknik) pengayaan uranium pada aras apa pun,” kata Lapid sebagaimana dilaporkan televisi Israel, Channel 12 dan Channel 13.
AFP PHOTO /BARAKAH NUCLEAR POWER PLANT
Foto tanggal 12 November 2019 ini memperlihatkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Barakah di wilayah Gharbiya, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Arab Saudi menginginkan teknologi nuklir sebagai salah satu permintaan dalam perundingan normalisasi hubungan dengan Israel yang dimediasi Amerika Serikat.
Akses pada teknologi nuklir dan aneka persenjataan mutakhir AS adalah salah satu syarat yang diajukan Arab Saudi. Syarat lain, Washington mau memberikan payung keamanan kepada Riyadh, seperti yang diberikan AS kepada Israel, Jepang, dan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Dengan payung keamanan tersebut, serangan kepada Arab Saudi dapat dianggap sebagai serangan terhadap AS. Riyadh juga meminta masalah Palestina diselesaikan. Jika tuntutan itu dipenuhi, Arab Saudi bisa berdamai dengan Israel.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengatakan, pembahasan dalam perundingan berjalan ”produktif” terkait kemungkinan dicapainya kesepakatan. Namun, masih dibutuhkan beberapa pekan lagi untuk melanjutkan perundingan.
”Kami membuat kemajuan dalam beberapa isu. Saya tidak ingin menjelaskan lebih detail tentang kemajuan yang dibuat tersebut, tetapi jalan masih panjang dengan masa depan yang masih belum pasti,” kata Miller.
Faktor China
Dalam laporan The Wall Street Journal pada Rabu (9/8/2023) diungkap, AS tidak hanya berusaha mendamaikan Arab Saudi-Israel. Washington juga memanfaatkan perundingan itu untuk menjauhkan Riyadh dari Beijing.
Washington meminta Riyadh tidak menerima yuan sebagai alat pembayaran ekspor minyaknya. Arab Saudi juga diminta menghentikan atau setidaknya membatasi kerja sama dengan perusahaan teknologi China. Selain itu, Riyadh harus memastikan tidak akan mengizinkan China membangun pangkalan di Arab Saudi.
Washington menolak laporan tersebut. ”Tidak ada persetujuan apa pun soal perundingan. Tidak ada kerangka apa pun terkait normalisasi. Laporan itu mengesankan perundingan sudah berjalan lebih jauh dari fakta,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby.
AFP/SAUDI ROYAL PALACE/BANDAR AL-JALOUD
Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud (kedua dari kanan) berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping seusai menandatangani perjanjian kemitraan strategis komprehensif kedua negara di Riyadh, Arab Saudi, 8 Desember 2022.
Kedekatan Arab Saudi-China memang menggelisahkan AS. Washington dilaporkan terkejut kala China bisa mendamaikan Arab Saudi-Iran pada Maret 2023. AS semakin terkejut karena Arab Saudi mempertimbangkan yuan sebagai alat pembayaran atas ekspor minyaknya. Setiap tahun, ekspor minyak Arab Saudi ke China bernilai sedikitnya 55 miliar dollar AS. China juga membeli gas dan aneka produk petrokimia Arab Saudi.
Di sisi lain, China menggarap aneka proyek bernilai miliaran dollar AS di Arab Saudi. Sejumlah pihak menyebut, Riyadh bisa menerima yuan sebagai alat pembayaran ekspor minyaknya. Hasil penjualan itu dipakai lagi untuk membayar aneka proyek China di Arab Saudi.
Kondisi tersebut bisa membahayakan AS karena dua hal. Pertama, AS bisa kehilangan kendali atas transaksi di antara produsen dan konsumen minyak terbesar itu. Setiap transaksi dalam dollar AS harus diproses sistem perbankan AS.
Sistem transaksi itu bolak-balik dipakai AS untuk menekan negara lain. Larangan mengakses sistem transaksi itu berarti perdagangan lintas negara sulit dilakukan. Fakta itu juga yang mendorong berbagai negara berusaha mencari sistem alternatif, termasuk yang dijajaki China-Arab Saudi.
Alasan kedua, minyak merupakan komoditas terbesar dalam perdagangan global. Nilainya mencapai 2,1 triliun dollar AS per tahun. Dengan digunakan sebagai alat pembayaran transaksi minyak dan aneka komoditas lain, kebutuhan dollar AS akan tetap terjamin.
Berbagai produsen dan konsumen minyak membutuhkan AS untuk memproses dan menyimpan hasil transaksi minyak. Sebagian hasil transaksi itu disimpan di berbagai bank dan surat berharga AS. Kebutuhan global pada dollar AS menjadi salah satu penyebab Washington bisa tetap menanggung defisit selama puluhan tahun.
REUTERS/AHMED JADALLAH/FILE PHOTO
Pemandangan kawasan terminal dan pengolahan minyak Ras Tanura milik perusahaan Arab Saudi, Aramco, di Arab Saudi, 21 Mei 2018.
Jika minyak tidak diperdagangkan dalam dollar AS, kebutuhan pada mata uang AS itu berkurang. Kebutuhan sarana investasi, termasuk surat utang AS, untuk menyimpan dollar AS juga berkurang. Padahal, AS membutuhkan surat utangnya tetap dibeli sejumlah negara. Sebab, utang menjadi andalan pembiayaan APBN AS.
Utang AS menjadi keprihatinan berbagai pihak. Sejumlah lembaga menurunkan peringkat utang AS. Penurunan peringkat membuat AS harus menaikkan imbal hasil surat utangnya. Kini, AS mengeluarkan rata-rata 1 triliun dollar AS per tahun hanya untuk imbal hasil saja.
Pendapat pakar
Pengajar Harvard University, Stephen Walt, menyebut, faktor China memang sulit dilepaskan dari kebijakan AS di Timur Tengah. Presiden Joe Biden cemas pengaruh AS di sana menurun, sementara pengaruh China menguat.
”Dengan meyakinkan Arab Saudi berdamai dengan Israel, AS akan menunjukkan kemampuannya memberikan hasil pada proses diplomasi di sana. Akan lebih baik lagi jika AS mampu meyakinkan Arab Saudi untuk menyingkirkan permintaan soal nuklir,” kata Walt.
Di sisi lain, ia tidak melihat normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel sebagai hal mendesak dalam situasi sekarang. Potensi perang Arab-Israel nyaris sangat tipis. Israel nyaris tidak perlu lagi khawatir diserang tetangganya di Timur Tengah.
AP PHOTO
Foto tanggal 10 Juni 1967 ini memperlihatkan tentara Israel bersorak-sorai dalam kemenangan di Sinai, Mesir, selama Perang Enam Hari.
Selain itu, secara tidak resmi, hubungan Arab Saudi-Israel terjalin di berbagai bidang. Hal ini mengindikasikan, penerimaan pada Israel semakin meningkat. Karena itu, menurut Walt, perdamaian Arab Saudi-Israel tidak akan mengubah peta geopolitik kawasan. ”Manfaat strategisnya amat kecil,” katanya.
Ia juga mengingatkan, Biden hanya akan menghabiskan banyak sumber daya untuk perdamaian Arab Saudi-Israel itu. Padahal, sekarang di Israel ada mitra yang sangat tidak tahu cara berterima kasih. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berulang kali mengabaikan permintaan hingga peringatan AS soal kebijakan Israel pada Palestina. Sebagian pihak di AS sampai memandang, Netanyahu bisa dianggap menghina Biden.
Adapun peneliti Atlantic Council, Jonathan Fulton, memandang, kehadiran China tidak perlu disikapi berlebihan. Meski sukses mendamaikan Arab Saudi-Iran, tidak berarti China mengubah kebijakannya. China terkenal tidak suka membuat persekutuan dan tidak mau terlibat persoalan di kawasan lain.
Selain itu, berbeda dari negara-negara Barat, China juga dikenal tidak mau mencampuri urusan domestik negara lain. Kondisi ini tidak didapat Arab Saudi dan banyak negara dari hubungan dengan AS dan sekutunya di Barat.
Biden pernah menyatakan akan membuat Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) menjadi gelandangan di panggung global menyusul kasus pembunuhan wartawan The Washington Post, Jamal Khashoggi, di Istanbul, Turki, 2018. Biden ingin mengucilkan Sang Pangeran. Faktanya, malah Biden mendatangi Arab Saudi pada 2022 untuk bertemu MBS. (AFP/REUTERS)