Pemerintah Arab Saudi-Israel Makin Dekat pada Normalisasi, Warga Keberatan
Normalisasi dengan Israel harus sesuai dengan prinsip Inisiatif Damai Arab. Sejak dulu Arab Saudi sudah menyatakan kesiapan berdamai dengan Israel apabila isu Palestina diselesaikan.
TEL AVIV, SELASA — Pemerintah Arab Saudi dan Israel makin dekat pada persetujuan normalisasi hubungan kedua negara. Walakin, sebagian warga dan politisi kedua negara masih keberatan. Nasib Palestina jadi pertaruhan.
Dalam pernyataan pada Senin (7/8/2023), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengindikasikan siap membuat konsesi apa pun demi meresmikan hubungan Israel-Arab Saudi. Konsesi itu termasuk soal Palestina. Ia juga mengisyaratkan tidak mau konsensi itu dirintangi mitra koalisinya.
”Kalau ada kemauan politik, akan ada solusi politik untuk mencapai normalisasi dan perdamaian Arab Saudi-Israel. Ada ruang untuk membahas itu,” katanya, sebagaimana dikutip, antara lain, oleh Jerusalem Post, Times of Israel, dan Bloomberg.
Media-media Israel, Amerika Serikat, dan sebagian Eropa Barat gencar membahas soal perdamaian Arab Saudi-Israel. Sementara media Arab Saudi membahasnya terbatas dan menekankan soal Palestina.
Baca juga : Arab Saudi-Israel Tukar Guling, Palestina Makin Terpinggirkan
Dalam sejumlah kesempatan lain, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dan Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan Al Saud berulang kali menyatakan kesiapan Riyadh soal itu. MBS dan Faisal menegaskan, normalisasi harus seiring dengan penyelesaian isu Palestina.
Dalam laporan pada 7 Agustus 2023, Arab News mengutip peneliti Chatham House, Yossi Mekelberg, soal potensi normalisasi itu. Menurut dia, posisi Riyadh soal isu itu tidak berubah dalam 21 tahun terakhir. Bagi Arab Saudi, normalisasi dengan Israel harus sesuai dengan prinsip Inisiatif Damai Arab. Inisiatif itu diusung Riyadh pada 2002 dan diterima oleh mayoritas negara Timur Tengah.
Inisiatif Damai Arab menawarkan pengakuan kedaulatan Israel oleh negara-negara Arab. Syaratnya, Israel harus mundur dari wilayah Palestina sesuai perbatasan 1967. ”Sejak dulu Arab Saudi sudah menyatakan kesiapan berdamai dengan Israel, asal syaratnya terpenuhi. Syarat itu adalah penyelesaian isu Israel-Palestina,” kata Mekelberg.
Ia mengingatkan, inisiatif itu amat berani mengingat ketegangan sedang tinggi pada 2002. Kala itu, gelombang kedua Intifada atau perlawanan massal Palestina sedang naik. Meski demikian, Arab Saudi tetap mau mengakui Israel jika syaratnya terpenuhi. ”Justru Israel terus menolak tawaran itu sampai sekarang. Bahkan, sekarang Pemerintah Israel merasa dunia tidak lagi peduli Palestina dan karena itu bisa berbuat semaunya,” lanjutnya.
Syarat bertambah
Para pejabat pemerintahan Amerika Serikat juga terus mendorong normalisasi itu. Presiden AS Joe Biden, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan, dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken beberapa kali ke Arab Saudi untuk membahas normalisasi Arab Saudi-Israel. Mereka menemui penguasa faktual yang juga Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran MBS, untuk membahas masalah tersebut.
Media-media AS, seperti Bloomberg, The New York Times, dan The Wall Street Journal, melaporkan, Riyadh tidak hanya menetapkan syarat terkait Palestina. Arab Saudi juga menambahkan sejumlah syarat lain jika AS mau ada perdamaian Arab Saudi-Israel. Syarat itu mulai dari akses teknologi nuklir AS, izin pembelian aneka persenjataan tercanggih AS, hingga teknologi mutakhir untuk Arab Saudi.
Riyadh juga ingin Washington memberikan payung keamanan lebih besar bagi Arab Saudi. Riyadh mau AS menyerang negara mana pun yang menyerang Arab Saudi. Konsep itu seperti berlaku untuk Jepang, Filipina, Australia, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Baca juga : China Ingin Wujudkan Negara Palestina Merdeka
Sementara AS meminta Arab Saudi mengucurkan dana besar-besaran untuk pembangunan di Palestina dan Israel. Menurut The New York Times dan The Wall Street Journal, AS menghendaki Arab Saudi memberikan tawaran lebih menarik dari China kepada Israel dan Palestina. China telah mengindikasikan kesiapan memediasi Israel-Palestina.
Sulit terpenuhi
Syarat-syarat normalisasi Arab Saudi-Israel, menurut The New York Times, sulit dipenuhi di AS, Arab Saudi, ataupun Israel. Di Israel, tantangannya adalah mitra koalisi Netanyahu yang amat keras pada setiap perdamaian Palestina. Apalagi, Arab Saudi jelas meminta Israel mundur dari wilayah pendudukan. Dengan kata lain, semua permukiman ilegal Israel di Tepi Barat harus ditinggalkan dan warga Israel harus keluar dari wilayah Palestina sesuai perbatasan 1967.
Para politisi AS juga akan menjadi hambatan serius. Penjualan senjata dan akses teknologi yang diminta Arab Saudi harus disetujui Kongres AS. Di kalangan Partai Demokrat dan Republikan sama-sama ada kubu anti-Arab dan sentimennya amat kuat. Dengan kondisi itu, nyaris mustahil mendapat persetujuan Kongres.
Mekelberg mengatakan, Biden sangat menginginkan perdamaian Israel-Arab Saudi terjadi di masa pemerintahannya. Walakin, Biden tidak kunjung menunjukkan kemauan mendesak Israel untuk benar-benar menghentikan pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat. Lebih sulit lagi mengharapkan Biden meminta Israel meninggalkan Tepi Barat. ”Washington punya pengaruh besar pada Pemerintah Israel. Meski demikian, Biden tidak akan mau memakai itu untuk menekan Israel di masa pemilu,” kata dia.
Peneliti pada Middle East Institute, Khaled Elgindy, menyebut, Biden termasuk orang yang berpendapat Palestina bukan faktor utama dalam ketegangan Arab-Israel. Biden menganggap akar ketegangan adalah Arab tidak mau mengakui keberadaan Israel. ”Kalau pandangannya seperti itu, wajar fokusnya normalisasi, bukan mencari solusi penderitaan Palestina. Jadi, normalisasi Israel dengan Arab Saudi atau negara Arab lain tidak ada hubungan dengan nasib Palestina. Normalisasi tidak akan mengubah fakta Israel terus menyengsarakan Palestina,” ujarnya.
Ia sepakat dengan laporan The New York Times bahwa Pemerintah Israel mustahil mau memberi konsesi apa pun soal Palestina. Sebab, pemusnahan total negara dan bangsa Palestina menjadi gagasan inti pemerintahan Israel beberapa tahun terakhir. ”Dalam kondisi itu, tidak ada solusi atas masalah penolakan jutaan orang Palestina yang tidak mau diperintah dan jadi warga Israel, jutaan orang yang mau kemerdekaan. Fakta itu tidak akan bisa diubah oleh normalisasi apa pun,” ujar Elgindy .
Analis pada International Crisis Group, Anna Jacobs, mengatakan, kondisi elektoral AS menjadi alasan sekaligus aral hasrat Biden mendamaikan Arab Saudi-Israel. ”Perdamaian itu akan menjadi kemenangan politik dan diplomatik luar biasa bagi Biden,” katanya.
Baca juga : China Tawarkan Tiga Poin Proposal Perdamaian Palestina-Israel
Di sisi lain, syarat perdamaian itu juga sulit diterima sebagian pemilih. Sebab, syarat itu dianggap memberi kenyamanan pada Arab Saudi di satu sisi dan mengurangi hak Israel di sisi lain.
Bukan hanya warga AS, menurut Jacobs, warga Arab Saudi pun sulit menerima perdamaian dengan Israel. Berbagai jajak pendapat menunjukkan, warga Arab Saudi tidak mau mengakui Israel. ”Kalau Arab Saudi mau normalisasi dengan Israel, harus meyakinkan dulu warganya. Arab Saudi harus jelas membuktikan manfaat normalisasi untuk Palestina,” ujarnya. (AFP/REUTERS)