Arab Saudi dan China mengubah peta geopolitik di Timur Tengah lewat cara senyap. Kerja sama ekonomi diikuti perdamaian di kawasan turut mengentak AS.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dominasi AS dan Eropa bertahun-tahun yang menyakitkan bagi Timur Tengah perlahan berubah. Seperti dituliskan Yan Xuetong, profesor hubungan internasional, lewat bukunya berjudul Leadership and the Rise of Great Powers edisi Desember 2020, China menapak menuju kebesaran dengan kepemimpinan baik secara domestik.
Kepemimpinan baik ini beranjak ke level internasional dan memberikan pilihan pada negara-negara untuk menilai tanpa paksaan. Dengan paksaan, tidak ada relasi yang berlangsung baik dan hanya menyebabkan kekacauan relasi.
Tentu kepemimpinan baik versi China adalah dengan memilih cara sosialisme, bukan demokrasi ala Barat. Teknokrat China, Wang Huning, yang sebelumnya dosen di Fudan University, mengatakan, demokrasi lewat cara sosialisme bisa diperlihatkan melalui pemerintah dan birokratnya dengan performa baik, demi kemakmuran bersama.
Impian Presiden China Xi Jinping menjadi pemimpin besar domestik dan global yang baik termasuk dengan premis rasa iba akan kesewenang-wenangan Barat, lewat kolonialisme dan hegemoni liberal. Presiden Xi merasakan kesewenang-wenangan dan ingin memberi asa kawasan yang merasakan hal serupa.
Rasa iba ini bukan retorika. China membuat diri berkembang dan dimasuki para investor asing. Tentang Arab Saudi khususnya dan Arab umumnya, China juga melihatnya sebagai sumber energi seiring dengan perkembangan ekonomi, seperti dikatakan Hong Yong, peneliti dari Chinese Academy of International Trade and Economic Cooperation, kepada Global Times, Minggu (11/6/2023).
China sekaligus kesempatan investasi bagi Arab Saudi dan menjadi mitra kuat untuk melepas perekonomian yang sangat bergantung pada migas. Maka, dengan bangga, Arab Saudi mengumumkan kesepakatan ekonomi senilai 10 miliar dollar AS dengan China pada Senin (12/6) di Riyadh dan melibatkan 3.500 orang dari kalangan bisnis dan pemerintah. Ini pasti akan melejitkan lagi nilai perdagangan bilateral Arab Saudi- China yang mencapai 430 miliar dollar AS pada 2022.
Tentu semua ini tidak luput dari pemantauan AS. Dalam kunjungan Menlu AS Antony J Blinken, di Riyadh, 8 Juni, ia mengatakan tidak sedang meminta Arab Saudi memilih AS atau China. Hanya saja, Blinken mengatakan bahwa misinya membuat AS tetap menjadi pilihan utama bagi kawasan.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan, relasi dengan AS tetap kuat dan berkembang. Akan tetapi, Menlu Saudi berkata, relasi AS tidak menggantikan China atau sebaliknya. Arab Saudi dengan demikian unjuk gigi, bahwa negara ini tidak bisa dipaksa memilih. ”Kami tidak menerima tekanan,” kata Faisal bin Farhan.