Mencari Cara Penanganan Krisis Rohingya di Tengah Ketidakpastian
Ketidakpastian lebih berbahaya daripada risiko. Akan tetapi, pengungsi Rohingya mau menghadapi ketidakpastian itu karena keputusasaan yang menyelimuti hidup mereka.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian mengenai proses migrasi akibat keterpaksaan atau forced migration beserta ketidakpastiannya penting dilakukan untuk mengurai berbagai sindikat penyelundupan dan perdagangan orang. Ini pekerjaan rumah yang berat dan lama karena terlepas dari berbagai peraturan internasional. Selain itu, penanganan imigran gelap juga masih jauh dari ideal.
”Selama ini, penelitian mengenai migrasi adalah mengenai alasan kelompok orang tersebut meninggalkan daerah asal dan dampak terhadap daerah yang mereka datangi. Nyaris tidak ada penelitian mengenai proses migrasi itu sendiri,” kata Guru Besar Pergerakan dan Migrasi Universitas Bielefeld, Jerman, Antje Missbach di Jakarta, Selasa (1/8/2023). Ia saat ini menjadi peneliti tamu di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Missbach memberi kuliah umum berjudul ”Ketidakpastian di Dalam Migrasi akibat Keterpaksaan: Meneliti Perjalanan Rohingya dan Manusia Kapal Vietnam”. Manusia kapal Vietnam adalah orang-orang Vietnam yang meninggalkan negara mereka pada tahun 1970-an selama Perang Vietnam berkecamuk. Mereka banyak yang melarikan diri dengan membuat kapal ataupun rakit sendiri. Sebanyak 250.000 pengungsi Vietnam ditampung di Pulau Galang, Kepulauan Riau, pada periode 1979-1996 sebelum mereka memperoleh visa ke negara ketiga atau negara tujuan akhir.
Dari peristiwa manusia perahu Vietnam ini, lanjut Missbach, lahir bisnis penyelundupan orang. Mereka memanfaatkan kebutuhan orang-orang yang putus asa untuk meninggalkan negara asal karena musibah. Khusus bagi kelompok warga etnis Rohingya, mereka meninggalkan Myanmar karena dipersekusi oleh warga mayoritas. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa Rohingya adalah etnis minoritas yang paling dirisak di dunia.
Penelitian mengenai pergerakan migrasi terpaksa ini sukar karena tidak linear. Pelaku migrasi berpindah-pindah dan menghadapi hambatan. Di tengah perjalanan, mereka kerap kehabisan uang ataupun kesehatannya menurun sehingga terpaksa melakukan hal-hal yang tidak akan dilakukan di dalam kondisi wajar.
Bagi kelompok Rohingya, tujuan utama mereka adalah Malaysia. Ini karena Malaysia berpenduduk mayoritas Muslim sehingga dianggap tidak akan sukar bagi orang Rohingya untuk menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat. Selain itu, Malaysia membutuhkan tenaga kerja kasar.
Pemerintah Malaysia sendiri mengeluarkan izin kerja bagi orang Rohingya yang diterima suakanya. Secara jangka panjang, kata Missbach, sistem ini baik karena membuat para pengungsi mandiri dan tidak tergantung dari sumbangan. Hanya, penegakan perlindungan ketenagakerjaan untuk para pekerja Rohingya belum dijalankan dengan tepat.
”Persoalannya, menuju Malaysia prosesnya berbelit-belit. Umumnya, para pengungsi Rohingya yang kini tinggal di Cox’s Bazaar, Bangladesh, menggunakan sindikat penyelundup untuk meninggalkan penampungan sementara itu. Ini yang membuat pengelolaan pergerakan pengungsi susah dilakukan,” papar Missbach.
Di Bangladesh, tempat 1,2 juta orang Rohingya tinggal sejak eksodus 2017, situasinya kian tidak bersahabat. Kemiskinan, kesesakan, dan berbagai tindak kejahatan menghantui keseharian mereka.
Bahkan, Pemerintah Bangladesh memindahkan mereka ke Pulau Bhasan Char di Teluk Benggala. Pulau ini jauh dari daratan utama Bangladesh sehingga menyerupai penjara. Topografi pulau ini juga datar sehingga jika air laut pasang, sebagian pulau bisa terendam.
Di sini, orang-orang Rohingya memutuskan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Mereka memilih untuk bermigrasi ke negara tujuan utama, yaitu Malaysia.
Di kapal-kapal penyelundup, mereka berdesak-desakan demi mencari kehidupan lebih baik. Perempuan dan anak biasanya mendapat tempat terendah di dalam hierarki kapal. Mereka ditempatkan di lantai bawah, di ruang mesin yang apabila terjadi sesuatu dengan kapal, mereka paling sulit keluar.
Ketidakpastian
Tercatat, ada 120.000 warga Rohingya yang datang ke Malaysia menggunakan cara tersebut. Pada 2022, ada lima kapal yang mengangkut pengungsi Rohingya menuju Malaysia pada waktu yang berbeda-beda dan tidak satu pun tiba. Empat kapal dicegat di tengah laut oleh patroli laut, antara lain oleh patroli Sri Lanka. Mereka kemudian dikembalikan ke Myanmar dan lalu ditahan atau dibawa ke negara asal patroli tersebut untuk dimasukkan ke tahanan juga. Adapun satu kapal karam beserta 180 penumpang di dalamnya.
”Ketidakpastian menjadi pendorong para pengungsi Rohingya untuk terus bergerak, sekaligus menjadi hambatan utama mereka di dalam perjalanan,” kata Missbach.
Missbach menjelaskan, ketidakpastian berbeda dengan risiko. Risiko adalah hal-hal negatif ataupun marabahaya yang ditemui di dalam perjalanan. Risiko bisa dihitung demi mengecilkan dampaknya dan jika cermat, bisa dihindari. Sebaliknya, ketidakpastian ini tidak jelas, tidak bisa diduga, dan tidak bisa dihitung. Ketidakpastian ada karena kekurangan informasi dan ketiadaan akses untuk mengetahuinya. Ini lebih berbahaya daripada risiko.
Meski demikian, para pengungsi Rohingya tetap mencoba di tengah ketidakpastian dan melawan segala larangan dari pemerintah negara-negara di Asia Tenggara yang menolak kedatangan mereka.
Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen ketika diwawancara khusus oleh Kompas pada 15 Juli 2023 mengatakan bahwa jumlah pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaar melebihi warga lokal. Dana dari lembaga-lembaga asing untuk mereka terus berkurang.
Momen meminta Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) bisa membuat sistem penanganan krisis pengungsi tersebut. ”Pemerintah Myanmar dua kali berjanji untuk menjemput mereka dan tidak satu pun ditepati,” katanya.
Junta militer yang kini menguasai Myanmar juga belum menunjukkan niat untuk merepatriasi kelompok etnis Rohingya. Perkembangan terakhir ialah junta mengampuni Aung San Suu Kyii, pemimpin politik Myanmar, dari lima vonis dengan total 33 tahun kurungan. Tidak ada penjelasan mengenai vonis-vonis yang dibatalkan ini. Meskipun begitu, junta memastikan bahwa Suu Kyi tetap menjalani tahanan rumah.
Junta juga memperpanjang masa darurat di Myanmar untuk enam bulan ke depan. Artinya, Oktober tahun ini tidak jadi ada pemilihan umum. Padahal, junta berjanji menyelenggarakan pemilu agar rakyat Myanmar menentukan pemerintahan mereka sendiri. (REUTERS)