Pengungsi Rohingya Mencari Kebebasan
Kutupalong menjadi tempat penampungan pengungsi Rohingya terbesar di Bangladesh. Kini diperkirakan 1 juta warga Rohingya mendiami Bangladesh. Mereka eksodus dari Rakhine, Myanmar, pasca-kerusuhan besar tahun 2017.
Lebih satu dekade pengungsi etnis Rohingya asal negara Myanmar yang menempati kamp pengungsian di negara Bangladesh menyelundup ke negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk mencari kebebasan. Mereka berlayar tanpa kepastian akan mencapai daratan atau tidak. Tak jarang yang diraih adalah kematian.
Provinsi Aceh, Indonesia, menjadi daratan paling sering kedapatan kapal pengungsi etnis Rohingya yang terdampar. Saat negara-negara kawasan sulit dimasuki oleh para pengungsi, Aceh menjadi tanah penolong untuk menyambung nyawa.
Pada Minggu (8/1/2023), satu kapal kayu yang membawa 184 pengungsi Rohingya terdampar di Pantai Lam Nga, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Saat kapal mencapai pantai, para pengungsi itu berhamburan turun menuju daratan.
Baca juga: Rohingya, Etnis yang Terbuang dan Tersisih
Di dalam kapal itu terdapat 69 laki-laki dewasa, 75 perempuan dewasa, dan 40 anak-anak. Beberapa pengungsi masih usia balita. Satu orang meninggal dan jenazahnya dilarung ke laut. Mereka terlihat lemah dan beberapa dalam keadaan sakit. Setelah 27 hari berada di laut lepas, akhirnya mereka mencapai daratan.
Pemerintah Kabupaten Aceh Besar berbesar hati menerima pengungsi itu dengan mengizinkan menempatkan mereka di bangunan milik dinas sosial di Desa Ladong, 11 kilometer dari tempat mereka terdampar. Di sana 184 orang tersebut disatukan bersama 57 pengungsi Rohingya yang datang pada 25 Desember 2022.
Selasa (10/1/2023), suasana di kompleks penampungan pengungsi Rohingya di Ladong ramai. Petugas kantor Imigrasi, Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), kepolisian, staf dinas sosial, hingga aktivis kemanusiaan berada di sana. Petugas masih terus melakukan pendataan.
Para pengungsi menempati dua bangunan, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan. Pengungsi perempuan terlihat sedang menjemur pakaian di atas rumput atau di ranting pohon. Anak-anak bermain gelang karet. Beberapa laki-laki dewasa duduk santai sambil menikmati angin laut.
Lokasi penampungan berada di tepi pantai. Dari tanah yang tinggi di dalam kompleks hamparan laut terlihat tenang.
Salah satu pengungsi Rohingya ditampung di Ladong adalah Muhammad Fairuz (23). Fairuz bisa berbahasa Inggris dengan baik sehingga sering dijadikan penerjemah oleh petugas atau tamu. Saat masih di Rakhine, Fairuz sempat bersekolah.
Baca juga: Warga Rohingya di Myanmar Terancam Genosida
Fairuz bercerita kepada Kompas bahwa mereka secara diam-diam keluar dari kamp pengungsian di Kutupalong, Ukhia, Bangladesh. Melalui bantuan seseorang, mereka mendapatkan sebuah kapal untuk berlayar mengarungi laut Andaman menuju Malaysia.
Kutupalong menjadi tempat penampungan pengungsi Rohingya terbesar di Bangladesh. Kini diperkirakan 1 juta warga Rohingya mendiami Bangladesh. Mereka eksodus dari Rakhine, Myanmar, pasca-kerusuhan besar tahun 2017.
Fairuz menuturkan, kondisi di kamp Kutupalong juga sedang memburuk. Kriminalitas meningkat. Pengungsi menjadi sasaran perdagangan orang. Pendidikan dan kesempatan bekerja sangat terbatas. Setiap saat mereka dipantau oleh militer. Keluar dari Bangladesh dianggap jalan paling baik untuk meraih kebebasan.
Saat berada di laut lepas, mesin kapal rusak. Nakhoda pamit menggunakan perahu kecil dengan dalih mencari pertolongan. Namun, nakhoda tidak pernah kembali hingga mereka terkatung-katung di laut tanpa tujuan pasti.
Selama 27 hari berada di laut, kapal kayu itu bergerak mengikuti arah angin. Mereka pasrah jika hidup harus berakhir dalam pelarian itu. Namun, dari jauh mereka melihat sebuah daratan yang ternyata Provinsi Aceh. Meski tidak sampai ke Malaysia, Fairuz bersyukur selamat.
”Ayahku telah meninggal dalam konflik, kini aku tidak peduli siapa pun yang membawaku ke negara lain,” kata Fairuz.
Fairuz cukup aktif mengampanyekan kebebasan bagi Rohingya melalui media sosial. Dia berharap Rohingya mendapatkan kebebasan, dapat hidup setara seperti bangsa lain.
Baca juga: Warga Etnis Rohingya, Kaum yang Terbuang
”Saya menjadi pengajar di kamp, saya diburu untuk dibunuh karena mengajari anak-anak pengungsi. Kami tidak boleh berkembang,” kata Fairuz.
Pengungsi lain, Abdul Manan (29), pandai berbahasa Melayu. Dia pernah tiga tahun tinggal di Malaysia, tetapi pada 2013 dia kembali ke Bangladesh. Manan telah menikah dan memiliki satu anak. Istri dan anak ditinggalkan di kamp pengungsian di Kutupalong.
Di Bangladesh, dia bekerja sebagai mekanik, tetapi pendapatannya tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga. Dia nekat keluar dari kamp dengan harapan bisa mendarat ke Malaysia. Mereka mengeluarkan uang Rp 3 juta hingga Rp 11 juta untuk bisa berlayar.
Tanah yang diimpikan tak tergapai, mereka justru terdampar ke Aceh. Namun, Manan mengaku cukup nyaman berada di kamp penampungan di Aceh.
”Saya sehat. Kalau lama saya di sini, saya bisa bahasa Aceh,” kata Manan.
Fairuz, Manan, dan pengungsi Rohingya kini pasrah akan dibawa ke mana oleh otoritas yang mengurusi persoalan pengungsian. Yang mereka butuhkan sekarang perlindungan dan hidup layak.
Sejak 2011
Gelombang pengungsi Rohingya terus mengalir ke Aceh. Pertama kali kapal Rohingya mendarat ke Aceh pada 2011. Kala itu warga Aceh menyebut Rohingya ”manusia perahu”. Tahun-tahun berikutnya hingga 2023 pengungsi Rohingya terus datang ke Aceh.
Dalam catatan Kompas, sejak 2011 hingga 2023, sebanyak 2.446 pengungsi Rohingya terdampar ke Aceh. Namun, yang masih tersisa saat ini di kamp penampungan sementara sebanyak 549 orang. Mereka ditampung di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, dan Lhokseumawe. Belum ada kepastian sampai kapan mereka ditampung di Aceh.
Baca juga: Lorong Gelap Repatriasi Rohingya
Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Ann Maymann, dalam rapat koordinasi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (4/1/2023), di Banda Aceh, mengatakan, Aceh bukan tanah tujuan pelarian pengungsi Rohingya dari Bangladesh.
Menurut Maymann, para pengungsi keluar dari Bangladesh tanpa tujuan yang pasti sebab yang mereka harapkan hidup aman. Beberapa hendak menyelundup ke Malaysia, Sri Lanka, dan beberapa negara Asia Tenggara.
”Tujuan utama mereka mencari tempat yang aman,” ujar Maymann.
Secara terpisah, perwakilan UNHCR Indonesia, Diovio Alfath, mengatakan, saat ini pihaknya fokus pada penanganan pemenuhan hak dasar pengungsi, seperti makanan dan obat-obatan.
Terkait sampai kapan para pengungsi itu berada di Aceh, Diovio belum dapat memberikan pernyataan. ”Kami terus berkoordinasi dengan pemerintah baik level daerah maupun pusat,” kata Diovio.
Koordinator Monitoring dan Evaluasi Yayasan Geutanyoe, lembaga yang fokus pada isu kemanusiaan, Iskandar Dewantara, dan Sekretaris International Concern Group for Rohingya (ICGR) Adli Abdullah mendesak agar persoalan konflik Rohingya dengan Pemerintah Myanmar harus diselesaikan agar ada kepastian untuk hidup bagi pengungsi Rohingya.
Baca juga: Pengungsi Rohingya di Bangladesh Semakin Menderita