Etnis minoritas Rohingya hidup dalam ketidakpastian. Mereka terus menjadi korban. Dibutuhkan upaya lebih untuk membantu mereka, karena mereka layak hidup bermartabat sebagaimana manusia lain.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
Keamanan di kamp-kamp pengungsi yang menampung hampir 1 juta warga etnis minoritas Muslim Rohingnya dari Myanmar di Bangladesh memburuk. Polisi Bangladesh, Minggu (16/10/2022), melaporkan, perkembangan terbaru di sana bahwa dua tokoh atau pemimpin komunitas Rohingya dibunuh oleh belasan penjahat, yang diduga komplotan geng narkoba.
Dua pemimpin kamp Rohingya itu tewas pada Sabtu (15/10) malam di Kamp 13 di Distrik Cox’s Bazar, Bangladesh. Juru bicara polisi, Faruk Ahmed, menyebut pembunuhan dua tokoh itu sebagai salah satu serangan terburuk dalam beberapa bulan terakhir. Kepala Polisi Cox’s Bazar, Mahfuzul Islam mengatakan, dalam tiga bulan terakhir saja, 14 orang Rohingya dibunuh di kamp-kamp itu. Jumlah pembunuhan di kamp meningkat dibandingkan dengan tahun lalu.
Mereka di antaranya menjadi korban geng dan kelompok penjahat yang berebut kontrol perdagangan sabu. Kekerasan dan kejahatan narkoba itu kian meningkat karena kemiskinan, keterbelakangan, dan berbagai masalah sosial lainnya di kalangan komunitas pengungsi Rohingya.
Sejak terusir dari Myanmar karena kekerasan oleh militer pada 2017, jutaan warga Rohingya itu meringkuk, menyesaki tenda-tenda darurat di Kutupalong-Balukhali, Cox’s Bazar. Sejak terusir, hidup mereka tidak menentu.
Komunitas internasional yang semula getol dan keras mengecam perlakuan buruk terhadap Rohingya hingga kini belum mampu mengubah nasib mereka. Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi di Kutupalong disebut-sebut kewalahan, padahal mereka didukung oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Finlandia, Swedia, dan IKEA Foundation. Kelompok negara-negara Asia Selatan (SAARC) dan Asia Tenggara (ASEAN) juga belum bisa berbuat lebih banyak.
Dampaknya, muncul persoalan sosial akut di antara para pengungsi. Mereka pun terus hidup dalam ketidakpastian dan nyaris tanpa harapan. Kondisi yang sama terjadi di Myanmar. Pihak berwenang di Myanmar tetap membatasi pergerakan mereka. ”Setelah 2017, kami memiliki begitu banyak kisah tragis, itu menjadi seperti beban. Kami tidak punya masa depan,” kata Maung Soe Naing, warga Rohingya di Arakan. ”Siapa yang peduli?”
Sebagai warga etnis Rohingya, yang keberadaannya sebagai warga negara tidak diakui oleh Pemerintah Myanmar, hidup seperti tidak berpihak kepada mereka. Zarni Soe, misalnya, meski mampu menyelesaikan ujian sekolah menengah, pemuda Rohingya di Rakhine utara tetap tidak diizinkan masuk ke perguruan tinggi. ”Kami dibatasi dalam setiap aspek kehidupan kami,” katanya.
”Kami ingin hidup bermartabat dan dengan standar hidup seperti orang lain. Namun, kami menjalani hidup ini seperti orang tanpa mimpi,” kata Zarni Soe.
Untuk bidang kesehatan sama saja. Akses ke perawatan khusus dan darurat untuk Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di Rakhine tengah ”sangat terbatas”, kata Marjan Besuijen, Kepala Misi Medecins Sans Frontieres (MSF) di Myanmar.
Ketika kepemimpinan nasional Myanmar jatuh ke tangan junta militer, situasi menjadi kian sulit. Human Rights Watch mengatakan, sejak kudeta, pasukan keamanan telah menangkap sekitar 2.000 warga Rohingya, termasuk ratusan anak. Tindakan keras junta terhadap perbedaan pendapat memperburuk situasi kemanusiaan Rohingya yang memang sudah buruk.
Di tanah mereka sendiri, mereka tersisih dan terpinggirkan. Di pengungsian, mereka kembali menjadi korban.