Untuk mengatasi masalah pengungsi, penting bagi negara-negara untuk mengatasi akar masalahnya. Jika krisis politik di negara terkait tidak selesai, urusan pengungsi tidak akan selesai.
Oleh
FRANSISCA ROMANA DARI NEW YORK, AMERIKA SERIKAT, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AFP/MUNIR UZ ZAMAN
Pengungsi Rohingya berunjuk rasa memperingati "Hari Peringatan Genosida) menandai lima tahun sejak mereka melarikan diri dari Myanmar akibat kekerasan militer di kamp pengungsi Ukhia, 25 Agustus 2022.
NEW YORK, KOMPAS – Ketegangan geopolitik yang berujung pada berbagai krisis global meminggirkan nasib pengungsi. Dalam berbagai kesempatan diplomasi di sela-sela Sidang Umum Ke-77 Majelis Umum PBB, Indonesia terus menyuarakan nasib para pengungsi seperti di Myanmar, Afghanistan, dan Palestina.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu dengan beberapa pihak untuk membahas nasib para pengungsi di antaranya UNRWA, Komite Palang Merah Internasional (ICRC), dan beberapa negara terkait. “Kalau urusan politik tidak selesai, urusan pengungsi ini juga tidak akan selesai, bahkan mungkin semakin banyak,” kata Retno, Jumat (23/9/2022) malam waktu New York.
Terkait Myanmar, misalnya, krisis politik pascakudeta di negara itu mempersulit penyaluran bantuan kemanusiaan kepada rakyatnya, termasuk warga Rohingya di pengungsian. Saat bertemu Presiden ICRC Peter Mauer, Retno mengatakan, kondisi pengungsi Rohingya tidak boleh diabaikan meski perhatian dunia tersedot pada banyak krisis lainnya. “Situasi di Myanmar setelah kudeta membuat kita lebih sulit melakukan repatriasi Rohingya ke Myanmar secara sukarela, aman, dan bermartabat,” ujarnya.
Sebelumnya Retno juga menekankan pentingnya isu Rohingnya tetap menjadi perhatian dunia dalam acara High-Level Side Event on Rohingya Crisis. Pertemuan diselenggarakan bersama dengan Bangladesh, Kanada, Gambia, Arab Saudi, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Retno menyebutkan ada tiga hal utama yang perlu dilakukan komunitas internasional menghadapi krisis tersebut, yakni menciptakan situasi kondusif bagi kepulangan pengungsi Rohingya, memastikan perlindungan keamanan dan keselamatan pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaat, serta mendorong perdamaian dan rekonsiliasi nasional di Myanmar.
KEMENTERIAN LUAR NEGERI/ANDI BARUS
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bertemu Presiden Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Peter Mauer di kantor Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York, Amerika Serikat, Jumat (23/9/2022). Keduanya membahas nasib pengungsi Myanmar dan Afghanistan.
“ASEAN dapat memainkan peran penting untuk mengembalikan perdamaian dan stabilitas di Myanmar,” ujar Retno.
Dalam pidato di Sidang Umum PBB, Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yaakob menyebut hal yang sama bahwa krisis politik di Myanmar memperburuk kondisi jutaan pengungsi Myanmar, termasuk Rohingya. “Atas dasar kemanusiaan, Malaysia menerima hampir 200.000 pengungsi Rohingya. Sudah menjadi tanggung jawab semua negara untuk menerima lebih banyak pengungsi untuk ditampung di negara masing-masing,” katanya.
Pada saat yang sama, Malaysia menekankan pentingnya dunia mengatasi akar masalah krisis Rohingya. Menurut Ismail, isu pengungsi Rohingya yang diburu karena identitas etnisnya tidak akan selesai selama krisis di Myanmar terus terjadi.
Keadilan
Dihubungi terpisah, Perwakilan Indonesia untuk Kerja Sama Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, Yuyun Wahyuningrum mengatakan, sikap Indonesia yang mengutamakan kemanusiaan sangat baik. Indonesia tidak lelah menggaungkan pentingnya kerja sama dan keadilan dalam penanganan pengungsi.
Namun, masalahnya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Di ASEAN hanya Kamboja dan Filipina yang meratifikasinya. Oleh sebab itu, menurut Yuyun, langkah pertama Indonesia hendaknya meratifikasi konvensi tersebut.
AP/ SHAFIQUR RAHMAN
Wanita dan anak-anak pengungsi Rohingya berada di depan tempat penampungan sementara di Ukhiya, Bangladesh, Kamis (3/12/2020). Sekitar 700.000 etnis Rohingya telah melarikan diri ke sejumlah tempat penampungan di di Cox's Bazar, Bangladesh, sejak Agustus 2017.
"Jika sudah meratifikasi, Indonesia memiliki senjata dan landasan untuk mendorong negara-negara lain agar lebih terbuka kepada para pengungsi," ujarnya.
Langkah berikutnya ialah mengajak negara-negara yang telah meratifikasi konvensi untuk berbagi beban dan tanggung jawab. Saat ini hampir dua juta warga Rohingya tinggal di Cox's Bazaar, Bangladesh. “Negara-negara lain jangan cuma mengirim uang ke Bangladesh, tetapi harus mau membuka perbatasan mereka dan menampung sebagian pengungsi," kata Yuyun.
Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional Tri Nuke Pudjiastuti yang meneliti situasi pengungsi di Indonesia menjelaskan, terkait isu pengungsi dan kemanusiaa, Indonesia memang memiliki kepentingan. Selain pengungsi asal Rohingya, ada banyak pengungsi asal Afghanisthan “terdampar” di Indonesia. "Para pengungsi ini menilai ada perlakuan diskriminatif dari pihak internasional," tutur Nuke.
Hal ini karena pengungsi Afghanistan di Indonesia sudah tinggal selama belasan tahun, tetapi tidak jelas penempatannya. Sebaliknya, pengungsi gelombang terbaru di Afghanistan cepat sekali ditempatkan di Amerika Serikat dan Eropa. Mereka adalah orang-orang Afghanistan yang angkat kaki dari negara itu ketika Taliban merebut pemerintahan pada Agustus 2021.
"Indonesia mendorong PBB maupun dunia untuk memberi jawaban kepada para pengungsi Afghanistan ini," kata Nuke.
Palestina
Terkait pengungsi Palestina, menurut Nuke kepentingannya ialah kestabilan politik dalam negeri. Masyarakat Indonesia memiliki simpati yang besar terhadap situasi di Palestina. Dari sisi jumlah, pengungsi Palestina di Indonesia termasuk paling sedikit. Data UNHCR Indonesia menyebut ada 700 orang.
AP/KHALIL HAMRA
Pengungsi Palestina duduk diantara tumpukan koper saat menunggu dibukanya akses menuju Mesir dari perbatasan Rafah di Jalur Gaza, Minggu (27/9/2020).
Sebelumnya, dalam pertemuan terkait UNRWA – lembaga bantuan PBB untuk pengungsi Palestian – Menlu Retno menegaskan perlunya dukungan bagi pengungsi Palestina. Menurut Retno, UNRWA, lembaga PBB yang menangani pengungsi Palestina tengah menghadapi kekurangan dana yang cukup signifikan. Dana itu diperlukan untuk membantu para pengungsi Palestina yang jumlahnya sekitar 5 juta orang.
“Saya menyampaikan, selain membahas keuangan UNRWA, penting untuk membantu Palestina dari sisi politiknya karena saling terkait. Kalau urusan politik Palestina tidak selesai, urusan pengungsi tidak akan selesai,” kata Retno.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres lantas memanggil beberapa negara dan mempertemukan mereka untuk membahas hal tersebut. Pertemuan dipimpin bersama oleh Jordania dan Swedia dengan anggota mayoritas negara-negara Timur Tengah dan negara donor lainnya. Indonesia diundang karena aktif dalam membantu pengungsi Palestina.
Mengenai Afghanistan, Retno menyampaikan, prioritas Indonesia saat ini adalah isu akses pendidikan bagi anak-anak perempuan di Afghanistan. Kerja sama dilakukan bersama Qatar, termasuk dengan cara dialog antar-ulama.
---------
KOREKSI:
Ada pembetulan atas kesalahan penyebutan jabatan Perdana Menteri Malaysia Ismail Sabri Yakoob di paragraf ke-6. Sebelumnya, tertulis "Menteri Luar Negeri". Pembetulan dilakukan pada Senin, 26 September 2022, pukul 06.35 WIB. Terima kasih - Editor