Anak Muda Menggugat Perang dan Pemberitaan tentang Perang
Perang harus dibahas secara obyektif terkait seluruh pihak yang terlibat. Perang tidak untuk diglorifikasi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, B JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
Perang antara Rusia dan Ukraina belum selesai meskipun sudah lewat satu tahun sejak pasukan Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Tidak hanya di Eropa, konflik ini juga menarik perhatian masyarakat Indonesia, termasuk anak muda. Persoalannya ialah memastikan para pembaca dan pemirsa yang mengikuti peristiwa itu mengembangkan pemikiran kritis. Oleh sebab itu, penting memahami perbedaan antara informasi dan propaganda.
Menjejaki isu itu, Kedutaan Uni Eropa di Jakarta menggelar diskusi yang dihadiri sejumlah pelajar dan mahasiswa pada Senin (17/7/2023). Berbagai pertanyaan dilontarkan oleh anak-anak SMA dan mahasiswa yang hadir, menelaah perang yang kini berkecamuk di Ukraina.
”Apakah alasan publik Indonesia terkesan lebih simpatik kepada Rusia karena Rusia adalah salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia?”; ”Rusia menyerang Ukraina karena Ukraina ingin bergabung dengan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara). Bukannya alasan ini dibenarkan?”; dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan kritis yang mereka lontarkan lantas dijawab oleh para pakar politik luar negeri dan jurnalistik, baik dari Indonesia maupun dari mancanegara.
Peneliti isu Eropa Timur dan Rusia dari Universitas Airlangga, Radhityo Dharmaputra, menjelaskan contoh informasi yang dipahami setengah-setengah oleh publik. Masyarakat cenderung berpihak kepada Rusia dengan alasan Soviet salah satu negara pertama yang menjalin persahabatan dengan Indonesia. Padahal, Soviet itu pada 1990 pecah menjadi 15 negara yang di dalamnya mencakup Rusia serta Ukraina. Publik hendaknya memahami bahwa narasi Soviet sahabat Indonesia itu berarti Rusia dan Ukraina sudah lama menjadi sahabat Indonesia.
”Memang, jika dilihat dari segi ketokohan, masyarakat Indonesia lebih akrab dengan sosok Presiden Rusia Vladimir Putin karena dia sudah menjabat sebagai pemimpin negara itu sejak tahun 1999. Apalagi, budaya Indonesia masih mengagungkan sosok pemimpin yang macho sehingga wajar Putin memiliki banyak penggemar,” tutur Radhityo.
Haryo, salah seorang peserta yang baru lulus perguruan tinggi, mengeluhkan bahwa narasi di sejumlah media arus utama sangat condong kepada Rusia. Apalagi, mereka memakai narasi bahwa Rusia dekat dengan komunitas muslim di negara tersebut.
Komentar ini ditanggapi oleh Ika Ningtyas, Sekretaris Aliansi Jurnalis Independen Indonesia. Ia menjelaskan bahwa ciri-ciri propaganda ialah berat sebelah kepada salah satu pihak, tetapi tidak menjabarkan fakta yang seimbang ataupun komprehensif sehingga pembaca sukar mengambil kesimpulan yang kritis. Ini adalah pekerjaan rumah yang serius bagi media arus utama Indonesia karena justru propaganda berkedok berita ini yang mendulang klik dari warganet dan menghasilkan pemasukan.
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin mengatakan, pengungkapan kebenaran pasti berat dan menyakitkan bagi semua pihak terkait. Akan tetapi, itu hal yang harus dilakukan karena, tanpa kebenaran, proses perdamaian yang berkeadilan tidak bisa dilakukan. Kebenaran pula yang bisa mendudukkan perkara.
”Peluru bisa membunuh satu orang. Bom membunuh banyak orang. Adapun propaganda memusnahkan suatu bangsa. Tidak ada alasan untuk genosida di bumi ini,” katanya.
Salah satu wartawan harian Kompas yang meliput ke Ukraina pada 2022, Kris Razianto Mada, memaparkan materi mengenai menjaga obyektivitas selama memberitakan peperangan tersebut. Ia mengemukakan berita terkini bahwa Amerika Serikat memberi bantuan bom tandan kepada Ukraina. Bom jenis itu pula yang dipakai oleh Rusia untuk menyerang Kharkiv ketika konflik baru pecah. Padahal, bom tandan adalah senjata yang dilarang oleh PBB untuk dipakai di dalam peperangan.
”Kita harus membangun pemikiran kritis supaya tidak terjebak hoaks dan disinformasi serta bisa mengerti konteks suatu peristiwa,” ujarnya.
Membangun perdamaian
Selain menyampaikan tentang perang sebagai sebuah peristiwa, memberitakan atau mengisahkan perang sejatinya diarahkan untuk membangun perdamaian. ”Berbicara tentang konflik itu penting karena ini kenyataan. Kita semua harus membicarakannya dengan tujuan mendorong perdamaian, bukan sekadar sensasi,” kata Kepala Kantor Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia Valerie Julliand. PBB mencatat, sejak perang terjadi, telah jatuh 8.000 korban jiwa dari kalangan sipil.
Ia lalu menjelaskan bahwa perdamaian bukan cuma berarti tidak ada perang. Perdamaian menurut dia juga berarti memastikan kebenaran terungkap dan semua pihak yang terlibat bertanggung jawab. Di dunia, lanjut Julliand, hukum internasional mengenai kedaulatan setiap negara yang wajib dipatuhi adalah Piagam PBB.
Konsolidasi pascaperang merupakan proses yang bisa memakan waktu lama. Ini melibatkan pendidikan masyarakat, pengungkapan kebenaran, dan proses penegakan keadilan. Sistem ini telah diterapkan sejak usainya Perang Dunia II dan Perang Balkan.
Julliand menceritakan pengalamannya sebagai sukarelawan kemanusiaan ketika Perang Balkan di tahun 1990-an. Ketika itu, ia sudah apatis dan menganggap manusia makhluk perusak yang saling membenci. Pandangannya berubah ketika ia membantu para petugas medis dan melihat bahwa para serdadu pun juga mengalami tekanan batin yang besar.
”Para pelaku kekerasan juga menderita seperti para korban. Saya menyadari bahwa manusia tidak diciptakan untuk berperang. Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengagungkan peperangan,” tuturnya.
Ia menekankan, dokumentasi perang sangat penting karena menjadi alat bukti setiap pelanggaran yang dilakukan, baik oleh pihak penyerang maupun yang diserang. Di sini, dalam pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan seluruh pihak harus siap dengan konsekuensinya.
Dampak serius
Setelah satu tahun berlalu, perang di Ukraina belum menunjukkan tanda akan berhenti. Sebaliknya, perang dikhawatirkan akan terus berkepanjangan dan berdampak kian serius. Mundurnya Rusia dari Kesepakatan Laut Hitam—kesepakatan yang memungkinkan ekspor biji-bijian dari Ukraina—memicu kekhawatiran pada ketersediaan pangan.
”Banyak warga dunia akan lapar, sebagian lagi akan kelaparan, bahkan banyak pula yang mungkin akan mati karena dampak dari keputusan itu,” kata Koordinator Lembaga Bantuan PBB Martin Griffiths.
Saat ini, sebanyak 362 juta orang, tersebar di 69 negara, membutuhkan bantuan kemanusiaan. Tanpa perang pun mereka sudah menderita. Kini, karena perang di Ukraina dan tersendatnya pasokan bahan makanan, situasi yang mereka hadapi kian berat.