Yurii Kosenko Membawa Tokoh Indonesia ke Pelosok Ukraina
Yurii Kosenko menjadi bukti hubungan kuat Indonesia-Ukraina terbentuk hingga di tingkat warga. Kosenko mencetak lalu membagikan poster bergambar tokoh Indonesia ke berbagai penjuru Ukraina.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Dengan dana pribadi, Yurii Kosenko mencetak berbagai poster dan plakat. Sebagian poster cetakannya disebarkan ke garis depan perang Ukraina. Sebagian lagi dibagikannya ke Indonesia. Sebagian poster itu berisi gambar dan kutipan para tokoh Indonesia. Semua dilakukan sebagai upaya merekatkan hubungan Indonesia-Ukraina.
Ayah tiga anak itu bukan diplomat dan tidak pernah punya pendidikan formal terkait diplomasi, apalagi politik luar negeri. Meski demikian, sudah bertahun-tahun ia terlibat upaya diplomasi yang dikenal sebagai diplomasi jalur dua. Disebut demikian karena diplomasi jalur pertama lazimnya dilakukan pejabat pemerintah dan secara langsung terkait kepentingan pemerintahan negara yang menjalin hubungan, sementara diplomasi jalur dua kerap dilakukan warga biasa dan tujuannya lebih sering untuk menjaga hubungan di antara warga dua atau lebih negara yang berlainan.
Sejak beberapa tahun lalu, Kosenko antara lain bergiat di Friends of Indonesia. Bersama Kedutaan Besar RI di Kyiv, ia antara lain giat menyebarkan aneka informasi soal Indonesia kepada orang-orang Ukraina. ”Saya bisa membagikan poster berisi gambar dan kutipan karya atau ucapan tokoh-tokoh Indonesia karena pekerjaan dia. Bagi saya, karya dia amat penting untuk hubungan Ukraina-Indonesia dan perjuangan bangsa kami,” kata Duta Besar Ukraina di Jakarta, Vasyl Hamianin, Selasa (27/6/2023), di Jakarta.
Kegiatan Kosenko, menurut Hamianin, salah satu cara meningkatkan hubungan Jakarta-Kyiv. Kegiatan itu menunjukkan hubungan Indonesia-Ukraina amat dalam sampai mendorong salah seorang warga Ukraina mau menyebarkan informasi soal hasil kebudayaan Indonesia.
Plakat Chairil Anwar
Salah satu hasil karya Kosenko adalah plakat bergambar Chairil Anwar. Plakat itu juga diisi cuplikan puisi Karawang-Bekasi. ”Saya suka sekali puisi itu. Saya tidak pernah menduga, semangat puisi tepat untuk kondisi bangsa kami beberapa tahun terakhir. Puisi itu dibuat di tengah perang. Kini, di Ukraina, puisi itu membawa semangat untuk bangsa kami,” kata Konsenko kala ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.
Perang Ukraina menjadi masalah pribadi bagi Kosenko bukan saja karena ia orang Ukraina. Salah satu dari tiga anaknya ditugaskan di palagan timur Ukraina. Seperti banyak orang Ukraina berusia 18 tahun hingga 60 tahun, anaknya juga memenuhi panggilan wajib militer. ”Jika dipanggil kapan pun, saya juga siap,” ujar salah satu pengurus perkumpulan Sahabat Indonesia Ukraina itu.
Di Ukraina, semua pria berusia antara 18 tahun dan 60 tahun dimasukkan dalam daftar wajib militer. Walakin, tidak semua dipanggil sekaligus. Dengan berbagai pertimbangan, pemanggilan dilakukan bertahap. ”Berada di garis depan memang penting selama perang. Menjaga perekonomian tetap bergerak, mencari dukungan dari berbagai sahabat Ukraina, membantu berbagai hal agar negara tetap berfungsi juga sama pentingnya,” ujar Ketua Ukrainian Initiaves, organisasi kemasyarakatan Ukraina yang fokus mengupayakan peningkatan hubungan Ukraina dengan berbagai negara lain, itu
Multatuli hingga Ranggawarsita
Sehari-hari, Kosenko mengelola percetakan. Bisnis itu dilakoni meski sama sekali tidak ada hubungan dengan pendidikan formalnya. ”Saya belajar biologi di universitas, fokusnya pada virus tanaman. Saya menulis beberapa makalah untuk jurnal ilmiah pada topik ini,” katanya.
Bisnis percetakan membuatnya kenal dengan Indonesia. Pada 2008, ada konsumen yang memintanya mencetak dan menjilid hasil terjemahan Max Havelaar. Ia tidak ingat secara pasti mengapa tertarik membaca novel karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli itu. Ia hanya ingat, novel itu serta-merta mengingatkannya pada cerita-cerita yang didengar dari kakek dan ayahnya. ”Saya menemukan persamaan nasib bangsa saya dan Indonesia di novel itu,” ujarnya.
Ia semakin tergugah saat tahu, novel itu terinspirasi kisah nyata. Bagi Kosensko, derita warga Lebak yang direkam dalam Max Havelaar amat mirip dengan penderitaan bangsa Ukraina di masa Holodomor. Bangsa Ukraina mengenal periode itu sebagai salah satu kengerian kala Ukraina dikuasai Uni Soviet. Berlangsung pada 1931-1934, hingga 3,9 juta orang Ukraina tewas karena kelaparan pada periode itu. Memang, Holodomor adalah kata dalam bahasa Ukraina yang secara harfiah bermakna mati kelaparan.
Kondisi itu terjadi karena banyak ladang dan peternakan orang Ukraina disita Uni Soviet. Penyitaan terutama dilakukan terhadap orang-orang yang menolak pertanian kolektif yang digagas Joseph Stalin. ”Saya membayangkan, nasib orang-orang dalam novel Multatuli seperti jutaan orang Ukraina di masa Holodomor,” kata Kosensko.
Setelah kenal Multatuli, ia mulai mencari lebih banyak karya sastra Indonesia. Hasilnya, ia mendapat salinan berbagai karya sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris. Ia antara lain mendapat buku puisi Sjuman Djaya, kitab-kitab Rangga Warsita, dan beberapa karya sastra lain dari awal hingga pertengahan abad ke-20.
Bukan hanya karya sastra, ia juga mencari buku-buku terkait tokoh Indonesia. Hasil dari semua itu disarikannya dalam buku, plakat, dan poster berisi gambar dan kutipan ucapan atau karya Bung Karno, Jenderal Soedirman, serta Rangga Warsita. ”Karya mereka luar biasa. Sayangnya belum banyak diterjemahkan ke bahasa Ukraina. Makanya, saya menerjemahkan sebagian karya penting itu,” ucapnya.Yurii Kosenko Pendidikan: Fakultas Biologi Taras Shevchenko University, Kyiv Kegiatan: - Bisnis percetakan- Ketua Ukrainian Initiave- Pengurus Friend of Indonesia di Ukraina.