Traktat Persahabatan ASEAN Belum Optimal Diterapkan
Traktat Persahabatan ASEAN berisi hal ideal. Namun dalam penyelesaian sengketa antarnegara anggota atau dengan negara mitra, TAC belum berperan semestinya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity andCooperation/TAC) untuk Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN telah ada sejak tahun 1976. Akan tetapi, penerapannya dinilai belum terlalu berasa, baik dalam penanganan sengketa di antara negara-negara anggota ASEAN maupun penekanannya terhadap negara-negara mitra.
Kritik itu mengemuka di dalam acara seminar peringatan 20 tahun China menandatangani TAC yang diadakan di Jakarta, Kamis (22/6/2023). Acara itu digelar bersama oleh Misi China untuk ASEAN dan Foreign Policy Community Indonesia (FPCI). Walaupun tema acara mengenai refleksi China sebagai salah satu negara pertama—selain India—di luar anggota ASEAN yang menandatangani TAC, pembahasan dilakukan secara lebih luas mengenai makna dan keberartiannya sekarang.
Menurut Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn, sudah 50 negara yang menandatangani TAC. Di bulan Juli, Meksiko, Panama, dan Arab Saudi dijadwalkan menandatangani. Pada dasarnya, negara yang menandatangani TAC berarti setuju untuk mengikuti nilai dan cara ASEAN ketika melakukan kerja sama di kawasan Asia Tenggara, mulai dari sektor keamanan hingga ekonomi.
Nilai ini ialah menghormati kedaulatan setiap negara beserta batas geografisnya, tidak mencampuri urusan dalam negeri, tidak memaksa ataupun menggiring pemimpin suatu negara ke tujuan tertentu, dialog dan musyawarah untuk mencari penyelesaian sengketa, menolak menggunakan kekerasan, dan kerja sama yang efektif.
Dalam konteks China, secara sejarah memang ada hubunagn erat bangsa-bangsa Asia Tenggara dengan China. Cui Tiankai, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri China sekaligus mantan Duta Besar China untuk Amerika Serikat yang menjadi moderator di salah satu sesi mengatakan bahwa TAC ini sangat cocok dengan politik luar negeri China yang mengutamakan inklusivitas serta kesejahteraan bersama.
Di dalam pembahasan sengketa Laut China Selatan misalnya, Cui menjelaskan bahwa persoalan itu antara China dengan beberapa negara ASEAN. Sejak awal pembahasan dokumen panduan (DOC) dan kini pembuatan kode panduan (COC), TAC ini menjadi pedoman dalam pendekatan penyelesaian masalah.Menurut mantan Juru Bicara Kemlu China ini, China mengutamakan hubungan dengan ASEAN karena merupakan tetangga dekat. Berbagai kajian perekonomian global juga menunjukkan bahwa ASEAN merupakan pusat pertumbuhan di masa depan sehingga China ingin mempererat kerja sama di berbagai bidang.
“Soal ketidakberpihakan ASEAN, China tidak pernah memaksa negara lain untuk berpihak, selain kepada hal-hal yang akan berujung postif di masa depan,” tutur Cui.
Meskipun demikian, berbagai slogan dan pernyataan positif ini tetap harus ditinjau secara kritis. Demikian menurut Herizal Hazri, mantan Kepala Institut Kajian Strategis (ISIS) Malaysia yang kini menjadi peneliti lepas. Menurutnya, jangan sampai ada multitafsir di dalam nilai-nilai ASEAN, apalagi nilai-nilai negara mitra yang melakukan berbagai proyek kerja sama di Asia Tenggara. Pemaknaan TAC ini harus terus disesuaikan dengan perkembangan ASEAN karena kawasan ini perubahannya pesat. Bahkan, ada anggota-anggota ASEAN yang pergantian pemerintahannya lebih cepat dibandingkan yang lain.
“Bagaimana prinsip China untuk hidup berdampingan dengan damai ini bisa menyesuaikan dengan perkembangan di ASEAN? Seperti apa sejatinya hubungan China-ASEAN maupun bilateral dengan setiap anggota? Sebab, jika ada kegagalan di salah satu titik struktur relasi, bisa terjadi sentimen dan agresi. Kita harus bisa memetakan risiko kegagalan ini baik untuk jangka pendek maupun 50 tahun kemudian,” kata Herizal.
Direktur Eksekutif Institut Kerja Sama dan Perdamaian Kamboja (CICP) Pou Sothirak menjelaskan, kawasan Asia Tenggara selama 50 tahu relatif aman dan stabil. Tidak ada konflik antarnegara yang pecah, walaupun ada beberapa kasus kekerasan. Contohnya ialah sengketa perbatasan antara Thaliand dengan Kamboja dan Thailand dengan Laos. Terlepas ketiganya anggota ASEAN dan menandatangani TAC, prinsip TAC ternyata tidak sepenuhnya diterapkan di dalam pencarian jalan keluar. Dari ASEAN sendiri juga tidak ada sanksi ataupun tuntutan pertanggungjawaban terhadap pihak yang tidak mematuhi TAC.
Hal ini karena ada kegagalan ASEAN untuk menanamkan diri di kalangan akar rumputnya. ASEAN dan TAC masih menjadi pembicaraan di kalangan elite dan terpelajar, tetapi tidak dimengerti di kalangan awam.
Para pembicara di seminar tersebut menyepakati bahwa prinsip tidak ikut campur urusan dalam negeri orang lain kerap dimaknai sebagai lepas tangan akibat minimnya pengetahuan masyarakat akan ASEAN.Padahal, sejatinya, prinsip tidak berpihak atau netral itu bukan berarti acuh. Justru ini memungkinkan kelenturan ASEAN untuk tidak dipengaruhi kekuatan geopolitik manapun dan melihat persoalan secara jernih dengan mengedepankan kepentingan bersama dan musyawarah. Melalui prinsip ini, ukuran suatu negara maupun kekuatan ekonominya tidak menentukan kedaulatan atas negara lain.
“Ini pekerjaan rumah yang penting karena sekarang ini berbagai proyek pembangunan ekonomi berisiko dijadikan senjata politik. Jika masyarakat memahami ASEAN dan TAC, ada pengawasan publik terkait berbagai kerja sama dengan negara mitra guna memastikan sentralitas ASEAN ditegakkan,” kata Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu.