Pelapor Khusus PBB Desak Indonesia-ASEAN Ubah Pendekatan dalam Krisis Myanmar
Pelapor Khusus PBB untuk Urusan Hak Asasi Manusia di Myanmar mendesak Indonesia dan ASEAN mengubah pendekatan dalam menyelesaikan krisis Myanmar. Perkembangan akhir-akhir ini dinilai telah membahayakan ASEAN.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia, sebagai Ketua Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara tahun 2023, dan negara-negara anggota ASEAN lainnya didorong mengubah pendekatan dalam menyelesaikan situasi di Myanmar. Sejak bergejolak pada Februari 2021, dimulai dengan kudeta militer terhadap pemerintahan sipil, krisis di negara itu semakin tidak menentu dan makin menyengsarakan rakyatnya.
Perubahan pendekatan tersebut dilakukan dengan lebih tegas meminta pertanggungjawaban junta militer atas pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan yang terus terjadi, dan tindakan mengabaikan pelaksanaan lima poin konsensus yang telah disepakati bersama oleh para pemimpin ASEAN.
”Saya mendesak agar Pemerintah Indonesia menghubungi negara-negara yang mendukung rakyat Myanmar, berkoordinasi melakukan tindakan bersama yang mengisolasi junta, mengurangi kapasitas serta kemampuannya untuk menyerang rakyatnya,” kata Thomas Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Urusan Hak Asasi Manusia di Myanmar dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Andrews mengatakan, ada tiga hal utama yang bisa dilakukan Indonesia dan negara-negara ASEAN, yaitu tidak memberikan legitimasi terhadap keberadaan junta militer, menghentikan akses junta memanfaatkan kekayaan perekonomian Myanmar yang digunakan untuk kepentingan militer, dan menutup akses junta militer kepada senjata.
ASEAN sebagai organisasi dianggap telah menutup ruang untuk memberikan legitimasi terhadap junta, pelaku kudeta militer terhadap Pemerintah Myanmar hasil pemilu November 2020. Namun, menurut Andrews, tindakan sejumlah negara menggelar pertemuan dengan junta atau pejabat yang ditunjuk junta dengan menyebut pertemuan itu sebagai forum ASEAN membahayakan kesepakatan dalam organisasi untuk tidak memberikan legitimasi kepada junta.
Pada Senin (19/6/2023), pemerintahan demisioner Thailand menggelar dialog dengan junta di Bangkok. Bangkok beralasan, Thailand perlu mencari terobosan untuk menyelesaikan masalah Myanmar. Sebab, sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar, Thailand amat terdampak oleh konflik yang tidak kunjung usai di Myanmar. Indonesia, Malaysia, dan Singapura tidak hadir dalam pertemuan itu.
Menurut Andrews, pertemuan seperti itu bisa membahayakan keputusan ASEAN, khususnya lima poin konsensus. Ia juga menyatakan keprihatinannya mendengar kabar bahwa petinggi militer junta diminta untuk memimpin pertemuan formal para menteri pertahanan ASEAN.
Informasi yang dikumpulkan Andrews menyebutkan bahwa Jenderal Tun Aung, Panglima Tertinggi Angkatan Udara Myanmar, telah ditunjuk sebagai Ketua Konferensi Kepala Staf AU ASEAN 2023. Pejabat militer Myanmar lainnya, yaitu Panglima Angkatan Laut Myanmar Jenderal Moe Aung, pada Mei lalu ditunjuk memimpin pertemuan Panglima AL ASEAN 2024.
Para pejabat militer junta juga didapuk memimpin Kelompok Kerja Pakar pada pertemuan Menhan ASEAN Plus (ADMM-Plus) tentang kontraterorisme. Indonesia juga berpartisipasi di dalam kegiatan ini.
Pertemuan ASEAN dengan para pejabat junta Myanmar bisa membahayakan keputusan-keputusan ASEAN, khususnya lima poin konsensus.
Andrews menyatakan hal itu tidak bisa diterima. ”Tun Aung adalah pemimpin tertinggi AU Myanmar, komandan yang bertanggung jawab terhadap serangan ke desa-desa di seluruh Myanmar dengan jet dan helikopter tempur. Kini, serangan itu semakin intensif dan ganas,” katanya. Andrews menyebut, sangat mungkin serangan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga sipil masuk dalam kejahatan perang.
Ia mengatakan, pembelaan yang menyebut bahwa penunjukan pejabat militer dalam kegiatan ASEAN adalah bersifat teknis dan tidak melanggar sebagai sebuah hal yang tidak bisa diterima. ”Tindakan itu tidak hanya merusak kredibilitas ASEAN, tetapi juga adalah jalan untuk melegitimasi junta dan memperpanjang penderitaan rakyat Myanmar,” kata Andrews.
Berdasarkan data yang dikumpulkan, sejak kudeta militer terjadi pada 1 Februari 2021, lebih dari 3.000 warga sipil terbunuh akibat serangan militer Myanmar. Sebanyak 19.000 warga, sebagian besar dari mereka adalah warga yang ikut mendukung Gerakan Pembangkangan SIpil (Civil Disobedient Movement), saat ini masih mendekam di sejumlah penjara di Myanmar.
Kudeta militer juga telah mengakibatkan lebih dari 1,5 juta orang mengungsi dari rumah-rumah mereka, termasuk ratusan ribu orang yang terdiri dari anak-anak dan para orang tua, ke negara lain.
Dua tindakan di atas, yang dipandang bisa memberikan legitimasi terhadap junta militer, menurut Andrews, akan dianggap sebagai kemunduran langkah yang selama ini dilakukan ASEAN. Berbagai tindakan yang telah dilakukan ASEAN, termasuk melarang pemimpin atau pejabat politik, termasuk pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing untuk hadir dalam konferensi tingkat tinggi (KTT), akan sia-sia. Hal itu akan dipandang sebagai sebuah kemunduran yang besar bagi ASEAN.
Diminta tanggapan secara terpisah, Peneliti Senior ASEAN dari CSIS Lina Alexandra menyebut, tindakan Thailand mengundang Menteri Luar Negeri Myanmar Than Swe untuk datang ke forum ASEAN sebagai tindakan unilateral yang merusak kesatuan ASEAN.
Narasi junta
Andrews mengatakan, dengan berbagai tindakan yang bisa menggiring adanya legitimasi, hal itu bisa memberikan sinyal kepada rakyat Myanmar bahwa tirani junta Myanmar adalah keniscayaan. ”Narasi seperti inilah yang diharapkan dan dibutuhkan junta untuk menang,” kata Andrews.
Andrews juga mengakui, sanksi yang diberikan sejumlah negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa, tidak terlalu efektif untuk meredam junta. Yang dibutuhkan oleh Indonesia dan ASEAN saat ini adalah koordinasi yang lebih kuat antara negara-negara kuat untuk memberikan tekanan yang lebih terkoordinasi dan memiliki dampak yang signifikan.
China dan Rusia adalah dua negara besar dan berpengaruh yang secara terbuka mendukung junta militer Myanmar. Dalam catatan pelapor khusus, China, Rusia, India, Pakistan serta Korea Utara dan Serbia diketahui memasok persenjataan bagi junta.
Seperti dilansir media Jerman, Deutsche Welle (DW), sejak junta militer merebut kekuasaan di Myanmar pada Februari 2021, perusahaan-perusahaan di India—termasuk badan usaha milik negara—telah mengirimkan setidaknya paket persenjataan dan peralatan militer buatannya senilai 51 juta dollar AS ke Myanmar. DW, mengutip laporan PBB, menyebut pengiriman itu dilakukan oleh 22 pemasok atau pedagang senjata.
Produsen alutsista milik negara yang mengirimkan produk mereka ke Myanmar, menurut laporan tersebut, di antaranya adalah Bharat Dynamics, Bharat Electronics, dan Yantra India. Dua perusahaan swasta yang terlibat adalah Sandeep Metalcraft dan Larsen & Toubro.
”Oleh karena itu, India harus menyadari bahwa senjata yang diberikannya kepada militer Myanmar—meskipun relatif terbatas—kemungkinan besar akan digunakan untuk kejahatan internasional,” kata laporan itu.
Andrews mendorong Indonesia dan ASEAN berbicara dengan para pemimpin negara tersebut agar mereka mendukung keputusan ASEAN membantu rakyat Myanmar menghentikan konflik di negara mereka. ”Rakyat Myanmar tidak memiliki waktu hingga puluhan tahun untuk meminta pertanggungjawaban junta,” kata Andrews.