Pakar HAM PBB Desak Negara-Negara Berhenti Jual Senjata ke Myanmar
Laporan itu menyebutkan Rusia memasok pesawat nirawak, dua jenis jet tempur, dan dua jenis kendaraan lapis baja. China mentransfer jet tempur sementara Serbia menyediakan roket dan peluru artileri ke Myanmar.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
GENEVA, SELASA -- Pakar hak asasi manusia independen yang bekerja dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengkritik sejumlah negara, seperti China, Rusia, Serbia dan India karena memasok senjata untuk militer Myanmar. Senjata itu diduga digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil yang menolak kudeta militer di Myanmar. Dewan Keamanan PBB pun didesak untuk menghentikan aliran senjata ke Myanmar guna mencegah berlanjutnya kekejaman terhadap warga sipil di negara itu.
Pakar HAM PBB itu adalah Thomas Andrews yang juga mantan anggota Kongres Amerika Serikat. Kritik itu disampaikannya dalam sebuah laporan tertulis pada PBB yang dirilis pada Selasa (22/2/2022). Andrews menjadi Pelapor Khusus untuk isu HAM di Myanmar. Ia bekerja untuk kantor HAM PBB di Geneva berdasarkan mandat yang diberikan oleh Dewan HAM PBB. Badan itu beranggotakan 47 perwakilan, termasuk dari China dan Rusia.
Laporan itu mengatakan Rusia telah memasok pesawat nirawak, dua jenis jet tempur, dan dua jenis kendaraan lapis baja, dan sebuah sistem pertahanan udara. China mentransfer jet tempur sementara Serbia telah menyediakan roket dan peluru artileri. Ia menyebut Serbia memasok senjata ke militer Myanmar sejak mereka merebut kekuasaan tahun lalu. Dalam laporan disebutkan bahwa pemasok tahu bahwa senjata-senjata itu akan digunakan untuk menyerang warga sipil. "Seharusnya tidak dapat disangkal bahwa senjata yang digunakan untuk membunuh warga sipil tidak boleh lagi ditransfer ke Myanmar," kata Andrews dalam sebuah pernyataan.
Kekacauan telah mencengkeram Myanmar sejak kudeta militer mengakhiri satu dekade demokrasi di negara itu. Junta menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan aksi-aksi protes masyarakat sipil. Dalam laporannya, Andrews menyebutkan setidaknya 1.500 warga sipil di Myanmar tewas akibat aksi militer. Andrews juga menyebutkan lebih dari 300.000 orang mengungsi akibat konflik antara militer dan kelompok-kelompok sipil bersenjata di pedesaan-pedesaan di Myanmar.
Kelompok-kelompok HAM dan PBB menuduh junta menggunakan kekuatan yang tidak proporsional untuk memerangi milisi dan pemberontak etnis minoritas, termasuk artileri dan serangan udara di wilayah sipil. Junta militer Myanmar selama ini mengatakan mereka memerangi "teroris" dan menolak apa yang mereka sebut sebagai campur tangan PBB.
Terkait laporan terbaru yang disampaikan Andrews, pihak militer Myanmar dan Kementerian Luar Negeri China, Rusia, dan Serbia belum bisa dihubungi untuk memberikan komentar.
Penelitian Andrews menggambarkan beberapa kategori pengiriman senjata. Ia menyatakan pengiriman paling bermasalah berasal dari China, Rusia dan Serbia, karena mereka telah dikirim sejak 2018 dan berlanjut setelah kudeta militer pada 1 Februari 2021. Dia juga mengutip, India karena telah mentransfer senjata sebelum kudeta dan sekali pengiriman setelah kudeta dilakukan.
Selain negara-negara itu, Andrews mengatakan, ada tiga negara lain - Belarusia, Pakistan dan Ukraina - telah mengirim senjata sebelum kudeta terjadi, namun tidak dilakukan atau diteruskan lagi pascakudeta. Andrews juga menyebutkan Israel dan Korea Selatan telah mengirim kapal untuk Angkatan Laut Myanmar pada 2018 yang dapat digunakan untuk melawan warga sipil. Namun sejak kudeta terjadi, kedua negara itu berkomitmen untuk tidak lagi mengirim senjata ke Myanmar.
Tahun lalu Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang meminta anggotanya untuk menghentikan transfer senjata untuk militer Myanmar. Andrews menilai resolusi itu seharusnya mengikat Dewan Keamanan PBB. Serbia memilih mendukung resolusi tersebut, tetapi Rusia dan China yang notabene adalah anggota DK PBB memilih abstain.
China telah mendesak diakhirinya permusuhan di Myanmar. Adapun Rusia telah menjadi sekutu diplomatik terdekat para jenderal Myanmar di saat negara-negara Barat berupaya mengisolasi mereka. “Rakyat Myanmar meminta PBB untuk bertindak,” kata Andrews lewat pernyataannya. “Mereka layak mendapatkan suara pada resolusi DK PBB yang akan menghentikan penjualan senjata yang digunakan untuk membunuh mereka.”
Andrews juga menyerukan pemotongan akses oleh militer Myanmar ke sumber-sumber pendapatan minyak dan gas serta cadangan devisa negara itu. Pasar internasional juga didesaknya untuk menghentikan pembelian produk kayu dan batu permata asal Myanmar. Jika bersatu, menurut Andrews, komunitas internasional akan mampu menekan dan menghentikan tindakan sewenang-wenang penguasa militer di Myanmar. "Jika pendapatan yang diperlukan untuk mempertahankan militer seperti itu berkurang, kapasitas junta untuk menyerang dan meneror rakyat Myanmar akan berkurang," katanya. (AP/REUTERS)