Kapal Karam di Samudra Hindia, 17 Pelaut Indonesia Hilang
Kapal terpantau meninggalkan Cape Town, Afrika Selatan, pada 3 Mei 2023. Menurut rencana, kapal itu menuju Busan, Korea Selatan. Di tengah pelayaran, kapal dilaporkan karam di lepas pantai Maladewa.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
BEIJING, RABU — Pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing kembali hilang. Kali ini, 17 pelaut Indonesia termasuk dalam daftar 39 awak kapal Lupeng Yuanyu 028 yang karam di Samudra Hindia. Hingga Rabu (17/5/2023) sore, tim penyelamat belum menemukan satu pun awak kapal ikan China itu.
Kapal diawaki 17 warga China, 5 warga Filipina, dan 17 warga Indonesia. Perusahaan yang mengoperasikannya ialah Penglai Jinglu Fishery, berpusat di Shandong, China.
Penglai Jinglu Fishery berbisnis pembuatan dan perawatan kapal hingga mengoperasikan kapal ikan di laut lepas. Dilaporkan media China, CCTV, perusahaan itu memiliki 12 kapal ikan yang beroperasi di laut lepas tanpa henti sepanjang tahun.
Dalam rekaman jalur pelayarannya, kapal terpantau meninggalkan Cape Town, Afrika Selatan, pada 3 Mei 2023. Menurut rencana, Lupeng Yuanyu 028 menuju Busan, Korea Selatan. Di tengah pelayaran, kapal itu karam di lepas pantai Maladewa di Samudra Hindia, Selasa (16/5/2023) dini hari.
Presiden China Xi Jinping dilaporkan memantau pencarian kapal itu. Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian dan Desa, Pemerintah Provinsi Shandong, serta sejumlah lembaga lain diminta ikut memantau pencariannya.
Sejauh ini, Beijing mengirimkan kapal Lupeng Yuanyu 018 dan kapal Yuanfu Hai ke sekitar lokasi terakhir Lupeng Yuanyu 028. Sejumlah kapal lain sedang dikerahkan China untuk ikut membantu pencarian. Kapal-kapal dari India, Australia, dan sejumlah negara lain juga dilaporkan sudah berada di sekitar lokasi kapal karam.
Kementerian Luar Negeri China menyatakan, permohonan bantuan pencarian telah disampaikan kepada negara di sekitar lokasi karam. Permintaan, antara lain, disampaikan ke Indonesia, negara asal sebagian awak kapal itu. Dari pesisir selatan Nias, Maladewa berjarak 2.600 kilometer. Nias merupakan wilayah terdekat Indonesia dengan Maladewa.
Kedutaan Besar China di Jakarta telah menginformasikan insiden tersebut kepada Kementerian Luar Negeri RI. Setelah mendapat laporan itu, Kemenlu RI berkoordinasi dengan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Berdasarkan informasi AMSA, kapal telah ditemukan dalam keadaan terbalik. Operasi SAR masih terus dilakukan untuk mencari para awak kapal.
Indonesia juga berkoordinasi dengan AMSA Australia, lembaga serupa Basarnas di Indonesia. Sebab, hasil pelacakan posisi terakhir kapal Lupeng Yuanyu 028 menunjukkan kapal itu berada di wilayah operasi AMSA.
”AMSA Australia telah melakukan operasi SAR di sekitar lokasi dengan mengerahkan aset baik pesawat maupun kapal, termasuk meminta dukungan dari kapal niaga yang sedang berlayar di sekitar lokasi. Berdasarkan informasi AMSA, kapal telah ditemukan dalam keadaan terbalik. Operasi SAR masih terus dilakukan untuk mencari para awak kapal,” tutur Direktur Pelindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia pada Kemenlu RI Judha Nugraha.
Kedutaan Besar RI di Beijing juga berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri China. Beijing menyatakan, pencarian diusahakan secara optimal dan hak-hak para awak kapal akan dipenuhi.
Berulang kali
Kecelakaan yang menimpa Lupeng Yuanyu 028 berselang dua bulan setelah kapal ikan Taiwan karam di perairan Jepang. Seperti Lupeng Yuanyu 028, sebagian awak kapal ikan Taiwan itu merupakan warga Indonesia. Bersama Korea Selatan (Korsel), Taiwan dan China merupakan tujuan utama pekerja migran Indonesia (PMI) yang mencari kerja di kapal-kapal ikan asing.
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat, setidaknya ada 696 kasus terkait PMI yang menjadi awak kapal ikan asing. Jumlah pelaut yang tersangkut berbagai kasus itu mencapai ribuan. Tewas dalam bekerja menjadi salah satu risiko besar PMI yang menjadi awak kapal ikan asing.
Dalam penelitian Indonesia Ocean Justice Initiave (IOJI) disimpulkan, perekrutan pelaut Indonesia oleh perusahaan kapal ikan China, Taiwan, dan Korsel untuk menekan biaya. Sebab, gaji PMI lebih murah dibandingkan dengan merekrut awak kapal ikan dari China, Taiwan, atau Korsel.
IOJI menemukan sejumlah kerentanan dalam perekrutan dan penempatan pekerja asing di kapal ikan. Taiwan secara jelas membedakan gaji untuk pekerja asing dan pekerja lokal di kapal ikan. Pekerja migran diberikan gaji lebih kecil ketimbang pekerja lokal. Diskriminasi pendapatan itu masih dipertahankan sampai sekarang.
Adapun Korsel tidak mempunyai aturan jam kerja dan hak cuti bagi pelaut di kapal ikan. Oleh karena itu, tidak ada kejelasan soal pengaturan waktu kerja bagi awak kapal ikan milik perusahaan atau warga Korsel.
IOJI juga menyoroti aneka inisiatif dan instrumen pelindungan pekerja migran lebih kerap diarahkan kepada pekerja migran di darat. Sementara untuk pekerja migran di laut, aneka instrumen itu nyaris tidak mengatur. (AFP/REUTERS/RAZ)