Turki di Simpang Pertarungan Erdogan dan Kilicdaroglu
Setelah berkuasa lebih dari dua dekade, di tengah berbagai persoalan serius yang saat ini tengah membelit Turki, baru kali ini Presiden Recep Tayyip Erdogan menghadapi lawan tangguh dalam pemilu.
Rakyat Turki pada Minggu (14/5/2023) kembali memberikan hak suara mereka untuk menentukan pemimpin dan anggota parlemen Turki mendatang. Pemilu presiden dan parlemen digelar serempak pada hari Minggu.
Ada sekitar 64 juta dari 85 juta jiwa keseluruhan penduduk Turki yang memiliki hak suara. Meskipun pemilu parlemen dan presiden digelar serempak, sorotan publik Turki maupun masyarakat internasional lebih tercurahkan kepada pemilu presiden.
Siapakah yang dipilih rakyat Turki sebagai pemimpin mereka di masa mendatang, apakah masih tetap Recep Tayyip Erdogan yang berkuasa sejak 21 tahun lalu ataukah mereka mengganti Erdogan dengan Kemal Kilicdaroglu?
Baca juga: Jurus Pamungkas Erdogan
Ada tiga kandidat presiden dalam pemilu presiden Turki kali ini setelah satu kandidat, Muharrem Ince dari Partai Tanah Air, secara mengejutkan mundur dari bursa calon presiden, Kamis (11/5/2023). Ince mengundurkan diri setelah beredar di media sosial tentang tindakan asusila dirinya.
Tiga kandidat presiden yang bertarung adalah petahana Recep Tayyip Erdogan, kandidat Koalisi Kerakyatan; Kemal Kilicdaroglu dari Koalisi Keumatan; dan Sinan Ogan yang didukung Koalisi Leluhur (ATA).
Koalisi Kerakyatan yang mengusung Erdogan terdiri dari beberapa partai politik, yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang beraliran Islamis konservatif, Partai Gerakan Nasionalis (MHP) yang beraliran ultranasionalis, Partai Persatuan Besar (BBP) yang beraliran kanan Islamis, Partai Kesejahteraan Islam Baru (YRP), dan Partai Islam Sunni Kurdistan (HUDAPAR).
Adapun Koalisi Keumatan terdiri enam partai—juga disebut ”enam meja”—yaitu Partai Rakyat Republik (CHP) pimpinan Kilicdaroglu yang beraliran sosial demokrat/tengah kiri, Partai IYI (Kebaikan) yang beraliran liberal konservatif pimpinan Meral Aksener, Partai Saadet (SP) yang beraliran Islamis kanan pimpinan Temel Karamollaoglu, Partai Demokrat (DP) yang beraliran tengah-kanan pimpinan Gultekin Uysal, Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA) yang beraliran Islamis Progresif pimpinan Ali Babacan, serta Partai Masa Depan (GP) yang beraliran Islamis Progresif pimpinan Ahmet Davutoglu.
Baca juga: Mampukah Kemal Kilicdaroglu Tumbangkan Erdogan?
Sementara Koalisi Leluhur (ATA) terdiri dari beberapa partai politik kecil, yaitu Partai Kemenangan (ZP), Partai Keadilan (AP), Partai Negeriku (UK), dan Partai Aliansi Turki (TIP). Semua ideologi partai politik dalam ATA beraliran nasionalis Kemalis sekuler.
Di Turki terakhir ini, isu pertarungan ideologi antara Islamis dan sekularis sudah cair, tidak seperti pada era dari tahun 1950-an hingga 1990-an.
Dari tiga kandidat presiden tersebut, yang terkuat adalah Erdogan dan Kilicdaroglu karena didukung oleh partai-partai politik besar. Di belakang Erdogan ada AKP dan MHP. Adapun Kilicdaroglu didukung CHP dan IYI. DEVA dan GP yang turut mendukung Kilicdaroglu adalah dua partai yang potensial dan bisa memecah suara kubu Islamis di Turki. DEVA dab GP adalah pecahan dari AKP.
Di Turki terakhir ini, isu pertarungan ideologi antara Islamis dan sekularis sudah cair, tidak seperti pada era dari tahun 1950-an hingga 1990-an. Erdogan dan AKP yang Islamis berkoalisi dengan MHP yang nasionalis sekuler. Demikian juga Kilicdaroglu dan CHP yang sekuler berkoalisi dengan DEVA, GP dan Saadet (SP) yang Islamis.
Antitesis Erdogan
Pertarungan sesungguhnya dalam pemilu presiden Turki kali ini adalah antara Erdogan dan Kilicradoglu. Keduanya sama-sama politisi senior dan legendaris di Turki. Kilicdaroglu—kelahiran 17 Desember 1948—sudah berusia 74 tahun. Erdogan—kelahiran 26 Februari 1954—berusia 69 tahun.
Figur Erdogan sangat populer dan hegemonik khususnya di Turki, bahkan di kancah internasional. Ia tampil sebagai penguasa terlama dalam sejarah republik Turki modern, yakni berkuasa sejak tahun 2002 atau sudah 21 tahun. Lebih lama daripada Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki modern, yang berkuasa 15 tahun (1923-1938).
Dampak antara memilih Erdogan atau Kilicdaroglu sesungguhnya tidak sederhana atau hanya sekadar mengganti figur pemimpin, tetapi akan menentukan model sistem pemerintahan Turki mendatang dan juga sistem ekonomi yang akan diterapkan. Rakyat Turki sudah memaklumi, Kilicdaroglu adalah antitesis dari Erdogan.
Kilicdaroglu dalam program kampanye pemilunya menegaskan akan kembali mengubah sistem pemerintahan Turki dari presidensial ke parlementer. Adalah Erdogan yang mengubah dari sistem parlementer ke sistem presidensial melalui referendum rakyat tahun 2017.
Baca juga: Membaca Pikiran Erdogan
Perubahan sistem pemerintahan tersebut menuai kritik keras dari kubu oposisi dan internal AKP. Mereka menuduh Erdogan sebagai diktator dengan cara mengubah sistem pemerintahan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dua tokoh AKP, yaitu Ahmet Davutoglu, yang pernah menjabat menteri luar negeri, dan Ali Babacan, yang pernah menjabat menteri keuangan, memilih keluar dari AKP sebagai protes terhadap tindakan Erdogan itu.
Davutoglu kemudian mendirikan Partai Masa Depan (GP) dan Ali Babacan mendirikan Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA). GP dan DEVA kini mendukung Kilicdaroglu melawan Erdogan.
Isu perubahan sistem pemerintahan tersebut menjadi amunisi utama kubu oposisi melawan Erdogan dalam kampanye pemilu Turki kali ini. Selain isu perubahan sistem pemerintahan, kubu oposisi juga berjanji akan mengubah sistem ekonomi yang diterapkan Erdogan. Erdogan menolak menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi yang membubung tinggi.
Kilicdaroglu dan kubu oposisi fokus mengritik Erdogan yang gagal mengatasi krisis ekonomi di Turki hingga nilai mata uang lira (mata uang lokal Turki) terus merosot terhadap dollar AS dan inflasi terus membubung tinggi. Kini nilai 1 dollar AS setara 19,59 lira.
Sebaliknya Erdogan, yang menyadari akan berat menghadapi Kilicdaroglu, berjanji akan melakukan evaluasi terhadap sistem presidensial dengan mengurangi otoritas presiden yang terlalu kuat. Ia juga berjanji akan lebih membagi kekuasaan yang terlalu kuat di tangan presiden ke lembaga legislatif. Janji Erdogan ini tentu untuk menarik simpati pemilih dan menangkis kritik kubu oposisi atas terlalu kuatnya otoritas lembaga presiden.
Erdogan juga menyampaikan prestasi pemerintahannya dalam politik luar negeri Turki yang saat ini memiliki hubungan baik dengan semua negara. Menurut Erdogan, Turki kini sedang proses melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah, Mesir, Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Bagi Erdogan, pemilu kali ini terbilang paling berat karena perubahan struktur demografi pemilih di Turki setelah ia berkuasa 21 tahun.
Erdogan tentu ingin menangkis kritik kubu oposisi yang menuduh Turki pada era Erdogan cenderung terkucil dari pergaulan internasional. Kubu Erdogan bahkan mengklaim bahwa tujuan upaya melakukan normalisasi hubungan dengan Suriah adalah dalam upaya memulangkan pengungsi Suriah di Turki yang mencapai jumlah lebih dari 3 juta pengungsi. Keberadaan pengungsi Suriah di Turki dalam jumlah yang sangat besar juga jadi sasaran kritik Kilicdaroglu dan kubu oposisi.
Baca juga: Bulan Madu Turki-Suriah dan Repatriasi Pengungsi Suriah, Kartu Terbaru Erdogan
Isu perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial, krisis ekonomi dan pengungsi Suriah menjadi isu besar dalam pemilu Turki kali ini. Sejumlah pengamat di Turki menyebut, pemilu kali ini ibarat referendum kedua setelah referendum tahun 2017 untuk menentukan sistem pemerintahan parlementer atau presidensial. Jika Erdogan menang, berarti rakyat Turki menginginkan sistem presidensial berlanjut. Sebaliknya, bila Kilicdaroglu menang, berarti rakyat Turki ingin mengubah lagi ke sistem parlementer.
Bagi Erdogan, pemilu kali ini terbilang paling berat karena perubahan struktur demografi pemilih di Turki setelah ia berkuasa 21 tahun. Pemilih generasi muda yang mencapai sekitar 5,2 juta pemilih turut menentukan siapa pemimpin Turki mendatang. Pemilih dari generasi muda itu menghadapi krisis ekonomi di Turki terakhir ini dengan segala dampaknya, seperti semakin sulitnya lapangan kerja dan kenaikan harga akibat inflasi. Situasi ini cukup menyulitkan Erdogan dalam menghadapi Kilicdaroglu.
Kesulitan lain bagi Erdogan adalah menyeberangnya mantan dua tokoh AKP, Davutoglu dan Babacan, ke kubu Kilicdaroglu yang bisa memecah suara AKP dibasisnya. Selama ini, basis suara AKP terbesar berada di pedesaan wilayah Anatolia (Turki bagian tengah) dan wilayah pesisir laut Hitam yang terkenal basis masyarakat konservatif.
Para pengamat di Turki menyebut, ini pertarungan paling seru dan sulit antara Erdogan dan Kilicdaroglu. Berbagai jajak pendapat menunjukkan selisih hasil perolehan suara yang sangat tipis antara Erdogan dan Kilicdaroglu.