Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kembali mengusulkan perubahan konstitusi negaranya. Langkah ini dinilai bagian dari upaya mengamankan kekuasaan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Usulan Erdogan itu mengejutkan meski tak sulit menebak arahnya. Wacana penyusunan kembali konstitusi disampaikan terbuka oleh Erdogan dalam pidato yang disiarkan televisi, Senin (1/2/2021), setelah ia memimpin sidang kabinet. Alasan yang disampaikan ialah konstitusi saat ini, yang berlaku sejak tahun 1982 atau dua tahun setelah kudeta militer, ditulis para pemberontak. Itu alasan yang terucap.
Hanya sehari berselang, usulan itu didukung Devlet Bahceli, Ketua Partai Gerakan Nasionalis (MHP), yang berhaluan ultranasionalis dan mitra koalisi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan. Beberapa pekan sebelumnya, Bahceli lebih dulu melontarkan wacana perubahan konstitusi Turki dengan tujuan untuk melarang Partai Demokratik Rakyat (HDP), yang pro-Kurdi, terkait tuduhan separatisme. Seolah mendapat momentum yang pas, Erdogan pun menyuarakan penyusunan ulang konstitusi itu.
Konstitusi yang berlaku di Turki saat ini belum empat tahun diamendemen. Pada 2017, juga atas desakan Erdogan dan dimotori AKP, Turki mengamendemen beberapa pasal dalam konstitusi 1982, menghasilkan perubahan dramatis sistem pemerintahan, dari sistem parlementer berganti sistem presidensial atau—menurut istilah oposisi di Turki—rezim pemimpin tunggal (one-man regime). Dalam sistem baru itu, jabatan perdana menteri dihapus.
Setahun kemudian, Erdogan memenangi pemilu. Ia menjabat presiden hingga pemilu berikutnya tahun 2023. Ia masih berhak mencalonkan diri lagi sebagai presiden—periode ketiga—dan menggenggam kekuasaan itu hingga 2028. Jika hal itu dicapai, ia akan menjadi presiden Turki terlama kedua menjabat setelah Mustafa Kemal Ataturk, Bapak Pendiri Republik Turki. Mengapa Erdogan ingin konstitusi diubah?
Erdogan (66) tidak pernah kalah dalam pemilu. ”Gabungan kemarahan dan ketenangannya membuat Erdogan terus-menerus sukses dalam pemilu,” tulis Kaya Genc, pengarang buku Under the Shadow: Rage and Revolution in Modern Turki, di jurnal Foreign Affairs (September/Oktober 2019). Meski semula mengkritiknya, sejak 2008 Erdogan mengadopsi gaya Ataturk memusatkan kekuasaan dalam genggamannya. Sementara popularitas Erdogan terus menyusut sejak kudeta yang gagal tahun 2016. Ditambah masalah ekonomi yang terus membelit Turki, dukungan kelas pekerja—salah satu basis pendukungnya—terhadap Erdogan pun terkikis.
Peralihan ke sistem presidensial, seperti dicatat Soner Cagaptay, Direktur Program Turki di Institut Washington, menuntut pacuan dua kandidat sebagai penentu pemenang pemilu. Salah satu implikasinya, yang mungkin di luar kalkulasi Erdogan, adalah menyatunya kekuatan kelompok oposisi. Potensi ini mungkin yang tengah diantisipasi Erdogan. Wacana penyusunan ulang konstitusi Turki, yang dilontarkan Erdogan, bisa dibaca dalam konteks itu.