Pelanggaran Hak dan Penyiksaan Berlanjut, ASEAN Tambah Dokumen Perlindungan Pekerja Migran
Setelah 16 tahun memiliki deklarasi perlindungan pekerja migran, berbagai kasus pelanggaran dan pengabaian hak pekerja migran terus terjadi di ASEAN. Perspektif korban belum dipakai dalam melindungi pekerja migran
Oleh
KRIS MADA, FRANSISKUS PATI HERIN, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
MANGGARAI BARAT, KOMPAS - Tambahan dokumen ASEAN terkait pekerja migran perlu langkah lanjutan agar bermanfaat. Sebab, meski telah 16 tahun punya dokumen soal perlindungan pekerja migran, berbagai kasus pelanggaran hak hingga penyiksaan pekerja migran terus terjadi di Asia Tenggara.
Dokumen terbaru diadopsi dalam Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN, 10 Mei 2023, di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Pemimpin ASEAN setuju mengadopsi deklarasi perlindungan pekerja migran dan keluarganya dalam situasi krisis, pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menyalahgunakan teknologi, serta perlindungan pekerja migran di kapal ikan.
“Agar dokumen-dokumen ini tidak menjadi macan kertas semata, Migrant CARE mendorong agar ada integrasi tiga dokumen tersebut dengan modalitas yang sudah dimiliki oleh ASEAN,” ujar Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo, Kamis (11/5/2023), di Manggarai Barat. Bersama sejumlah lembaga pendamping pekerja migran, Migrant CARE membuat kegiatan pendamping KTT ASEAN di Labuan Bajo. Kegiatan itu fokus membahas upaya perlindungan pekerja migran oleh ASEAN. Salah satu peserta kegiatan itu adalah perwakilan dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Sebelum tiga deklarasi itu, ASEAN telah mengadopsi deklarasi perlindungan pekerja migran pada 2007, konvensi pemberantasan TPPO pada 2015, dan konsensus perlindungan pekerja migran pada 2017. Selain itu, ada pula deklarasi HAM ASEAN yang dianggap sekalian melindungi hak pekerja migran.
Permasalahan
Manajer Program Akses Keadilan di IOJI Jeremia Humolong Prasetya mengatakan, persoalan utama aneka instrumen itu adalah berperspektif pekerja migran di darat. Selama ini, ASEAN belum pernah mendiskusikan perlindungan pekerja migran di kapal-kapal ikan lintar negara. Padahal, mengacu pada Organisasi Buruh Internasional (ILO), setidaknya 125.000 warga ASEAN menjadi awak kapal ikan lintas negara.
Berulang kali terjadi eksploitasi terhadap pekerja migran di kapal ikan, termasuk yang datang dari ASEAN. Tidak hanya menjadi korban TPPO, sebagian pekerja migran asal ASEAN terindikasi menjadi korban perbudakan di berbagai kapal ikan lintas negara. “Belum terdapat mekanisme kerjasama antarnegara anggota ASEAN dalam menangani kasus eksploitasi dan perdagangan manusia yang dialami oleh pekerja migran di kapal ikan,” ujarnya.
Persoalan lain, seluruh dokumen itu tidak benar-benar bisa mengatasi TPPO dan melindungi pekerja migran di Asia Tenggara. Setelah 16 tahun memiliki deklarasi perlindungan pekerja migran, berbagai kasus pelanggaran dan pengabaian hak pekerja migran terus terjadi di ASEAN. Bahkan, sebagian pelaku pelanggaran dan pengabaian melibatkan berstatus aparat di berbagai negara anggota ASEAN. Berulang kali terindikasi keterlibatan aparat sipil, polisi, dan militer dalam kasus-kasus TPPO, penyelundupan manusia, dan pengiriman pekerja migran secara ilegal.
Wahyu mengatakan, tiga deklarasi tambahan soal perlindungan pekerja migran perlu diintegrasikan dalam rencana aksi nyata dan inklusif. Hal itu untuk memastikan ASEAN sebagai kawasan ramah dan menyediakan kondisi kerja layak bagi pekerja migran. Seluruh dokumen itu juga perlu diterjemahkan pula dalam sistem hukum nasional anggota.
Agar semakin kokoh, diperlukan kerangka bilateral di antara anggota ASEAN terkait perlindungan pekerja migran. Penerjemahan dalam sistem hukum nasional dan kerangka bilateral perlu mengedepankan perspektif korban serta inklusif untuk pekerja migran di darat maupun laut.
Perspektif Korban
Wahyu mengatakan, penanganan pekerja migran selama ini belum menerapkan perspektif yang melindungi korban. Buktinya, korban TPPO dan penyelundupan manusia masih kerap dihukum karena dianggap melanggar aturan keimigrasian. Seharusnya, korban jangan dihukum.
Sanksi keras diarahkan kepada para pelaku TPPO, pelanggar hak pekerja migran, dan kejahatan terkait. Aparat berbagai negara perlu bekerja sama untuk membongkar sindikat TPPO, penyelundupan manusia, dan pengiriman pekerja migran secara ilegal.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, istilah pekerja migran tidak prosedural salah satu indikasi pola pikir salah dalam perlindungan pekerja migran. Tidak ada orang mau menempuh jalur tidak prosedural untuk menjadi pekerja migran. “Calon pekerja tahunya harus membayar, mendapat dokumen perjalanan, lalu bekerja di luar negeri,” ujarnya.
Prosedur yang rumit dan tidak ramah pada calon pekerja migran menjadi salah satu akar banyak orang terjebak dalam sindikat penyaluran pekerja migran secara ilegal. Kerumitan itu kerap dimanfaatkan banyak aparat di berbagai negara untuk menjerat ribuan orang dalam perangkap sindikat TPPO dan penyaluran pekerja migran secara ilegal.