Perlindungan pekerja migran dan penanggulangan TPPO penting jika Indonesia serius dengan tema pertumbuhan selama menjadi ketua ASEAN. Seperti juga warga lain di ASEAN, pekerja migran berhak menikmati manfaat pertumbuhan
Oleh
KRIS MADA, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Manggarai Barat, Kompas - Gangguan keamanan dan keamanan kawasan dapat semakin memperburuk kondisi pekerja migran. Tanpa itu pun, pekerja migran sudah diberatkan oleh lemahnya komitmen bersama berbagai negara untuk melindungi mereka.
Evakuasi 20 warga Indonesia dari Myanmar adalah contoh buruk dampak gangguan keamanan kawasan pada pekerja migran. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, Myawaddy jauh dari Yangon, Myanmar maupun Bangkok, Thailand. “Wilayah itu adalah wilayah konflik oleh karena itu upaya untuk penyelamatan juga tidak mudah,” ujarnya, Minggu (7/5/2023) di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Tim Kedutaan Besar RI di Bangkok dan di Yangon mengurus evakuasi 20 WNI yang jadi korban penipuan sindikat perdagangan orang itu. Alih-alih bekerja di Thailand, mereka malah dibawa ke daerah yang dikuasai milisi Karen itu. Milisi itu salah satu kelompok bersenjata yang sudah puluhan tahun memberontak di Myanmar.
Di Myawaddy, junta militer Myanmar praktis tidak punya kendali. Karena itu, Retno mengindikasikan Indonesia berkomunikasi dengan pemimpin milisi Karen selama proses pembebasan 20 WNI itu. Ia memakai istilah “otoritas lokal”.
Kasus Myanmar menambah alasan Indonesia untuk mendorong ASEAN mengadopsi dokumen penanganan perdagangan orang di kawasan. Indonesia mendorong KTT Ke-42 ASEAN agar, antara lain, menghasilkan dokumen terkait perlindungan pekerja migran dan penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Isu TPPO menjadi perhatian karena semakin marak kasusnya dan semakin banyak korbannya. Perkembangan teknologi dimanfaatkan sindikat pelaku untuk mengembangkan kejahatan itu.
Permasalahan TPPO amat kompleks sehingga memerlukan penanganan di tingkat kawasan. Penanganan dimulai dari deteksi dini, pencegahan, pemulangan, rehabilitasi, hingga penyelesaian akar masalah. ”Kapasitas penegak hukum anggota ASEAN perlu diperkuat untuk mengatasi persoalan ini,” kata juru bicara Kemenlu RI Teuku Faizasyah.
Komitmen Bersama
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, krisis keamanan kawasan buruk untuk pekerja migran. Perlu komitmen bersama di kawasan untuk melindungi pekerja migran dari berbagai kondisi yang memberatkan mereka. “Tidak ada pertumbuhan berkualitas di ASEAN tanpa pengakuan dan perlindungan hak-hak pekerja migran,” kata dia dalam diskusi “"Memastikan Agenda Perlindungan Pekerja Migran Dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN Tahun 2023".
Migrant Care menyelenggarakan forum itu sebagai salah satu kegiatan pendamping dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN. Penggiat perlindungan pekerja migran dari sejumlah negara ASEAN hadir dalam forum itu.
Wahyu mengatakan, komitmen kawasan diperlukan karena perlindungan pekerja migran butuh kerja sama lintas negara. Perlindungan di satu negara tidak cukup bila di negara lain tidak ada komitmen dan peraturan untuk hal serupa.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, belum semua anggota ASEAN berkomitmen melindungi migran. Buktinya, berbagai anggota ASEAN selalu dimasukkan daftar pengawasan Amerika Serikat untuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Selain itu, secara faktual, sindikat TPPO berulang kali terungkap di ASEAN.
Kasus Myanmar pun diduga kuat melibatkan sindikat TPPO. Karena itu, SBMI akan terus mendesak aparat lintas negara ASEAN menangkap sindikat yang terlibat dalam perdagangan 20 WNI tersebut. “Pemulangan mereka tidak akan menyurutkan upaya kami mendesak penindakan hukum terhadap sindikat TPPO dalam kasus ini,” kata dia.
SBMI memandang, indikasi TPPO amat jelas dalam kasus 20 WNI itu. Mereka berulang kali dipindahkan dari berbagai lembaga dan pihak yang mengaku sebagai perekrut dan penyalur tenaga kerja. Dari sejumlah daerah di Indonesia, para WNI itu direkrut dengan janji jadi petugas layanan konsumen di Thailand. Ternyata setelah di Thailand, mereka malah dibawa ke Myanmar.
Indikasi serupa diduga terjadi dalam kasus-kasus WNI yang dibawa ke Kamboja. Sebagian besar tidak tahu akan dipekerjakan di Kamboja. Dalam penyelidikan SBMI, ditemukan sebagian korban baru tahu akan ke Kamboja setelah keluar dari Indonesia. “Mereka diberi tahu akan dibawa ke Kamboja untuk pelatihan kerja,” kata dia.
Ternyata, mereka malah dipaksa terlibat sindikat penipuan daring. Berulang kali dalam evakuasi oleh pemerintah RI dan berbagai negara, ditemukan indikasi ada keterlibatan orang lintas negara dalam sindikat yang menipu para korban. “Kami menemukan indikasi keterlibatan BLK (balai latihan kerja) dalam sindikat TPPO,” ujarnya.
Faizasyah berpendapat, ASEAN akan sulit memperkokoh diri dan tetap lincah selama masalah TPPO belum diatasi. Persoalan itu dinilai menggerogoti masyarakat ASEAN. Oleh karena itu, perlu langkah bersama untuk mengatasinya.
Tidak kalah penting, Indonesia terus menekankan soal perlindungan pekerja migran. Meski pembahasannya berulang setiap tahun, belum ada mekanisme kokoh untuk mengatasi persoalan itu. Penyelesaian isu pekerja migran merupakan bagian dari upaya memperkokoh ASEAN. Agenda ini sekaligus menjaga ASEAN tetap penting dan relevan di masa kini dan masa depan.
Manfaat Pertumbuhan
Wahyu mengatakan, perlindungan pekerja migran dan penanggulangan TPPO penting jika Indonesia serius dengan tema pertumbuhan selama menjadi ketua ASEAN. Seperti juga warga lain di ASEAN, pekerja migran berhak menikmati kesejahteraan dan manfaat dari pertumbuhan ASEAN.
Sayangnya, sejauh ini pekerja migran termasuk warga ASEAN yang paling rentan. Padahal, berbagai negara ASEAN mengakui peran penting pekerja migran bagi pertumbuhan ekonomi masing-masing. Industri manufaktur di Thailand, Malaysia dan Singapura, serta agroindustri di Malaysia mengandalkan pekerja migran sebagai tenaga kerja.
Banyak pula warga sejumlah negara ASEAN mengandalkan pekerja migran untuk mengurus rumah tangga mereka. Dengan demikian, mereka bisa fokus bekerja di luar rumah. Dibandingkan sektor lain, pekerja migran yang menjadi asisten rumah tangga merupakan yang paling rentan. Bahkan, kesepakatan para pemerintah soal pekerja migran yang menjadi ART pun belum cukup untuk melindungi mereka.
“Banyak kesepakatan tidak dijalankan. Perlindungan ART migran di Malaysia belum sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia. Pertimig (Persatuan Pekerja Rumah Tangga Indonesia Migran) masih terus menerima aduan atas masalah yang sudah ada sebelum kesepakatan ditandatangani,” kata pengurus Pertimig Malaysia Uli Rahmi.
Pemotongan gaji, pembatasan libur dan komunikasi dengan keluarga, hingga penahanan dokumen masih terus terjadi. “Kami masih menerima aduan ART migran yang dilarang memegang ponsel. Kalau mau menghubungi keluarga, hanya boleh lewat WA (whatsapp) majikan,” kata dia.
Hal itu terutama dialami ART yang direkrut tidak sesuai prosedur. Pemerintah Indonesia mewajibkan perekrutan melalui lembaga yang ditunjuk. Calon pekerja migran juga dilarang dipungut biaya apa pun dan tidak boleh ada pemotongan gaji. Semua biaya perekrutan harus ditanggung pemberi kerja.
Faktanya, banyak ART masuk ke Malaysia dengan visa kunjungan wisata. Sampai Malaysia, mereka diserahkan ke berbagai lembaga yang dikenal sebagai penyalur pekerja migran. “Tidak mungkin fakta ini tidak diketahui karena sudah lama terjadi dan melibatkan banyak orang,” ujar Uli.