Integrasi Sistem Penempatan Baru Dikeluhkan Pekerja Migran
Proses penempatan pekerja migran Indonesia perlu disederhanakan agar memberi kemudahan, serta menghindari penggunaan jalur penempatan yang tidak sesuai prosedur. Integrasi data antarlembaga perlu dilakukan segera.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan mengintegrasikan layanan pendaftaran pekerja migran Indonesia milik Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ke dalam aplikasi Siap Kerja milik Kementerian Ketenagakerjaan RI. Integrasi ini menyebabkan 48.000 calon pekerja migran terancam keberangkatannya akibat adanya sistem baru. Pemerintah diminta membenahi tata kelola pendaftaran agar memberi kepastian bagi para pekerja migran.
Dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (5/4/2023), Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menjelaskan, Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (Siskotkln) telah ditutup pada 7 Maret 2023 karena telah terintegrasi dengan sistem baru milik Kementerian Ketenagakerjaan RI (Kemenaker), yaitu aplikasi Siap Kerja.
Namun, penggunaan aplikasi baru tersebut terkendala isu kesiapan dinas tenaga kerja daerah sebagai verifikator. Dari temuan BP2MI, masih ditemukan dinas tenaga kerja di daerah yang tidak dapat menerbitkan nomor identitas bagi para calon pekerja migran Indonesia (PMI) yang bertempat tinggal di luar wilayah kerja dinas tenaga kerja terkait.
Akibatnya, sebanyak 48.000 calon PMI yang sudah mendaftar di Siskotkln terancam keberangkatannya karena harus berurusan dengan sistem baru.
”Untuk memberi kepastian kepada mereka, BP2MI akan membuka Siskotkln kembali mulai 5 April 2023 hingga 14 Juli 2023. Penutupan Siskotkln bukan keputusan dari BP2MI, melainkan karena adanya surat edaran dari Kemenaker,” ucapnya.
Tidak ingin menyalahkan pihak mana pun, Benny mengklaim pendaftaran calon PMI berjalan dengan baik sejak adanya Siskotkln, tetapi mulai bermasalah saat adanya sistem yang baru. BP2MI mempertanyakan mengapa dinas tenaga kerja di daerah tidak dapat menerbitkan nomor identitas bagi calon PMI di luar wilayah kerjanya.
Padahal, pendaftaran bisa dilakukan dari mana pun dan di dinas mana juga.
”Kalau ada aduan mengenai masalah tersebut (identitas tidak terbit), jangan lagi menyalahkan BP2MI karena itu kewenangan disnaker, yang secara struktur lebih dekat ke Kemenaker. Wewenang BP2MI soal pendaftaran dilepas, tetapi aduan tetap kita terima. Namun, sebatas kita komunikasikan dengan lembaga terkait,” paparnya.
Integrasi data
Mengenai masalah di atas, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menjelaskan, ia pun menerima keluhan yang sama terkait pemberlakuan sistem baru, yakni aplikasi Siap Kerja. Tata kelola data mengenai PMI di Indonesia memang cukup kusut karena melibatkan banyak lembaga, mulai dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, Kemenaker, dan BP2MI. Keruwetan tersebut berimplikasi pada tumpang tindih kewenangan, seperti yang terjadi dalam isu integrasi sistem ini.
Berdasarkan catatan Migrant Care tahun 2020, terdapat sekitar 12 aplikasi pemerintah yang berkaitan dengan PMI. Tumpang tindih ini pula yang menyebabkan upaya penyelesaian masalah berkaitan PMI sering terkendala karena saling lempar tanggung jawab.
”Masih ada ego kewenangan dari masing-masing lembaga, data soal migran ini masih terserak di mana-mana. Awalnya di daerah sudah smooth prosesnya, ada Siap Kerja jadi rumit lagi karena daerah ternyata belum siap karena ini baru,” tuturnya.
Meski demikian, pihaknya tetap mengapresiasi upaya integrasi yang dilakukan pemerintah karena hal tersebut juga bagian dari program Satu Data Indonesia. Akan tetapi, integrasi perlu menjawab tantangan pokok, yaitu adanya kemudahan dan kepastian calon PMI mendapatkan izin.
”Dampak dari birokrasi yang tidak tertata ini banyak, salah satunya PMI menggunakan jalur yang tidak benar karena awalnya ingin mudah, tetapi malah menjadi sulit,” ujarnya.
Perubahan tata kelola data juga dibutuhkan di tingkat daerah, khususnya mengenai wewenang antara Lembaga Terpadu Satu Atap (LTSA) dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Menurut dia, masih ada LTSA yang ”main mata” dengan oknum P3MI terkiat penggunaan data pribadi calon PMI dengan alasan ingin membantu mereka mendapatkan pekerjaan.
Pemerintah perlu mempertegas bahwa data yang dimiliki hanya boleh diolah oleh LTSA. P3MI hanya berperan untuk mencocokkan data dengan job order atau pesanan pekerjaan dari negara yang membutuhkan tenaga kerja.
”Upaya mengintegrasikan data itu memang baik, tetapi intinya proses harus semakin mudah,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Asia dan Afrika BP2MI Gatot Hermawan menjelaskan, harus ada sosialisasi bimbingan teknis bagi petugas di daerah agar dapat mengoperasikan sistem Siap Kerja.
”Dari daerah masih merasa sulit menggunakannya karena, waktu Siap Kerja diberlakukan, Siskotkln langsung ditutup, mereka mungkin agak kaget. Perlu ada pelatihan dan bimbingan bagi petugas di daerah,” tuturnya.