Pemerintah Diminta Tegas dan Transparan Tangani Penyelundupan Pekerja Migran
BP2MI didesak membuka dokumen investigasi tenggelamnya perahu di Johor, Malaysia, yang menewaskan lebih dari 22 pekerja migran. Itu dinilai penting untuk mengungkap jaringan sindikat dan oknum aparat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Penyelundup pekerja migran berinisial SL dihadirkan TNI Angkatan Laut saat rilis pers di Markas TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Jumat (21/1/2022).
BATAM, KOMPAS — Sejumlah aktivis dan wakil rakyat mendesak pemerintah bertindak lebih tegas dan transparan dalam memberantas penempatan ilegal pekerja migran. Bisnis lancung yang dijalankan sindikat kejahatan transnasional itu telah membuat banyak pekerja migran menjadi korban.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Sabtu (1/4/2023), menyatakan, sejumlah kejadian tenggelamnya perahu pengangkut pekerja migran di perairan timur Sumatera menunjukkan sebuah pola. Insiden itu marak terjadi pada waktu menjelang Idul Fitri dan musim panen raya kelapa sawit di Malaysia.
”Jadi itu terkait dengan permintaan dan penawaran terhadap pekerja migran tanpa dokumen di sektor domestik dan perkebunan,” kata Wahyu saat dihubungi dari Batam.
Dalam catatan Kompas, sejak Desember 2021, terjadi tujuh kali peristiwa tenggelamnya perahu ilegal pengangkut pekerja migran di perairan timur Sumatera. Sedikitnya 44 pekerja migran tewas dan 76 orang hilang.
Peristiwa terparah terjadi pada 15 Desember 2021 saat perahu yang mengangkut 64 pekerja migran Indonesia tanpa dokumen tenggelam di perairan Johor. Sebanyak 22 pekerja migran tewas dan 29 orang hilang.
Sebelumnya, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan, dalam kasus Johor itu, sindikat perdagangan orang diduga sengaja menenggelamkan perahu pekerja migran untuk mengelabui aparat. Menurut dia, itu adalah temuan tim investigasi BP2MI yang dipimpin Inspektur Jenderal Achmad Kartiko, Deputi Bidang Penempatan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI (Kompas, 1/4/2023).
Menanggapi hal itu, Wahyu mendesak agar BP2MI segera membuka dokumen investigasi yang disebut di atas ke publik. Hal itu amat penting dilakukan agar menguak akar masalah di balik sejumlah insiden tenggelamnya perahu pengangkut pekerja migran di perairan timur Sumatera.
”Dari dokumen itu nantinya juga bisa dirunut jaringan sindikat yang bertanggung jawab terhadap tragedi itu. Kasus ini soal organisasi kejahatan internasional yang memiliki jaringan di dalam dan luar negeri, dan mereka itu pasti memiliki hubungan dengan otoritas kekuasaan,” ujar Wahyu.
Dugaan adanya kongsi sindikat dan oknum aparat salah satunya pernah diungkap oleh Chrisanctus Paschalis Saturnus, imam Katolik dan aktivis pembela korban perdagangan orang di Batam, Kepulauan Riau.
Pada 12 Januari lalu, Paschalis mengirim surat pengaduan masyarakat kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan. Surat itu menyebut Wakil Kepala BIN Daerah Kepri Bambang Panji Prianggodo diduga meminta Kepala Polsek Pelabuhan Batam membebaskan enam pelaku perdagangan orang.
Pada 8 Februari, Paschalis balik dilaporkan ke Polda Kepri atas tuduhan menyebarkan berita bohong serta melakukan pencemaran nama baik dan fitnah. Belakangan, laporan itu dicabut oleh pihak pelapor.
Polisi dan petugas medis di posko post mortem Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kepulauan Riau menerima kepulangan jenazah pekerja migran dari Malaysia, Kamis (23/12/2021).
Tak tersentuh
Selain penyelundupan lewat pelabuhan tidak resmi menggunakan perahu kecil, pekerja migran juga marak diberangkatkan menggunakan feri lewat pelabuhan resmi di Batam. Dua pintu keluar yang kasusnya telah sering diungkap aparat adalah Pelabuhan Batam Centre dan Pelabuhan Harbourbay.
Berdasarkan temuan Kompas, sedikitnya 200 pekerja migran setiap hari diberangkatkan secara ilegal menggunakan dua feri dari Pelabuhan Batam Centre menuju Tanjung Pengelih, Malaysia. Salah satu penyelundup yang ditemui Kompas mengaku menyetor kepada aparat sebanyak Rp 300.000 per pekerja migran yang berhasil diberangkatkan (Kompas, 20/12/2023).
”Pelabuhan-pelabuhan di Batam seperti negara di dalam negara. Seolah-olah tidak bisa disentuh,” kata Benny, Kamis (30/3/2023).
Menurut dia, dulu BP2MI memiliki pos pengawasan di dalam Pelabuhan Batam Centre, tetapi belakangan pos tersebut digeser keluar. ”Maka saya perintahkan kepala balai (Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/BP3MI) di sini agar berani ambil tindakan tegas,” ucapnya.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Petugas Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam memeriksa kelengkapan dokumen para pekerja migran Indonesia di Pelabuhan Internasional Batam Centre, Kota Batam, Kepulauan Riau, Kamis (21/5/2020).
Menurut anggota Komisi I DPR, Christina Aryani, pemerintah perlu menunjukkan keseriusan dalam menghukum pelaku perdagangan orang. ”Di Batam banyak pelaku yang ditangkap, tetapi mereka hanya dihukum ringan sehingga tidak jera,” katanya.
Lemahnya hukum itu tecermin dalam vonis terhadap Susanto alias Acing. Ia merupakan orang yang memberangkatkan perahu berisi 64 pekerja migran yang tenggelam di Johor. Hakim di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang hanya menjatuhkan vonis penjara 10 tahun atau setengah dari tuntutan jaksa.
Selain memberi hukuman berat bagi pelaku, Christina menilai pemerintah juga harus menggandeng pemerintah daerah asal pekerja migran tanpa dokumen untuk melakukan sosialisasi cara berangkat bekerja di luar negeri yang aman. Setidaknya ada empat daerah yang warganya banyak menjadi korban perdagangan orang di Batam, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
”Pemerintah di daerah tersebut, sampai level yang terkecil, harus giat memberikan edukasi kepada calon pekerja migran. Jika tidak, calon pekerja migran itu akan dirayu calo untuk berangkat secara nonprosedural,” ujar Christina.