Mencari Damai dalam Hidup Biasa-Biasa Saja
Hidup keren dan luar biasa mulai tak lagi menarik bagi anak muda di China. Lelah dengan ”hidup sempurna”, mereka mulai beralih hidup biasa-biasa saja. Memilih dan mampu bersikap ”cukup” membuat hidup menjadi lebih damai.
Lulus kuliah di salah satu perguruan tinggi top di China pada 2018, Loretta Liu langsung diterima bekerja sebagai desainer virtual di sebuah perusahaan papan atas di Shenzhen, salah satu kota metropolis di China, glamor dan menjadi rumah kelompok super-kaya China. Tiba-tiba, tahun lalu Liu memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tersebut.
”Saya lelah hidup seperti itu dan merasa tak mendapat apa- apa. Tekanan pekerjaan terlalu berat. Saya tidak punya kebebasan berkreasi, sering harus kerja lembur, dan kesehatan mental serta fisik memburuk,” cerita Liu kepada harian The New York Times, 11 April 2023.
Baca juga: Generasi Milenial dan Gen-Z Utamakan Lingkungan Kerja Positif
Kini, ia bekerja sebagai penata rambut di toko dan salon hewan peliharaan, masih di kota yang sama. Gaji yang diterima kecil, hanya seperlima dari gaji di perusahaan sebelumnya. Secara fisik juga lebih melelahkan karena harus berdiri selama berjam-jam dan mengurusi anjing-anjing yang sering tidak mau menurut. Namun, Liu lebih senang menjalani pekerjaan itu.
Pengalaman serupa diceritakan Eunice Wang (25), yang ditawari pekerjaan sebagai konsultan di perusahaan terkenal di Beijing segera setelah menyelesaikan pendidikan masternya tahun lalu. Tanpa pikir panjang, tawaran diterima. Ia merasa bangga dan keren karena bisa menonjol di antara begitu banyak anak muda yang sama-sama bersaing mendapatkan pekerjaan.
Akan tetapi, sama seperti Liu, ia memilih berhenti, lalu bekerja di kedai kopi di kampung halamannya, Shenyang. Gajinya juga kecil dan ia harus kembali tinggal bersama kedua orangtuanya. Ia mendapatkan uang tambahan dengan menjadi ilustrator lepas, hobi yang sempat ia tinggalkan ketika bekerja di Beijing.
”Semua orang pikir, mendapat proyek atau klien itu sesuatu yang luar biasa. Dulu, saya memaksakan diri untuk memercayai hal yang sama. Namun, ternyata kepuasan itu bukan di situ,” ujarnya.
Wang mengaku menemukan kepuasan ketika berteman dengan seorang pelanggan atau dipuji karena sudah membuat kopi susu yang enak. Itu saja sudah cukup baginya. ”Saya tidak membutuhkan orang lain untuk memberi tahu saya apa yang baik buat saya dan apa yang akan terjadi di masa depan saya,” ujarnya.
Sila baca buku ini: Psikologi Positif
Liu dan Wang adalah bagian dari tren yang sedang terjadi di China. Anak-anak muda yang bekerja di perusahaan keren nan prestisius, tetapi bertekanan tinggi kini banyak yang memilih pindah menjadi tenaga kerja kasar. Di media sosial banyak unggahan yang menceritakan pengalaman anak-anak muda ”pindah haluan” ini.
Ada yang dulu bekerja di perusahaan teknologi mentereng, lalu memilih menjadi kasir toko bahan makanan, ada pula seorang akuntan yang menjajakan sosis di jalanan, seorang manajer konten yang menjadi kurir mengantar makanan. Di Xiaohongshu, aplikasi yang mirip Instagram, ada unggahan-unggahan bertagar ”Pengalaman pertama saya dengan pekerjaan fisik” yang sudah ditonton lebih dari 28 juta kali.
Baca juga: Hidup Dikendalikan Algoritma
Mereka menggambarkan kegembiraan bekerja dengan jam kerja yang bisa diprediksi dan suasana kerja yang kurang kompetitif. Banyak yang mengaku mereka mencari pekerjaan fisik yang ringan dan bukan pekerjaan kasar, seperti pada sektor konstruksi atau pabrik.
Tren ini menghidupkan lagi perdebatan mengenai seruan untuk berhenti bekerja dan menikmati hidup yang dijuluki ”lying flat” atau berbaring tak melakukan apa-apa. Kelompok pengkritik menilai mereka yang memilih berbaring saja sudah menyia-nyiakan investasi orangtua mereka dan mengabaikan kerja keras membantu membangun China menjadi kuat seperti sekarang.
Sebaliknya, bagi kelompok pendukung, mereka menyalahkan sistem nilai di masyarakat yang memprioritaskan pentingnya memiliki hidup yang ”sempurna dan bahagia” yang bisa diperoleh, antara lain, melalui sekolah terbaik dan bekerja di perusahaan terbaik.
Tren yang terjadi pada anak muda di China itu juga terjadi pada anak muda seluruh dunia. Tekanan untuk menonjol dan hidup sempurna atau lebih baik ketimbang orang lain menjadi salah satu penyebabnya. Dan, tekanan itu datang antara lain dari media sosial.
Terkadang kita tidak benar-benar menginginkan bekerja di perusahaan A, atau memiliki tubuh atau wajah cakep seperti A, bisa jalan-jalan ke mana-mana, bisa punya ini itu seperti A. Namun, karena mereka yang memiliki itu semua mendapatkan perhatian lebih di media sosial, seperti Instagram, Tiktok, atau bahkan di kehidupan nyata, maka seseorang lantas merasa juga perlu untuk memilikinya.
Tekanan seperti ini lebih banyak membebani anak muda. Akibatnya, mereka menjadi lebih sibuk menginginkan dan menggapai sesuatu yang dianggap keren oleh masyarakat.
Jebakan perfeksionisme
Josh Cohen, psikoanalis dan Guru Besar Teori Sastra Modern di Goldsmiths, University of London, menilai fenomena itu terjadi karena adanya ”jebakan perfeksionisme”. Dalam tulisannya di majalah The Economist, 10 Agustus 2021, Cohen menyebutkan ada fantasi perfeksionis yang dikembangkan seperti hidup sempurna. Gambarannya berupa pernikahan sempurna, rumah mewah, dan tempat berlibur menakjubkan yang senantiasa muncul di papan iklan, layar TV, dan platform media sosial. Di sisi lain, gambaran itu bisa memicu perasaan iri dan tidak mampu dari publik.
Dua psikolog Inggris, Thomas Curran dan Andrew Hill, menilai, peningkatan keinginan dan ambisi generasi muda untuk memiliki hidup sempurna itu bisa menjadi parameter sosial dan ekonomi yang semakin menuntut. Anak muda lalu menjadi perfeksionis dan tak mau menjadi ”orang yang biasa-biasa saja” atau mampu bersikap ”cukup”. Kecenderungan itu diduga juga dipengaruhi oleh sikap orangtua yang mengontrol dan khawatir anaknya hidup biasa-biasa saja.
Menurut Cohen, kecenderungan orang untuk menjadi perfeksionis sebenarnya mulai mengendur ketika pandemi Covid-19. Hampir semua institusi dan bisnis harus beradaptasi dengan konsep bekerja dari jarak jauh atau di luar kantor.
Baca juga: Generasi Z dan Y Dominasi Media Daring
Kalibrasi ulang
Kebiasaan yang berubah membuat orang mulai mengalibrasi ulang prioritas hidup mereka. Orang mulai menikmati kesenangan sederhana, seperti memasak di rumah, berkebun, membaca buku, jalan-jalan pada pagi hari, dan mengobrol dengan keluarga.
Pikiran menjadi lebih terbuka pada semua hal dalam hidup yang terlewatkan. Sayangnya, ini semua memudar setelah tak ada lagi pandemi dan kehidupan kembali berjalan normal. Tuntutan menjadi perfeksionis muncul lagi.
Filsuf dari Amerika Serikat, Michael Sandel, dalam bukunya The Tyranny of Merit yang diterbitkan pada 2020, berpendapat, kapitalisme meritokratis menciptakan persaingan permanen dalam masyarakat dan merusak solidaritas serta gagasan tentang ”kebaikan bersama”.
Sistem ini mempertahankan posisi pemenang dan pecundang hingga membuat pemenang angkuh dan pecundang semakin rendah harga dirinya. Dalam budaya seperti itu, anak muda cenderung tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan tidak bisa menerima dirinya apa adanya. Media sosial menambah tekanan untuk membangun citra publik yang sempurna dan memperparah perasaan tidak mampu.
Penulis buku An Ordinary Age: Finding Your Way in a World That Expecting Exceptional, Rainesford Stauffer, mendorong anak muda untuk memikirkan kembali definisi mereka tentang arti ”cukup” dan hidup ”biasa” saja. Hidup cukup dan biasa itu membuat orang merasa puas dan nyaman dengan apa yang sudah dimiliki dan merasa cukup dengan diri sendiri.
Tantangan
Akan tetapi, ini tidak mudah apalagi karena masyarakat hidup di dunia yang semakin individualis dan penuh persaingan sehingga setiap orang mengalami tekanan untuk menjadi lebih baik dari siapa pun. Ini yang akan menghancurkan kesehatan mental generasi milenial yang kerap dianggap sebagai generasi ”pengejar prestasi” yang terlalu peduli dengan nilai dan lebih sering membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial.
Baca juga: Hidup Lebih Santai Jadi Pilihan Sebagian Anak Muda di China
Siapa pun yang sering berselancar di media sosial paham betul bahwa platform itu penuh dengan foto dan cerita orang-orang yang mengidealkan kesempurnaan dan keindahan. ”Dalam budaya di mana pengoptimalan diri menjadi utama, anak muda didorong untuk terus memperbaiki diri mereka sendiri dan mengorbankan upaya mereka untuk mengenali diri dan menjadi diri mereka sendiri,” tulis Stauffer.