Keputusan yang kita ambil tak bisa dilepaskan dari aktivitas sehari-hari yang melebur dengan medsos. Keputusan penting dibuat tidak berdasarkan data itu sendiri, tetapi berdasarkan data yang dianalisis secara algoritmik.
Oleh
DINDA LISNA AMILIA
·4 menit baca
”Apa yang saya lihat di beranda media sosial saya jelas berbeda dengan yang Anda lihat di media sosial Anda. Sebab, algoritma kita bisa dipastikan berbeda”.
Kalimat itu sering saya ulangi di kelas-kelas saya. Sengaja saya pancing reaksi mahasiswa. Kira-kira sejauh mana mereka memahami kalimat itu? Reaksinya bervariasi. Namun, yang paling penting, saya mengharapkan mereka memiliki ”kesadaran” terhadap dunia medsos. Kesadaran bahwa seharusnya realitas medsos dan realitas yang sesungguhnya adalah tidak berbeda.
Jangan sampai realitas dalam keduanya kontras atau bahkan terbalik hingga kita tak bisa membedakan mana yang dunia sungguhan, dan mana realitas yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan medsos.
Sosiolog Jean Baudrillard menyebut realitas yang diciptakan sebagai ”simulakra”, yang berarti sebuah kondisi yang kabur atau sebenarnya tak pernah ada. Seseorang yang ingin terlihat sesuai dengan keinginannya di medsos, ingin teman-teman di dunia maya melihat sesuai apa yang dicitrakannya, walau dalam dunia aslinya tidak seperti itu.
Lantas, apa yang membuat kita memutuskan mau dilihat seperti apa lewat medsos? Disadari atau tidak, keputusan yang kita ambil tak bisa dilepaskan dari aktivitas sehari-hari yang melebur dengan medsos. Dampak dari teknologi tak terjadi di tataran opini atau konsep, tetapi mengubah rasio berpikir atau pola-pola persepsi secara terus-menerus tanpa ada perlawanan apa pun (McLuhan, 1964). Dunia maya seolah hadir di bawah alam sadar dan memengaruhi persepsi kita dalam kegiatan sehari-hari.
Dunia maya seolah hadir di bawah alam sadar dan memengaruhi persepsi kita dalam kegiatan sehari-hari.
Keputusan penting dibuat bukan berdasarkan data itu sendiri, melainkan berdasarkan data yang dianalisis secara algoritmik. Di sini, kita melihat peran algoritma, sebagai bagian pengambilan keputusan (Pasquale, 2015). Dari 2010 menuju 2020, kita menyadari kuatnya peran data yang didokumentasikan.
Jika sepuluh tahun lalu masih mustahil menemukan identitas orang yang ingin kita ketahui lewat internet, hari ini algoritma membantu kita menemukannya dengan mudah. Preferensi kita dalam mesin telusur web akan memberikan alternatif beranda semua platform medsos yang kita gunakan. Kekuatan algoritma ini adalah kemampuannya untuk menemukan jarum di tumpukan jerami. Kekuatan ini terletak pada kemampuan memilah dan memprioritaskan media yang kita jumpai (MacCormick, 2012).
Lantas pernahkah kita merefleksikan, sejauh mana algoritma memegang kendali dalam kehidupan kita sehari-hari? Kembali pada pertimbangan keputusan dalam kegiatan kita sehari-hari. Sesimpel ketika kita melibatkan informasi yang kita dapat dari mesin telusur web, bisa dipastikan algoritmalah yang memegang peranan itu.
Algoritma memprioritaskan hal yang ingin kita lihat, apa yang kita ketahui, siapa yang kita kenal, apa yang kita butuhkan, apa yang kita alami. Kekuatan algoritma adalah kemampuannya membuat pilihan, mengklasifikasikan, mengurutkan, dan memberi peringkat. Artinya, untuk memutuskan apa yang penting dan memutuskan apa yang paling terlihat (Bir, 2017).
Untuk memahami kekuatan penyortiran algoritma, misalnya, kita perlu memahami hubungan dan ketergantungan pihak yang memfasilitasi proses algoritma itu, karena algoritma tidaklah sempurna. Algoritma adalah hasil kecerdasan buatan dan sering kali mengandung bias dari pihak platform yang membuatnya. Algoritma juga mesin, yang tidak mampu memberi kita konteks akan kondisi dan suasana.
Jangan skeptis
Namun, bukan berarti kita harus skeptis sepenuhnya pada algoritma. Diakui atau tidak, algoritma juga mempermudah hidup kita. Platform untuk bersilaturahmi dengan teman lama, teman baru, mencari tambahan penghasilan, GPS, dan banyak manfaat lain yang kita dapatkan. Lagi pula, algoritma hadir bukan untuk menyelesaikan semua masalah umat manusia. Jika semua mampu diselesaikan algoritma, lantas apa fungsi akal manusia di muka Bumi ini?
Oleh karena itu, kita tak bisa menelan mentah-mentah apa yang diberikan algoritma pada kehidupan kita sehari-hari. Cara paling mudah adalah dengan tidak menjadikan hasil pencarian telusur web sebagai pertimbangan utama dalam keputusan penting atau remeh sekaligus.
Sebenarnya, kita bisa melakukan verifikasi pada unpopular source alias sumber yang kurang populer. Bukan sumber mainstream yang menduduki peringkat atas mesin telusur web setelah kita ketikkan kata kunci yang ingin kita ketahui. Tak perlu mengkhawatirkan kredibilitas sumber itu karena kredibilitas adalah bebas nilai. Paling tidak, sumber itu bisa memberikan referensi sudut pandang yang kurang dominan alias minoritas. Pengayaan perspektif sangat dibutuhkan di dunia yang dilanda post truth seperti sekarang.
Dengan begitu, kita sebagai manusia bisa memahami algoritma tak hanya sebagai barisan kode, tetapi juga bagian dari kesadaran sosial sebagai konsep atau istilah yang sering digunakan untuk mewakili kekuatan sosial kelompok pemilik platform. Lebih tepatnya bagaimana gagasan tentang algoritma suatu platform bergerak, bagaimana algoritma dibingkai oleh agenda platform mereka sendiri, bagaimana algoritma membantu membentuk wacana yang ingin dibentuk oleh suatu platform.
Algoritma adalah hasil kecerdasan buatan dan sering kali mengandung bias dari pihak platform yang membuatnya.
Jadi, tak heran jika kita menemukan orang-orang yang tak hidup dalam platform medsos mana pun. Orang-orang seperti itu tak mau preferensinya diketahui oleh mesin yang lalu memberikan exposure gelembung virtual yang tak berkesudahan. Orang-orang seperti itu bukan menolak teknologi. Mereka tak ingin hidup dalam situasi yang digambarkan Baudrillard sebagai simulakra, yang kini bahkan berubah menjadi imajinasi kolektif masyarakat kita atas kondisi yang sebenarnya tidak pernah ada.
Dinda Lisna Amilia,Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.