Hidup Lebih Santai Jadi Pilihan Sebagian Anak Muda di China
Munculnya gaya hidup santai di kalangan muda di China dinilai ”menggerogoti” semangat bangsa itu untuk maju. Akan tetapi, fenomena tersebut menunjukkan adanya cara pandang baru dalam diri angkatan muda di China.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Bekerja keras tanpa henti demi meraih kesuksesan di dunia modern kini tak lagi menjadi impian atau ambisi anak-anak muda di China. Lelah dengan segala macam realita kehidupan di kota yang tak seindah harapan, anak-anak muda China kini malah memilih untuk hidup lebih santai dan apa adanya. Mereka sudah tak mau lagi bekerja keras karena gaji atau upah yang didapatkan pun tak setimpal. Mereka tak mau lagi bersaing ketat hanya demi memperoleh ketenaran dan kekayaan.
Perubahan sikap pada anak-anak muda di China yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial ini dikenal dengan istilah tang ping atau lying flat atau bisa diartikan dengan prinsip hidup lebih santai dan tanpa harapan muluk-muluk. Mereka merasa tak lagi bisa memenuhi harapan akan hidup yang sukses, antara lain, karena biaya hidup di perkotaan yang semakin tinggi. Mereka lalu memilih untuk bekerja seadanya saja. Semangat ini jauh berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Prinsip baru ini menarik perhatian anak-anak muda di China karena banyak anak muda yang merasa semakin sulit mendapatkan pekerjaan karena kompetisi yang tinggi. Setelah mendapatkan pekerjaan, mereka harus bekerja sangat keras hanya agar bisa membayar uang sewa rumah atau apartemen yang di perkotaan harganya bisa setinggi selangit.
Setelah bekerja selama empat bulan, Wang (24) akhirnya memilih untuk hidup lebih santai setelah mendapat kabar ada teman kuliahnya yang beruntung menjadi penerus bisnis keluarga. Sementara ia harus berjuang keras bersaing dengan ribuan pelamar demi mendapatkan pekerjaan sebagai teknisi laboratorium. ”Saya sudah lelah dan hanya ingin hidup yang lebih santai. Tetapi, ini tidak berarti saya diam saja menunggu untuk mati. Saya tetap masih bekerja, tetapi tidak terlalu keras,” ujarnya.
Prinsip hidup lebih santai ini viral di media sosial dan beredar dalam beragam meme. Awalnya, lying flat itu muncul pertama kali dari unggahan seseorang tanpa nama di forum China Tieba. Namun, kini unggahan itu sudah dihapus. Perdebatan pro dan kontra mengenai makna prinsip itu menarik perhatian ratusan juta orang di aplikasi Weibo.
Bagi Lin (24), pegawai HRD di sebuah perusahaan, wajar saja jika banyak anak muda yang setuju dengan prinsip hidup itu karena semakin banyak anak muda yang merasa tak bisa lagi hidup sukses. Kesuksesan hidup selama ini diartikan dengan kemampuan membeli mobil, apartemen, menikah, dan memiliki anak. ”Jadi, mereka mulai menurunkan harapan dan tujuan hidup serta menahan semua keinginan mereka,” ujarnya.
Pekerja lepas Lucy Lu (47) menganggap prinsip hidup itu lebih masuk akal karena anak muda jadi memiliki tujuan dan harapan yang lebih mudah digapai serta tidak lagi bermimpi atau berambisi menggapai yang tak pasti. ”Bukankah lebih menyenangkan jika kita bisa memenuhi kebutuhan hidup yang mendasar saja dan orang bisa hidup lebih santai,” ujarnya.
Berubah
Prinsip hidup yang baru ini berubah total dari prinsip bekerja keras tanpa henti yang selama ini dipegang. Sekeras apa pun mereka bekerja dan dengan gaji sampai 1.000 dollar AS per bulan untuk lulusan baru pun, hidup di perkotaan terasa semakin sulit. Untuk sewa apartemen di kota saja, setidaknya mereka harus merogoh kocek hingga minimal 500 dollar AS per bulan.
Perasaan atau ekspresi ”kalah” seperti ini dikenal dengan istilah ”Sang” yang pernah umum digunakan remaja pada era 1990-an. Ini merupakan subkultur yang mencela diri sendiri. Perasaan ”kalah” ini muncul lagi di kalangan milenial yang, kata akademisi di Universitas Nottingham Ningbo, China, K Cohen Tan, semakin sadar bahwa mereka sulit meraih hidup sukses sesuai dengan standar masyarakat.
Tan menilai perasaan kalah dan tidak puas dengan hidup yang melanda anak muda perkotaan China ini terkait dengan upaya pencarian nilai dalam hidup yang selama ini dipegang rakyat China. Prinsip lying flat anak-anak muda China ini bertentangan dengan masyarakat China pada umumnya yang terpengaruh dengan retorika Presiden Xi Jinping yang kerap menyebarkan ”mantra” rakyat harus menyingsingkan lengan baju dan bekerja keras.
Mantra kerja keras ini yang selama ini dipegang generasi-generasi sebelumnya yang sudah pernah mengalami masa-masa sulit China, seperti kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan yang ekstrem. Mereka harus bekerja keras demi keluar dari segala kesulitan hidup. ”Prinsip hidup santai ini sikap yang sangat tidak bertanggung jawab yang tidak hanya mengecewakan orang tua, tetapi juga jutaan rakyat pembayar pajak,” kata Guru Besar di Universitas Tsinghua, Li Fengliang.
Fengliang meyakini anak-anak muda China masih bisa menggapai impian hidup sukses lewat bersaing dengan orang lain. Ada sebuah rekaman video yang beredar luas di China yang menunjukkan pembaca acara, Bai Yansong, membenarkan sikap anak muda yang hanya menginginkan harga rumah atau apartemen yang murah, memiliki pekerjaan apa saja, dan tidak stres sama sekali. ”Kenapa tidak?” ujarnya.
Kantor berita China, Xinhua, mengkritik dan membalas budaya atau prinsip lying flat itu dengan menyiarkan rekaman video yang menunjukkan seorang ilmuwan yang sedang bekerja selama 12 jam dan dibubuhi pesan ”ilmuwan berusia 86 tahun menolak hidup santai”.
Tanpa semangat
Sikap anak-anak muda ini, menurut harian China Daily, Selasa lalu, menunjukkan anak-anak muda zaman sekarang memiliki pandangan dan pendekatan yang berbeda tentang hidup. Sikap seperti ini mengkhawatirkan karena China akan bisa menjadi negara dengan masyarakat yang tak lagi memiliki keinginan untuk maju. Ini yang terjadi di Jepang ketika banyak anak muda mulai kehilangan semangat untuk maju. Ini mengancam perekonomian negara.
Untuk mendorong anak-anak muda kembali bersemangat, Pemerintah China selama beberapa tahun terakhir berusaha menekan harga rumah dan menyediakan perumahan dengan harga sewa murah bagi anak muda. Definisi hidup sukses juga barangkali, sebut harian itu, harus diubah dengan tak lagi menggunakan uang dan reputasi sebagai patokan kesuksesan. (AFP/LUK)