Mengenal Traktat Pengendali Senjata Nuklir
Telah disadari sejak awal, penemuan senjata nuklir bakal menimbulkan bahaya sangat besar bagi dunia. Dibuatlah traktat-traktat untuk mengendalikannya. Namun, semua itu hanya seperangkat perjanjian yang bisa ditinggalkan.

Foto tanggal 15 September 2021 yang dirilis Pemerintah Korea Utara ini memperlihatkan uji coba rudal yang diluncurkan dari sebuah kereta di lokasi yang tidak disebutkan di Korea Utara.
Sejak awal penemuan senjata atom/nuklir, sebenarnya manusia sudah menyadari betapa berbahayanya senjata yang digolongkan sebagai senjata pemusnah massal ini. Namun, selain ada yang antisenjata nuklir, ada juga kalangan yang mendukungnya. Bahkan, ada yang berpandangan bahwa perdamaian yang dinikmati dunia, dalam arti tidak lagi terjadi perang besar di antara kuasa-kuasa besar di dunia semenjak Perang Dunia II itu, karena adanya senjata nuklir.
Kuasa-kuasa besar dunia tidak berani berkonfrontasi langsung karena mengetahui bahwa di pihak lawan ada senjata nuklir yang jika digunakan kedua pihak bisa sama-sama hancur. Inilah yang disebut dengan paham MAD (mutually assured destruction).
Baca juga: Manusia Menciptakan Kiamatnya Sendiri
Pendukung senjata nuklir juga mengakui, benar ada perdamaian walaupun perdamaian tersebut berdiri di atas keseimbangan teror. Pendukung senjata nuklir punya keyakinan bahwa deterens (penggentaran) nuklir akan bekerja di saat krisis. Nuklir juga membuat kita/dunia aman, lalu tak ada alternatif (di luar senjata nuklir untuk mengawal dunia). Namun, tiga hal tersebut menjadi bagian dari mitos (Ward Wilson, Five Myths About Nuclear Weapons, 2013).
Kekhawatiran proliferasi
AS sebagai negara pertama di dunia yang berhasil mengembangkan senjata atom segera menyadari betapa berbahayanya jika senjata ini lalu dimiliki oleh negara-negara lain, selain tentu saja ia ingin memonopoli kepemilikan senjata itu. Pada Juni 1946 di depan satu komite PBB, AS mengajukan sebuah proposal yang kemudian dikenal sebagai Rencana Baru yang dimaksudkan untuk mengendalikan daya atom di dunia.
Tentu saja, Uni Soviet tidak mau terima. Di antara alasannya adalah dengan itu AS akan menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pemilik dan melarang Uni Soviet untuk mengembangkan senjata serupa, yang akhirnya bisa dicapai pada Juli 1949. Semenjak itulah lomba senjata atom dimulai (The World Since 1945, Wayne C McWilliams & Harry Piotrowski, 1990).

Dalam perkembangan selanjutnya, selain AS berhasil membuat senjata pemusnah massal jenis lain, yakni senjata nuklir (yang didasarkan pada penggabungan inti atom hidrogen pada tahun 1952, disusul oleh Uni Soviet pada Agustus 1953), kuasa besar Eropa pun menyusul, yaitu Inggris tahun 1952, Perancis tahun 1960, dan China tahun 1964. Di luar negara pemegang hak veto PBB lalu muncul India (1974), Pakistan (1998), dan Korea Utara (2006). Israel, meski tak pernah mengonfirmasi kepemilikan senjata nuklir, diyakini punya sekitar 200 senjata nuklir lewat program sejak sekitar 1966.
NPT
Meski laju penyebarluasan senjata nuklir tidak secepat seperti yang dikhawatirkan AS, penyebarluasan atau proliferasi lalu menjadi hal yang mencemaskan. Para elite nuklir pun berusaha agar senjata nuklir tidak menyebar. Upaya ini mewujud dengan lahirnya Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons) atau yang lebih populer dengan sebutan NPT (Non-Proliferation Treaty) pada tahun 1968 dan mulai berlaku 1970. Selain tujuan utamanya adalah untuk mencegah penyebarluasan senjata dan teknologi senjata nuklir, traktat ini juga diniatkan untuk mencapai pelucutan senjata nuklir, dan yang tidak kalah pentingnya adalah memajukan pemanfaatan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Baca juga: Derita Tiada Akhir Korban Nuklir
Pada 11 Mei 1995, traktat ini diperpanjang hingga waktu tak terbatas dan ditandatangani oleh 191 negara, termasuk kelima negara nuklir anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Banyaknya negara yang meratifikasi traktat ini menandakan traktat itu dinilai sangat penting. Guna menjamin negara peserta NPT disiplin mematuhi tujuan NPT, traktat mendirikan sistem pengaman di bawah tanggung jawab Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Badan inilah yang melakukan inspeksi terhadap negara anggota NPT (un.org.disarmament; us.gov/nuclear non proliferation).
SALT
Traktat lain yang penting ada dua dan menyangkut pembatasan senjata nuklir jarak jauh (antarbenua) milik negara adidaya AS dan Uni Soviet. Persetujuan pertama dikenal sebagai SALT 1 yang ditandatangani tahun 1972, dan yang kedua tahun 1979. Ide untuk SALT digagas pertama kali oleh Presiden AS Lyndon B Johnson tahun 1967 lalu disepakati oleh kedua adidaya pada musim panas tahun 1968 dan perundingan pun dimulai tahun 1969.
Traktat ABM
Terkait dengan SALT 1, yang paling penting adalah Traktat Anti-Rudal Balistik (Anti-Ballistic Missile/ABM). Kedua traktat ini ditandatangani Presiden AS Richard Nixon dan Sekjen Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) Leonid Brezhnev pada 26 Mei 1972 dalam satu pertemuan puncak di Moskwa (Ensklopedia Britannica).
Traktat ABM mengatur rudal antibalistik yang dinilai mampu digunakan untuk menghancurkan rudal antarbenua (ICBM) yang diluncurkan oleh adidaya lain. Traktat membatasi setiap pihak hanya bisa menggelar satu kawasan luncur ABM dengan 100 rudal penyergap.
Baca juga: Peluncur Nuklir Semakin Kecil, Akurat, dan Berbahaya
Pembatasan ini dimaksudkan untuk mencegah masing-masing menggelar sistem ABM di kawasan luas sehingga kedua pihak masih terpapar pada efek deterens kekuatan strategis pihak lain. Kesepakatan sementara ini membatasi jumlah ICBM dan SLBM (rudal balistik pangkal kapal selam) pada level saat itu selama lima tahun, menunggu negosiasi lebih detail di SALT II.
SALT II
Perundingan SALT II yang dimulai tahun 1972 berlangsung selama tujuh tahun. Dalam prosesnya, ada kesulitan karena adanya asimetri di antara kekuatan strategis kedua negara. Uni Soviet banyak bertumpu pada rudal berhulu ledak besar, sedangkan AS berkonsentrasi pada rudal lebih kecil tetapi dengan akurasi lebih tinggi.
Pada akhirnya, Traktat SALT II menetapkan batas jumlah peluncur strategis, yaitu rudal yang dilengkapi dengan multiple independently targetable reentry vehicle (MIRV). Selain ICBM dengan MIRV, SLBM dengan MIRV, pengebom jarak jauh, dan jumlah total peluncur strategis ialah pada angka 2.400 untuk pihak masing-masing.

Rudal balistik Rusia, RS-24, diperlihatkan dalam parade militer pada perayaan Hari Kemenangan di Lapangan Merah, Moskwa, Rusia, 24 Juni 2020.
Traktat SALT II ditandatangani Presiden AS Jimmy Carter dan Sekjen PKUS Brezhnev di Vienna, 18 Juni 1979. Traktat lalu disampaikan kepada Senat AS untuk diratifikasi. Namun, hubungan kedua negara memburuk, terutama karena Uni Soviet menyerbu Afghanistan. Meski tak diratifikasi Senat AS, traktat ini pada tahun-tahun berikut ditaati kedua negara.
START I (1991) dan START II (1993)
Berkat perundingan SALT I dan II, Presiden Ronald Reagan yang saat itu memimpin AS sudah memiliki cukup bahan untuk melangkah ke perundingan selanjutnya. Jika SALT I menghasilkan Traktat ABM dan kerangka untuk mengurangi batas sistem peluncur rudal nuklir, SALT II menghasilkan traktat yang membatasi sistem peluncur yang, meskipun ditandatangani, tidak diratifikasi.
Namun, meski ada kesulitan, kedua adidaya selain mematuhi kesepakatan SALT II juga berkeinginan untuk melangkah ke perundingan lebih lanjut. Pada akhir 1981, Presiden Reagan mengusulkan perundingan diberi nama Strategic Arms Reduction Talks agar fokus diarahkan pada pengurangan secara tajam pada senjata yang ada saat itu, tidak sebatas menetapkan batas bagi penggelaran di masa depan. Saat itu juga Reagan mengusulkan negosiasi bilateral untuk menghapus senjata nuklir jarak menengah (akan dibahas terpisah).
Baca juga: Senjata Nuklir yang Mengancam Sewaktu-waktu
Proposal awal yang diajukan pemerintahan Reagan ke Uni Soviet adalah pemangkasan 50 persen senjata strategis total. Meski sadar usulan tersebut kemungkinan besar akan ditolak Moskwa, saat itu beredar luas gerakan untuk membekukan senjata nuklir, sebagian karena terbitnya studi ilmiah adanya efek ”musim dingin nuklir”. Kajian ini menyebutkan bahwa penggunaan senjata nuklir akan efektif untuk menghancurkan kemampuan bumi dalam menopang kehidupan manusia.

Presiden AS Ronald Reagan (kanan), didampingi Penasihat Keamanan Nasional Colin Powell, meninggalkan Gedung Putih di Washington DC, AS, 16 Desember 1988.
Dengan alasan itu, usulan pemangkasan tajam akan mengalihkan kritik aktivis antinuklir. Moskwa yang tidak setuju dengan proposal tersebut meninggalkan perundingan tahun 1983. Naiknya Mikhail Gorbachev ke pucuk pimpinan Uni Soviet tahun 1985 memunculkan perubahan karena ia berkeinginan mempertimbangkan usulan Reagan yang disampaikan pada KTT di Reykjavik tahun 1986. Gorbachev melihat ekonomi negaranya tak akan kuat untuk mendukung lomba senjata nuklir yang sangat mahal.
Namun, ada ganjalan lain yang menghalangi lahirnya kesepakatan, yaitu adanya prakarsa Presiden Reagan yang dikenal sebagai Perang Bintang atau Strategic Defense Initiative (SDI). Untunglah hal ini bisa diatasi, antara lain, dengan komitmen untuk taat pada Traktat ABM.
Akhirnya START I bisa ditandatangani Presiden HW Bush dan Mikhail Gorbachev di Moskwa tahun 1991. Traktat itu menuntut agar kedua pihak memangkas jumlah total hulu ledak dan bom dengan sepertiganya.
Baca juga: Ketidakpastian Membayangi Pengendalian Senjata Nuklir
START II ditandatangani oleh Presiden Bush dan Presiden Boris Yeltsin tahun 1993. Perjanjian ini meminta pemangkasan lebih jauh senjata strategis, dengan membatasi setiap negara hanya memiliki 3.000-3.500 senjata strategis. AS meratifikasi START II tahun 1996 dan Rusia tahun 2000 (2001-2009 state.gov).
Traktat INF
Berpandangan bahwa rudal-rudal yang digelar di Eropa sudah menua, Uni Soviet bermaksud menggantinya dengan rudal SS-20 yang modern. Rudal-rudal yang dimaksud adalah rudal nuklir jarak menengah yang berjangkauan hingga 5.500 kilometer.
AS bersama-sama negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang khawatir segera membalas dengan menggelar rudal balistik Pershing II dan rudal jelajah Tomahawk di sejumlah negara NATO. Hal ini menimbulkan demo antinuklir yang luas dan berkepanjangan.
Baca juga: Narasi Baru Putin Soal Eksistensi Bangsa Rusia Vs Kemampuan Nuklir NATO
Seperti telah disinggung di atas, Presiden Reagan telah menggagas bahwa rudal jarak menengah ini pun harus diselesaikan. Setelah melalui serangkaian perundingan alot, ancaman rudal jarak sedang di Eropa ini berhasil diselesaikan dalam Traktat Washington, yang ditandatangani Presiden Reagan dan Gorbachev pada Desember 1987. Dengan Traktat INF ini, AS dan Uni Soviet harus memusnahkan semua rudal balistik pangkal darat dan rudal jelajah berjangkauan 500-5.500 km.

Presiden AS Ronald Reagan (kanan) dan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev menandatangani Traktat Intermediate-Range Nuclear Forces (INF) di Gedung Putih, Washington DC, 8 Desember 1987.
Traktat INF (Intermediate-Range Nuclear Forces) ini menjadi kesepakatan pertama yang mengharuskan kedua adidaya mengurangi arsenal nuklir, memusnahkan semua senjata nuklir kategori tertentu, dan menegakkan inspeksi di tempat untuk verifikasi.
Hasilnya, AS dan Uni Soviet menghancurkan total 2.692 rudal jarak pendek sedang dan menengah saat tenggat implementasi traktat, 1 Juni 1991.
Namun, dalam perjalanan, kesepakatan ini tidak mulus. Dalam Laporan Kepatuhan, Juli 2014, AS menuduh Rusia melanggar Traktat INF untuk ”tidak memiliki, memproduksi, atau tes terbang rudal jelajah luncur darat yang punya jelajah 500-5.500 km, atau memiliki atau memproduksi peluncur rudal semacam itu”.
Tuduhan ini diulangi dalam laporan-laporan tahun selanjutnya, sampai akhirnya pada Maret 2017 pejabat AS mengonfirmasi laporan pers bahwa Rusia mulai menggelar rudal yang melanggar kepatuhan tersebut. Rusia menyangkal dan menuduh hal sebaliknya.
Baca juga: AS-Rusia Putus Hubungan Informasi soal Pergerakan Rudal dan Nuklir
AS di bawah Presiden Donald Trump pun mengeluarkan berita dimulainya litbang rudal jarak menengah. Pada 20 Oktober 2018, Trump mengumumkan niat untuk ”mengakhiri” Traktat INF, sambil menyebut ketidakpatuhan Rusia dan kekhawatiran akan arsenal rudal jarak menengah China.
Pada 2 Februari 2019, pemerintahan Trump menyatakan penangguhan kewajiban pada Traktat INF dan mengumumkan keinginan untuk menarik diri dari traktat dalam tempo enam bulan. Tak lama kemudian, Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengumumkan bahwa Rusia akan secara resmi menarik diri dari kewajiban atas Traktat INF. AS akhirnya secara resmi mundur dari Traktat INF pada 2 Agustus 2019 (Arms Control Association).
CTBT
Salah satu aktivitas yang mau tidak mau harus dilakukan oleh negara nuklir atau mereka yang berambisi memiliki senjata nuklir adalah melakukan tes peledakan. Banyaknya foto hasil uji senjata nuklir di udara adalah foto yang memperlihatkan adanya awan cendawan yang terbentuk saat pengujian.
Meski dilakukan di tempat terpencil, tak urung, oleh terpaan angin, sisa radiasi masih mencemari sejumlah tempat. Pada tahun 1969, deposit radioaktif masih dijumpai di gandum dan susu di Amerika Utara. Publik pun makin keras bersuara agar uji nuklir dilarang.
Pada Mei 1966, Komisi Perlucutan Senjata PBB mempertemukan AS, Inggris, Kanada, Perancis, dan Uni Soviet untuk memulai perundingan uji senjata nuklir. Namun, perundingan berjalan alot. Dengan segala lika-liku, akhirnya dicapai kesepakatan larangan uji di atmosfer, di angkasa, dan bawah laut. Saat itu Presiden AS John F Kennedy mengatakan, ”Larangan uji terbatas masih lebih aman bagi AS daripada lomba senjata tanpa batas.” Kesepakatan tersebut ditandatangani di Moskwa, 5 Agustus 1963.

Foto yang diambil pada November 1945 oleh tentara AS dan dirilis dari Hiroshima Peace Memorial Museum ini memperlihatkan kerusakan di Hiroshima, tiga bulan setelah bom atom dijatuhkan pengebom B-29, Enola Gay, di kota Hiroshima, Jepang.
Tiga puluh tiga tahun kemudian, persisnya tahun 1996, Majelis Umum PBB mengadopsi Larangan Uji Nuklir Komprehensif (CTBT) yang ditandatangani oleh 71 negara, termasuk oleh mereka yang memiliki senjata nuklir. Traktat ini melarang semua ledakan uji nuklir, termasuk yang dilakukan di bawah tanah (JFK Library).
Traktat amankan dunia?
Uji nuklir memang sudah dilarang oleh Traktat CTBT 1996, tetapi Korea Utara masih melakukan uji nuklir sejak 2006. Pada era teknologi informasi canggih, uji juga bisa dilakukan dengan komputer yang menyimulasikan kondisi aslinya.
Kita juga kecewa bahwa AS dan Rusia sama-sama menarik diri dari Traktat INF. Apakah ketegangan di Eropa akan berulang seperti pada awal tahun 1980-an? Kondisi mencemaskan bertambah ketika sejak 24 Februari 2022 pecah perang Ukraina, yang dalam perkembangan selanjutnya Putin menyinggung kemungkinan penggunaan senjata nuklir.
Baca juga: Putin dan Isu Senjata Nuklir
Di bidang senjata strategis, perundingan New START juga tidak gampang. Rusia menyatakan akan mundur dari perundingan New START yang kedaluwarsa sejak 2021. Keadaan tambah kompleks karena AS ingin melibatkan China dalam perundingan, hal yang ditolak mentah-mentah oleh China.
Kita prihatin bahwa traktat yang sudah ada ditinggalkan, seperti INF, yang sudah habis masa berlakunya tak kunjung dibuat yang baru.