Invasi Rusia atas Ukraina memicu risiko perang nuklir. Dalam beberapa waktu terakhir, risiko itu kian meningkat. Semua pihak diminta menahan diri.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·4 menit baca
NEW YORK, MINGGU Kekhawatiran komunitas internasional pada ancaman penggunaan senjata nuklir kian meningkat. Kekhawatiran itu dipicu langkah Rusia menyebar senjata nuklir taktisnya ke Belarus. Amerika Serikat dan mitra Barat, bahkan China, Sabtu (1/4/2023) WIB, mengecam langkah Rusia tersebut.
”Ini adalah pukulan lebih lanjut terhadap arsitektur kontrol senjata, stabilitas strategis di Eropa, serta perdamaian dan keamanan internasional,” kata Wakil Tetap Perancis untuk PBB Nicolas de Riviere.
”Mari kita perjelas, tidak ada negara lain yang mengangkat prospek penggunaan nuklir dalam konflik ini. Tidak ada yang mengancam kedaulatan Rusia,” ujar Deputi Perwakilan Tetap Inggris untuk PBB James Kariuki.
Pada 25 Maret lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan, Rusia akan menempatkan senjata nuklir taktisnya di Belarus. Rusia akan memulai pelatihan untuk para kru pada 3 April dan menyelesaikan pembangunan fasilitas penyimpanan khusus nuklir taktis di Belarus pada 1 Juli mendatang. Rusia pun membantu memodernisasi 10 pesawat tempur Belarus agar mampu menembakkan senjata nuklir.
Setidaknya ada dua alasan yang mendorong Putin mengambil kebijakan itu. Pertama, keputusan Inggris memberi Ukraina peluru penembus baja yang mengandung depleted uranium. Menurut Putin, peluru itu memicu bahaya tambahan bagi warga sipil dan dapat mencemari lingkungan. Alasan kedua adalah perimbangan kekuatan. Menurut Moskwa, dalam beberapa dekade terakhir AS menempatkan senjata nuklirnya di Belgia, Jerman, Italia, Belanda, dan Turki. Menurut Putin, langkah Rusia itu tidak melanggar perjanjian internasional yang melarang proliferasi senjata nuklir. Moskwa berargumen, Washington yang telah melanggar pakta itu dengan menempatkan senjata nuklirnya di wilayah NATO.
Selain itu, penyebaran senjata nuklir taktis ke Belarus juga memungkinkan Rusia memperluas kemampuannya menargetkan beberapa anggota NATO di Eropa Timur dan Tengah. Sejumlah pihak berpendapat, Moskwa ”mungkin” menggunakan nuklir taktis jika Kyiv merebut kembali wilayah yang saat ini diduduki Rusia.
Dmitry Medvedev, Wakil Kepala Dewan Keamanan Rusia, mengatakan, upaya merebut kembali kendali atas Semenanjung Crimea adalah ancaman terhadap ”keberadaan Rusia”. Ancaman itu, dalam doktrin Rusia, dapat ditanggapi dengan nuklir. ”Setiap hari, saat Barat memasok senjata ke Ukraina, membuat kiamat nuklir semakin dekat,” kata Medvedev.
Perkembangan situasi seperti inilah yang oleh banyak pihak dikhawatirkan meningkatkan risiko penggunaan senjata nuklir taktis. Dalam perdebatan di Dewan Keamanan PBB, China menuntut tidak ada penyebaran senjata nuklir di luar negeri oleh semua negara pemilik senjata nuklir. ”Kami menyerukan penghapusan pengaturan pembagian nuklir dan menganjurkan tidak ada penyebaran senjata nuklir di luar negeri oleh semua negara pemilik senjata nuklir, dan penarikan senjata nuklir yang ditempatkan di luar negeri,” ujar Geng Shuang, Deputi Perwakilan Tetap China untuk PBB.
Perwakilan Tinggi PBB untuk perlucutan senjata, Izumi Nakamitsu, menyerukan agar semua negara menghindari tindakan apa pun yang dapat memicu eskalasi, kesalahan, atau kesalahan perhitungan.
Nuklir taktis
Berbeda dari senjata nuklir strategis yang berdaya hancur masif, senjata nuklir taktis berukuran lebih kecil dan berdaya jangkau kurang dari 500 kilometer. Meski memiliki kekuatan hingga 100 kiloton, daya hancurnya disebutkan relatif terbatas.
AS menduga, Rusia saat ini memiliki sekitar 2.000 senjata nuklir taktis. Dua rudal terbaru Rusia yang mampu menggotong hulu ledak nuklir taktis adalah Iskander dan Kalibr. Sementara itu, AS diperkirakan memiliki sekitar 230 senjata nuklir taktis.
Dikutip Eurasianet, Cynthia Roberts, profesor di Hunter College di New York dan pakar keamanan internasional, mengatakan, agresi Rusia ke Ukraina telah membawa ”prospek perang nuklir kembali ke ranah kemungkinan”.
Charles Glaser, profesor di Universitas The George Washington, mengatakan, berbagai skenario dapat mengakibatkan penggunaan senjata nuklir di Ukraina. Menurut dia, jika Putin merasa Rusia mengalami kemunduran besar, seperti hilangnya Crimea, dia mungkin tergoda untuk menggunakan senjata nuklir taktis sebagai alat tawar-menawar untuk memaksa penyelesaian damai yang mencegah bencana.
Meski demikian, situasi tetap sangat berbahaya. Penggunaan nuklir taktis bisa memicu penggunaan nuklir strategis. Dalam satu simulasi yang dikaji Program Ilmu Pengetahuan dan Keamanan Global Universitas Princeton tahun 2019 bertajuk ”Plan A” disebutkan, jika pecah perang nuklir di Eropa—diawali penggunaan nuklir taktis—pada satu jam pertama setelah bom pertama dijatuhkan, sebanyak 34,1 juta orang akan tewas.
”Risiko perang nuklir telah meningkat secara dramatis dalam dua tahun terakhir karena AS dan Rusia meninggalkan perjanjian pengendalian senjata nuklir, memulai pengembangan senjata nuklir jenis baru, dan memperluas keadaan di mana mereka dapat menggunakan senjata nuklir,” tulis para peneliti Princeton dalam situs resmi.