Dampak serangan bom atom Hiroshima-Nagasaki, kecelakaan PLTN Chernobyl, kebocoran PLTN Fukushima Daiichi, dan perang AS-Irak terhadap warga sipil seharusnya menjadi alasan kuat penggunaan nuklir tak bisa sembarangan.
Oleh
LUKI AULIA
·7 menit baca
AP PHOTO/POOL/STANLEY TROUTMAN
Puing-puing reruntuhan bangunan di Hiroshima, satu bulan setelah pengeboman.
Toshiyuki Mimaki (80) sedang bermain di depan rumahnya ketika ia melihat kilatan cahaya di langit pada 6 Agustus 1945. Pagi itu, pesawat pengebom B-29 milik Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir seberat 15 kiloton di kota Hiroshima dan mengubah hidup Mimaki dan seluruh rakyat Jepang selamanya.
Sekitar 60.000 orang tewas pada hari itu dan bertambah sampai 140.000 orang pada akhir tahun. Sementara di Nagasaki sekitar 74.000 orang tewas. Mimaki yang kala itu berusia 3 tahun masih teringat dibawa lari keluarganya setelah api berkobar di seluruh kota dan udara dipenuhi abu radioaktif. ”Rambut orang-orang terbakar, kulit badan terkelupas, dan mereka teriak-teriak minta air,” kenang Mimaki ketika diwawancarai harian The Guardian, Oktober 2022.
Ingatan mengerikan juga tak akan pernah dilupakan Emiko Okada yang kala itu berusia 8 tahun. Bom Hiroshima menewaskan kakak perempuannya dan empat kerabat lain. Pagi itu kakaknya pamit pergi dan tak pernah kembali. Sampai sekarang tidak ada yang tahu nasibnya karena jasadnya tak pernah ketemu.
Lantaran bom itu meluluhlantakkan seluruh kota yang terbakar selama tiga hari tiga malam, tak ada persediaan makanan sama sekali. Apa pun yang ditemukan di jalan diambil tanpa terpikir apakah itu terkontaminasi atau tidak karena tidak ada yang paham soal radiasi pada waktu itu. ”Rambut saya mulai rontok, gusi berdarah, selalu merasa lelah, dan harus berbaring. Sekitar 12 tahun kemudian, saya didiagnosis menderita anemia aplastik,” cerita Okada kepada BBC, Agustus 2020.
Sampai sekarang Reiko Hada masih sulit menghapus ingatan para korban bom yang berlarian ke mana-mana dalam kondisi telanjang dengan luka bakar parah di seluruh tubuh dan kulit terkelupas. AS menjatuhkan bom kedua di kampung halamannya, Nagasaki, pada pukul 11.02 tanggal 9 Agustus 1945.Hada yang waktu itu 9 tahun baru pulang sekolah. Begitu sampai di depan pintu rumah, tiba-tiba cahaya terang melintas di belakangnya. Warnanya kuning, khaki, jingga lalu berubah jadi putih terang. Beberapa saat kemudian terdengar ledakan keras, lalu Hada pingsan.
Ia dibawa keluarganya ke tempat perlindungan bawah tanah. Mereka selamat karena posisi rumah berada di balik Gunung Konpira. ”Mereka yang luka parah minta air. Saya ambilkan dari sungai terdekat. Setelah minum seteguk air, mereka meninggal. Satu demi satu meninggal. Waktu itu musim panas dan membuat bau mayat menyengat. Semua dijadikan satu dan dikremasi,” kenang Hada.
Mimaki, Okada, dan Hada adalah penyintas bom atom di Jepang atau yang dikenal dengan hibakusha. Mereka berharap dunia tak perlu lagi harus mengalami pengalaman mengerikan seperti itu dengan tidak membiarkan senjata nuklir digunakan selamanya. Agar orang tak lupa, Mimaki dan rekan-rekan hibakusha menyuarakan pesan ini ke mana-mana, bahkan sampai ke markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hibakusha ikut memainkan peran penting dalam mengadvokasi Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir PBB. Sebagai saksi mata langsung dari kengerian senjata nuklir, hibakusha menjadi suara yang kuat dalam gerakan antisenjata nuklir. Pada Juni 2022, sebanyak 66 negara sudah menandatangani dan meratifikasi perjanjian itu setelah diberlakukan pada 2021. Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir ini dirancang melalui inisiatif oleh Kampanye Internasional untuk Menghapus Senjata Nuklir (ICAN), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang memenangi Hadiah Nobel Perdamaian 2017.
Kehancuran
Hampir delapan dekade berlalu, momok perang nuklir Jepang kembali menghantui ketika Rusia gencar menyerang Ukraina. Terlebih ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menyinggung penggunaan senjata nuklir taktis yang akan dipasang di Belarus. Belum lagi Korea Utara yang juga sesumbar akam menyerang AS dengan nuklir.
Terumi Tanaka (89), Ketua Konfederasi Organisasi Penderita Bom Atom dan Bom Jepang serta penyintas bom Nagasaki, mengingatkan, setiap perang yang melibatkan penggunaan senjata nuklir menimbulkan risiko kehancuran umat manusia dan seluruh kehidupan di Bumi. Masyarakat yang dulu tinggal di dekat sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi di kota Okuma, Perfektur Fukushima, Jepang, juga miris dengan pertempuran intensif di sekitar PLTN Zaporizhia, Ukraina.
AP/ KYODO NEWS
Foto udara ini menunjukkan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi di kota Okuma, prefektur Fukushima, utara Tokyo, Jepang, pasca gempa bermagnitudo 7,4, Kamis (17/3/2022).
Setelah gelombang tsunami pada 11 Maret 2011 menerjang Fukushima dan menyebabkan kebocoran reaktor nuklir, sampai sekarang banyak warga belum bisa kembali karena tingkat radiasi masih tinggi. ”Sejak bencana Fukushima, kontaminasi radioaktif di hutan masih tinggi dan tanahnya belum bisa ditanami. Jamur juga belum bisa tumbuh di batang kayu,” kata petani jamur shiitake, Kanichiro Munakata (71).
Nasib nelayan pun belum membaik karena ikan di sekitar wilayah itu berisiko terkontaminasi. Belum lagi ada rencana PLTN Fukushima melepaskan air terkontaminasi dari dalam PLTN. Tempat ini menghasilkan 100.000 liter air terkontaminasi setiap hari. Air ini kombinasi air tanah, air hujan yang merembes, dan air untuk pendinginan reaktor nuklir. Air yang sudah disaring untuk menghilangkan sebagian besar unsur radioaktif itu mencapai 1,32 juta ton atau 96 persen dari kapasitas penyimpanan PLTN Fukushima sehingga harus segera dikeluarkan.
Namun, warga setempat keberatan. Begitu pula dengan negara tetangga, China dan Korea Selatan. Nelayan khawatir pelepasan air itu akan membuat orang tak mau membeli ikan tangkapan mereka. Apalagi pelepasan air itu tidak sekaligus tetapi maksimal 500 ton setiap hari. Setidaknya butuh waktu 30-40 tahun sampai air habis.
Operator PLTN Fukushima, Tokyo Electric Power Company Holdings (TEPCO), memastikan hasil penyaringan akan menghilangkan sebagian besar dari 62 unsur radioaktif di dalam air, termasuk sesium dan stronsium. Namun, tritium atau isotop radioaktif hidrogen masih ada. TEPCO berencana mengencerkan air untuk mengurangi tingkat radioaktif menjadi 1.500 becquerels per liter, jauh di bawah standar keamanan nasional 60.000 becquerels per liter. Badan Energi Atom Internasional menilai itu sudah memenuhi standar internasional dan tidak akan membahayakan lingkungan.
Mantan pejabat urusan luar negeri di Biro Urusan Politik-Militer Departemen Luar Negeri AS, Bennett Ramberg, yang juga penulis buku ”Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir sebagai Senjata untuk Musuh”, di harian Japan Times, 18 Februari 2022, menulis, reaktor nuklir yang bocor menjadi ranjau radiologis. Jika PLTN Zaporizhzhia bocor, Rusia akan menjadi korban dari radioaktif.
Pembangkit listrik selalu menjadi target dalam konflik modern karena menghancurkannya akan menghambat kemampuan suatu negara untuk melanjutkan pertempuran. Hanya, reaktor nuklir tidak seperti sumber energi lain karena mengandung banyak bahan radioaktif. Serangan bisa merusak bangunan penahan reaktor atau memutuskan saluran pendingin penting yang menjaga kestabilan inti reaktornya. Jika bocor, limbah akan mengendap ribuan kilometer jauhnya.
Contohnya kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl, Ukraina, pada 26 April 1986. Bencana nuklir terburuk dalam sejarah ini melepaskan 400 kali lebih banyak bahan radioaktif ketimbang bom atom Hiroshima. Ratusan ribu orang harus diungsikan dan kini Chernobyl bagaikan kota mati. Forum Chernobyl di PBB memperkirakan kecelakaan Chernobyl itu akan menyebabkan 5.000 kematian akibat kanker selama 50 tahun ke depan. Beberapa tahun setelah kecelakaan, ribuan kasus kanker tiroid muncul. Kerugian ekonomi sampai ratusan miliar dollar AS. Jepang juga merugi ratusan miliar dollar AS akibat bencana Fukushima. Padahal insiden itu hanya melepaskan sekitar sepersepuluh dari radiasi Chernobyl. Perang memperbesar risiko ini.
Jangankan bom atom atau senjata nuklir, kontaminasi dari amunisi yang mengandung uranium habis atau depleted uranium (DU) juga membuat rakyat Irak menderita. Akibat serangan AS ke Irak, terutama Fallujah, terjadi peningkatan tajam cacat lahir bawaan, kanker, leukemia pada anak-anak, penyakit ginjal, paru-paru, hati, runtuhnya sistem kekebalan tubuh, keguguran dan kelahiran prematur.
Ketika menyerang Fallujah, AS menggunakan banyak amunisi DU dan fosfor putih. Ahli toksikologi lingkungan AS, Mozghan Savabieasfahani, dalam tulisannya di situs Al Jazeera, 15 Maret 2013, menjelaskan, setelah serangan AS warga tak mau pindah. Karena tetap berada di reruntuhan rumah yang terkontaminasi, mereka terus terpapar kontaminan logam dari bom, peluru, dan alat peledak lain. Logam, terutama timbal, uranium, dan merkuri, digunakan dalam pembuatan amunisi. Ini semua menyebabkan cacat lahir, kelainan imunologi, dan penyakit lainnya.
Mantan Direktur Rumah Sakit Bom Atom Palang Merah Jepang Nagasaki Masao Tomonaga menceritakan banyak penyintas bom Nagasaki yang meninggal dalam 1-2 bulan setelah ledakan karena tidak ada fasilitas perawatan medis apa pun. Bahkan antibiotik pun tak ada karena infrastruktur kesehatan hancur total, termasuk rumah sakit dan apotek.
Dalam hitungan bulan atau tahun, puluhan ribu warga Hiroshima dan Nagasaki kemudian meninggal karena kanker atau penyakit lain akibat paparan radiasi seperti halnya di Irak dan Chernobyl. “Hampir mustahil menyelamatkan mereka yang terluka dan sekarat. Bom nuklir ini senjata perang yang menakutkan dan Putin tidak memahaminya,” ujarnya.