Reformasi Hukum Netanyahu Akibatkan Ketegangan dengan AS
Rencana Pemerintah Israel mengubah sistem hukum dan peradilan telah membuat hubungannya dengan Amerika Serikat renggang. PM Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk kompromi meski pendukungnya tak sejalan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEL AVIV, KAMIS — Reformasi sistem hukum dan peradilan yang didesakkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan beberapa politisi sayap kanan di kabinetnya telah menuai protes keras. Protes datang tidak hanya dari warga Israel, tetapi juga dari sekutu utamanya, Amerika Serikat. Reformasi itu telah menimbulkan ketegangan di antara kedua negara.
Saat protes warga merebak dan perpecahan di kalangan militer semakin kentara serta berujung pada pemecatan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Presiden AS Joe Biden kembali mengeluarkan pernyataan keras terhadap rencana Netanyahu. ”Israel tidak dapat melanjutkan kebijakan ini,” kata Biden, Selasa (28/3/2023).
Biden tidak menyukai rencana Netanyahu untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan Israel. Ia menunjukkannya dalam pernyataan pada Rabu (29/3/2023) yang menyebut untuk sementara pintu Gedung Putih tertutup bagi pemimpin Partai Likud ini.
Sejak memimpin AS, Biden mencoba menghindari episode yang tidak menyenangkan di masa lalu ketika saat menjabat sebagai wakil presiden. Kala itu dia bersitegang dengan Netanyahu di depan publik. Hal yang sama dilakukan oleh para pejabat AS meskipun mereka mengeluarkan pernyataan yang lebih banyak bernada diplomatis dibanding menekan. Pemilihan kata atau topik tidak terlepas dari harapan AS agar para pemimpin politik di Israel mencari konsensus dalam proses reformasi hukum dan tetap melandasinya dengan nilai-nilai demokrasi.
Akan tetapi, tudingan putra Netanyahu, Yair, bahwa AS mendanai protes warga menentang reformasi hukum dan peradilan Israel, membuat sikap AS sedikit bergeser dan mulai menekan. Departemen Luar Negeri AS tidak hanya membantah keras tudingan Yair, tetapi juga balik mengkritik keras sikap koalisi sayap kanan kabinet Netanyahu terkait permukiman warga Yahudi di daerah pendudukan Palestina yang dinilai akan menghapus keberadaan warga Palestina.
Sikap AS yang mulai mengkritik Israel tidak terlepas dari pandangan di internal Partai Demokrat bahwa Israel bergerak lebih jauh ke kanan dalam menjalankan pemerintahannya. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup baru-baru ini menemukan untuk pertama kalinya bahwa lebih banyak Demokrat bersimpati kepada Palestina daripada Israel. Sementara itu, Partai Republik tetap kukuh pro-Israel, sebagian dipimpin oleh orang Kristen evangelis.
Komunitas Yahudi di Dewan Perwakilan Rakyat AS, yang hampir semuanya berasal dari Partai Demokrat, juga menekan Netanyahu. Mereka mengirimkan surat desakan agar Netanyahu menunda proposal reformasi hukum dan sistem peradilan yang dapat merusak demokrasi dan hak-hak sipil Israel.
Perubahan sikap Netanyahu yang memutuskan untuk menunda rencananya untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan disambut dengan kelegaan oleh Biden. ”Mudah-mudahan perdana menteri akan mencoba mencari kompromi yang tulus, tapi itu masih harus dilihat,” kata Biden, Rabu.
Netanyahu membalasnya dengan menyatakan penghargaan terhadap komitmen jangka panjang Biden untuk negaranya. Meski begitu, dia juga menegaskan soal kedaulatan negaranya dalam memutuskan sebuah kebijakan. ”Israel adalah negara berdaulat yang membuat keputusannya atas kehendak rakyatnya dan bukan berdasarkan tekanan dari luar negeri, termasuk dari sahabat,” katanya.
Sadar bahwa hubungan kedua negara saat ini tengah tidak begitu baik, Netanyahu menyatakan hubungan Israel dan AS tidak tergoyahkan. ”Tidak ada yang bisa mengubah itu,” katanya saat berbicara secara virtual dalam Konferensi Demokrasi yang berlangsung di Washington.
Kompromi setengah hati
Seusai memutuskan untuk menangguhkan rencananya, Netanyahu mulai berbicara dengan berbagai pihak, termasuk oposisi untuk mencari jalan tengah. Dia berharap dalam waktu tidak lama lagi kompromi antara dirinya, pendukung agenda reformasi, dan oposisi, bisa terwujud.
Akan tetapi, keputusan penundaan disambut dengan rasa curiga, tidak hanya oleh rakyat Israel, tetapi juga para politisi. ”Kami tidak percaya pada pengumuman penundaan yang dilakukan Netanyahu karena pengalaman masa lalu,” kata aliansi Hadash-Taal, persekutuan partai Arab di Knesset (parlemen Israel).
Kecurigaan juga disampaikan Direktur Institut Demokrasi Israel Yohanan Plesner. Dalam pandangannya, penundaan ini untuk menyusun kembali serangan balik terhadap para penentang Netanyahu dan koalisi partai sayap kanannya. ”Ini adalah gencatan senjata, mungkin untuk menyusun kembali, mengatur ulang, mengarahkan kembali, dan kemudian menyerang—berpotensi—ke depan," kata Plesner kepada wartawan.
Pernyataan Plesner tidak terlepas dari rencana Menteri Kehakiman Yariv Levin dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir untuk tetap mendorong berjalannya reformasi hukum dan sistem peradilan. Kedua politisi sayap kanan ini adalah penyokong utama rencana reformasi itu.
Dikutip dari laman Times of Israel, Levin menyatakan akan tetap melanjutkan upaya untuk meloloskan perombakan sistem hukum dan pengadilan yang telah menjadi kebijakan kabinet Netanyahu. Dalam pesan Whatsapp kepada pendukungnya, Levin berjanji melakukan ”upaya terbaik” untuk memastikan pengesahan undang-undang tersebut pada musim panas nanti. Bahkan, dalam pesan itu dia menyatakan akan mengorganisasi demonstrasi untuk mendukung kebijakan pemerintah. ”Kami akan mengorganisasi demonstrasi di seluruh Israel untuk menunjukkan apa yang diinginkan mayoritas publik,” tulis menteri kehakiman.
Dia menambahkan, para pihak yang menolak reformasi telah melakukan kesalahan terhadap negara dan rakyat. ”Mari berharap mereka yang menyakiti kita dari dalam akan berhenti melakukan itu,” katanya.
Sementara itu, Ben-Gvir tengah mengupayakan agar pemerintah menyetujui kementeriannya bisa mengorganisasi 2.000 orang Garda Nasional yang akan bertanggung jawab kepadanya. Sebuah teks rancangan aturan yang berhasil dilihat oleh Times of Israel menyebut bahwa pasukan Garda Nasional ini akan bertanggung jawab langsung padanya dan bertugas untuk melindungi keamanan warga, menangani kejahatan nasionalis, terorisme, hingga memulihkan pemerintahan jika diperlukan.
Dalam pernyataan, dikutip dari Times of Israel, Ben-Gvir mengatakan, pembentukan pasukan khusus itu adalah kebutuhan kritis bagi Israel. (AP/AFP/Reuters)