Demonstrasi Besar Tolak “Reformasi Hukum” Guncang Israel
Oposisi Israel mengajak seluruh rakyat turun ke jalan menentang reformasi hukum Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Mengubah sistem hukum dan sistem peradilan membuat pemerintah berkuasa atas lembaga yudikatif.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Tel Aviv, Sabtu — Pemimpin Partai Persatuan Nasional Benny Gantz mendorong seluruh rakyat Israel untuk turun ke jalan, tidak peduli afiliasi politiknya. Misinya adalah menolak upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu merombak sistem peradilan dan sistem hukum di negara tersebut. Perombakan sistem peradilan dan sistem hukum dinilai menguntungkan Netanyahu, yang saat ini masih berstatus sebagai terdakwa kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.
“Saya menyerukan kepada seluruh publik Israel, dari kiri ke kanan, untuk datang memprotes demi menjaga demokrasi Israel. Membuat suara Anda didengar saat ini adalah tugas warga negara yang paling penting dan bukan pembangkangan sipil,” kata Gantz, dalam sebuah video yang dirilis Jumat (13/1/2023), dikutip dari laman Times of Israel.
Demonstrasi yang akan berlangsung, Sabtu (14/1/2023), adalah aksi pekan ke dua menentang rencana pemerintahan Netanyahu merombak sistem peradilan dan sistem hukum Israel. Para penentang rencana tersebut khawatir bahwa mengubah sistem peradilan dan sistem hukum akan memperkuat kontrol politik atas lembaga yudisial, termasuk memberi keuntungan pada Netanyahu.
Perubahan hukum dapat membantu Netanyahu, yang diadili karena korupsi, menghindari hukuman, atau bahkan membuat persidangannya hilang sama sekali. Sejak didakwa pada 2019, Netanyahu secara terbuka mencerca sistem peradilan, menyebutnya bias terhadapnya. Dia mengatakan perombakan hukum akan dilakukan secara bertanggung jawab.
Kelompok yang menentang rencana pemerintahan Netanyahu diantaranya adalah Kelompok No Way yang dipimpin Ein Matzaw. Kelompok ini dan beberapa kelompok lainnya terlibat dalam aksi serupa pada tahun 2020. Gerakan kali ini didukung beberapa kelompok lain seperti Gerakan Kibbutz dan Gerakan untuk Pemerintahan yang Berkualitas (The Movement for Quality Government). Sejumlah pemimpin oposisi, seperti mantan Perdana Menteri Yair Lapid juga direncanakan akan hadir.
Gerakan ini juga didukung Wali Kota Tel Aviv Ron Huldai. Tidak hanya menyatakan akan hadir dalam aksi tersebut, Huldai, seperti halnya Gantz, meminta seluruh warga Israel yang peduli dengan negaranya dan karakter demokrasinya, untuk hadir dalam demo nanti.
"Jika ada meriam air, saya akan berdiri di depannya. Memprotes adalah landasan demokrasi,” kata Huldai, kepada stasiun televisi Channel 12.
Sejumlah kritik dilancarkan terhadap rencana Netanyahu dan Menteri Kehakiman Yariv Levin yang akan mengubah sistem peradilan dan sistem hukum Israel. Mereka menilai perubahan itu akan membahayakan hak-hak sipil dan minoritas dasar, hingga sangat membatasi otoritas pengadilan tinggi untuk membatalkan undang-undang dan keputusan pemerintah. Para pendukung perubahan berpendapat bahwa pengadilan telah mengambil kekuasaan yang berlebihan dan mengeluarkan putusan yang bertentangan dengan keinginan para pemilih.
Kritik terbaru dilancarkan langsung oleh Ketua Mahkamah Agung Israel Esther Hayut. Dia menyebut, perubahan yang tengah diusulkan adalah serangan membabi-buta terhadap sistem peradilan.
“Sebentar lagi Israel akan berusia 75 tahun sebagai sebuah negara Yahudi dan demokratis. Sayangya, jika rencana itu dilaksanakan, tahun ke-75 akan dikenang sebagai tahun ketika identitas demokrasi Israel mengalami pukulan yang fatal,” katanya.
Hayut mengatakan, independensi adalah jiwa pengadilan dan tanpa itu, hakim tidak akan mampu menjalankan perannya melayani masyarakat yang membutuhkan keadilan. Apalagi selama ini pengadilan dinilai memainkan peran penting dalam melindungi hak minoritas dan mengimbangi kekuasaan mayoritas di parlemen. Hayut juga mengatakan pengadilan sangat penting untuk memastikan “aturan mayoritas tidak berubah menjadi tirani mayoritas.”
Penentangan tidak hanya disuarakan Hayut. Tujuh mantan jaksa agung, tiga diantaranya dipilih pada masa pemerintahan Netanyahu sebelumnya, mengirim surat protes pada pemerintahan. Mereka menilai perubahan itu merusak sistem hukum negara.
“Kami meminta pemerintah untuk menarik rencana yang diusulkan dan mencegah kerusakan serius pada sistem peradilan dan supremasi hukum,” tulis mereka dalam surat protes tersebut.
Rencana aksi itu sendiri dibayangi kekhawatiran pembubaran paksa oleh polisi Israel. Akan tetapi, Gantz berharap hal itu tidak terjadi. “Saya percaya bahwa polisi Israel akan bertindak dengan benar dan mengizinkan kebebasan untuk berdemonstrasi. Kita semua perlu memperhatikan instruksi [polisi],” kata Gantz.
Perpecahan di Tubuh Militer
Perubahan fundamental tidak hanya coba dilancarkan politisi sayap kanan terhadap sistem peradilan dan sistem hukum Israel, akan tetapi hingga ke militer. Hal itu membuat gerah sejumlah pejabat Pasukan Pertahanan Israel (Israeli Defense Force) .
Kepala Staf IDF Aviv Kovani mengatakan, rencana orang ke dua di Kementerian Pertahanan Israel, Bezalel Smotrich, yang merupakan pemimpin partai Zionisme Agama, merestrukrutisasi otoritas militer, termasuk di wilayah pendudukan Tepi Barat akan menimbulkan kekacauan.
Kohavi mengeluarkan peringatan tegas bahwa upaya pemerintah baru untuk memisahkan sebagian tanggung jawab dari menteri pertahanan ke Smotrich, termasuk wewenang atas urusan sipil di Tepi Barat, akan merusak struktur komando IDF dan menghambat kesiapan tempurnya.
Tidak hanya sekadar memisahkan tanggung jawab di Kemnhan, Smotrich meminta diberi kewenangan yang lebih luas untuk menunjuk sejumlah jenderal IDF yang akan mengoordinir kegiatan pemerintah di wilayah pendudukan, mulai dari masalah pemukiman, administrasi dan sipil.
“Kepala IDF hanya melapor pada satu menteri, yaitu menteri pertahanan,” kata Kohavi.
Dalam wawancar dengan Channel 12, Kohavi mengatakan, pemisahan komando, satu di tangan Menhan Yoav Gallant dan Smotrich dikhawatirkan akan memecah militer Israel dan lebih jauh kesiapan mereka untuk menghadapi kemungkinan konflik terbuka.
“IDF bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di Yudea dan Samaria, dan itulah yang harus dipertahankan. Tidak mungkin ada dua otoritas di sana,” kata Kohavi, menggunakan nama-nama yang diambil dari kitab suci bangsa Yahudi untuk menyebut Tepi Barat. Dia menambahkan angkatan bersenjata tidak bisa membiarkan hal itu terwujud.
“Kami tidak dapat membiarkan ada dua pasukan, dengan prosedur atau konsepsi yang berbeda,” katanya. Kritik Kohavi ditanggapi Smotrich dengan sinis. Dia menuding kritik itu menjadi batu loncatan Kohavi untuk terjun ke dunia politik.
“Jika Kohavi ingin memahami dan tidak hanya menyerang dengan populisme sebagai persiapan untuk masuk ke bidang politik, dia dapat berbicara dengan saya dan memahami bahwa tujuannya bukan untuk merusak rantai komando IDF tetapi untuk menghapus Administrasi Sipil dari IDF. Kohavi bingung dan lupa bahwa Israel adalah negara yang menaungi dan memiliki militer, bukan sebaliknya,” kata Smotrich.
Kohavi membantah bahwa kritik itu bernuansa politis. “Tidak ada yang politis tentang itu. Itulah yang diharapkan dari seorang kepala IDF dalam situasi seperti ini,” katanya. (AP)