Traktat Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Nuklir (SEANWFZ) belum diaksesi oleh satu pun negara pemilik senjata nuklir. Indonesia sebagai Ketua ASEAN memulai lagi negosiasi dengan mereka.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Setelah 38,5 tahun dideklarasikan di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, hak atas perdamaian masih belum terpenuhi untuk sebagian penduduk bumi. Senjata nuklir merupakan salah satu penyebab hak itu belum terpenuhi. Perlu upaya bersama yang lebih serius untuk menjamin, setidaknya, kawasan yang bebas dari senjata nuklir dalam bentuk apa pun.
Disahkan pada November 1984, Deklarasi Hak Warga atas Perdamaian menegaskan bahwa pemeliharaan perdamaian adalah kewajiban mendasar setiap negara. Deklarasi itu menegaskan, perdamaian membutuhkan pengurangan semua penyebab perang, khususnya perang nuklir.
Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menindaklanjuti deklarasi itu, antara lain, lewat Traktat Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Nuklir. Disahkan pada 15 Desember 1995 dan mulai berlaku pada 28 Maret 1997, traktat yang dikenal sebagai SEANWFZ Treaty itu belum diaksesi oleh satu pun negara pemilik senjata nuklir.
Dalam pernyataan pada Rabu (5/4/2023), Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengumumkan bahwa perundingan aksesi protokol traktat itu akan dimulai lagi dengan para pemilik senjata nuklir. Permulaan kembali perundingan itu merupakan salah satu fokus Keketuaan Indonesia di ASEAN. Indonesia telah memberitahukan soal perundingan itu kepada negara-negara pemilik senjata nuklir.
Perundingan protokol tersebut terhenti beberapa tahun lalu. Di tengah peningkatan potensi kehadiran senjata nuklir di Asia Tenggara, aksesi protokol SEANWFZ Treaty menjadi lebih krusial untuk kepentingan kawasan dan global.
Pernyataan Retno disampaikan hampir sebulan setelah Amerika Serikat dan Inggris memastikan akan memberikan kapal selam bertenaga nuklir (SSN) untuk Australia. London-Washington juga memastikan akan secara rutin menempatkan arsenal nuklirnya di Australia. Keputusan dua pemilik senjata nuklir itu menambah ancaman terhadap SEANWFZ.
Menlu China Qin Gang kala menerima Sekretaris Jenderal ASEAN Kim Kao Hurn di Beijing, China, Senin (27/3/2023), mengulangi janji soal SEANWFZ Treaty. Dalam pertemuan itu, Qin mengulangi pernyataan Presiden China Xi Jinping soal SEANWFZ Treaty pada 2021.
”China berniat memelopori penandatanganan protokol Traktat Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Nuklir dan berdampingan dengan ASEAN untuk solidaritas dan kerja sama yang menguntungkan untuk menjaga kestabilan dan keamanan kawasan,” ujar Qin.
China berniat memelopori penandatanganan protokol Traktat Asia Tenggara Sebagai Kawasan Bebas Nuklir dan berdampingan dengan ASEAN.
Xi mengungkap kemungkinan kesediaan China meneken SEANWFZ Treaty beberapa pekan setelah AS, Inggris, dan Australia mengumumkan pembentukan AUKUS pada September 2021. Aliansi militer ini ditentang keras oleh China dan disikapi keras oleh Indonesia.
Sikap Indonesia, antara lain, disampaikan Kemenlu RI pada 14 Maret 2023. ”Upaya menjaga stabilitas dan perdamaian kawasan menjadi tanggung jawab semua negara. Penting bagi semua negara untuk menjadi bagian dari upaya tersebut. Indonesia meminta Australia tetap konsisten memenuhi kewajibannya sesuai rezim nonproliferasi senjata nuklir dan IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) Safeguard, serta menyepakati mekanisme verifikasi oleh IAEA yang efektif, transparan, dan tidak diskriminatif,” demikian pernyataan Kemenlu RI.
Pernyataan tersebut disampaikan beberapa jam selepas AUKUS mengumumkan rencana pengadaan tiga SSN untuk Australia. Pengumuman di California, AS, itu mengindikasikan akan semakin banyak persenjataan nuklir di dan sekitar Asia Tenggara.
Perjanjian lain
Dosen Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, mengatakan, SEANWFZ Treaty perlu diperkuat dengan traktat-traktat yang berlaku lebih luas. Sejauh ini Indonesia telah meratifikasi Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Ledak Nuklir (CTBT) dan Traktat Pengendalian Penyebaran Senjata Nuklir (NPT). Adapun untuk Traktat Pelucutan Senjata Nuklir (TPNW), Indonesia belum meratifikasi walau sudah menandatangani sejak 2017.
Muhadi mengatakan, DPR belum satu pendapat soal ratifikasi TPNW. Pengembangan aneka senjata nuklir oleh sejumlah negara menjadi alasan penolakan meratifikasi TPNW. ”Ada kekhawatiran Indonesia akan sama sekali tidak bisa mengembangkan nuklir jika meratifikasi TPNW,” kata anggota organisasi pengampanye pemusnahan senjata nuklir, ICAN, itu.
Padahal, ratifikasi TPNW justru akan memperkuat posisi Indonesia dalam pengembangan nuklir untuk tujuan damai. Penggunaan nuklir untuk kesehatan, pertanian, hingga energi tidak dilarang dan justru didorong lewat serangkaian protokol internasional.
Meratifikasi TPNW juga memperkuat Deklarasi Hak Warga Atas Perdamaian dan SEANWFZ. Dengan status diplomasi Indonesia saat ini, ratifikasi TPNW akan menunjukkan kesungguhan komunitas internasional melucuti persenjataan nuklir.
”Sekarang, mayoritas peratifikasi TPNW adalah negara-negara kecil dan sebagian punya trauma dengan nuklir. Ratifikasi TPNW akan meningkatkan kredibilitas traktat itu dan posisi Indonesia,” ujar Muhadi.
Dengan capaian-capaiannya beberapa tahun terakhir, Indonesia semakin diperhitungkan di kancah global. Posisi itu perlu dimanfaatkan untuk kebaikan bersama, termasuk ikut mewujudkan hak atas perdamaian. Seperti ditegaskan pada deklarasi tahun 1984, perdamaian membutuhkan pengurangan semua penyebab perang, khususnya perang nuklir. (AFP/REUTERS)