Bisnis ”Bakar Uang” Ancam Sektor Keuangan
Tiga bank di Amerika Serikat kolaps hanya dalam lima hari. Kemelut diperkirakan tidak berdampak langsung ke Indonesia. Kasus itu memberi pelajaran berharga, yakni ”bisnis bakar uang” mengancam sektor keuangan.

SANTA CLARA, CALIFORNIA - MARCH 10: Sebuah tanda di depan kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) di Santa Clara, California, 10 Maret 2023 . Akibat bangkrut, SVB ditutup dan diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation Amerika Serikat. (Justin Sullivan/Getty Images/AFP (Photo by JUSTIN SULLIVAN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)
NEW YORK, SELASA — Amerika Serikat menghadapi kemelut perbankan terbesar setelah krisis keuangan 2008. Kebangkrutan Silicon Valley Bank, Signature Bank, dan Silvergate menjadi pemicunya. Pelajaran berharga yang bisa dipetik ialah bisnis yang melulu membakar uang dan tidak memiliki fondasi usaha sehat hanya akan mengancam sektor keuangan yang akhirnya berisiko menyeret ke krisis.
Dosen Ekonomi dan Rektor Universitas Katolik Indonesia Atmajaya Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, Selasa (14/3/2023), menyatakan, SVB bangkrut karena ceroboh membiayai perusahaan yang juga kurang hati-hati. Situasi aman-aman saja untuk sementara waktu karena bank sentral AS mengucurkan dana ekstra murah. Adapun potensi kebangkrutan tidak terdeteksi secara dini.
Baca juga : Bank Gagal di Era Uang Ketat
Selama likuiditas murah berlimpah disertai pengawasan perbankan lemah, Prasetyantoko melanjutkan, SVB leluasa memasuki sektor bisnis yang rawan. Saat suku bunga naik, beban bunga meningkat. Pada saat yang sama, pinjaman ke perusahaan rintisan bidang teknologi tidak menghasilkan laba sehingga bank rontok.
”Pelajaran untuk kita, perlu kembali ke dasar, agar perbankan membiayai sektor dengan pendapatan yang jelas, bukan bisnis penuh impian. Strategi ’bakar uang’ harus disudahi,” ungkapnya.

Surat pemberitahuan Silicon Valley Bank terpampang di kantor pusat bank tersebut di Santa Clara, California, AS, Jumat (10/3/2023). (Photo by NOAH BERGER / AFP)
Pengeluaran besar
Istilah bakar uang merujuk pada fenomena perusahaan yang memiliki pengeluaran lebih besar ketimbang pemasukan. Hal ini biasa terjadi pada perusahaan-perusahaan rintisan di awal usaha mereka sampai kemudian pada titik tertentu laba dihasilkan secara konsisten.
Beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan rintisan bidang teknologi membakar uang dalam jangka waktu lama. Ini pula yang terjadi pada banyak nasabah SVB.
Baca juga : Persekongkolan Bankir Nakal-Politisi AS di Balik Kebangkrutan Bank Silicon Valley
SVB, Rabu (8/3), mengatakan, aksi bakar uang oleh nasabah perusahaan rintisan bidang teknologi tidak berkurang walau sumber pendanaan telah menurun. ”Aksi bakar uang tetap dua kali lebih tinggi daripada level sebelum 2021 dan para nasabah tak menyesuaikan diri dengan pendanaan yang sudah merosot,” kata SVB, dikutip CNBC, 9 Maret.
Masih mengutip CNBC, SVB menangani klien yang terlalu berisiko bagi jasa perbankan tradisional umumnya. SVB rentan dengan bisnis bombastis. Kebangkrutannya memperlihatkan keadaan sesungguhnya. Uang perusahaan rintisan yang sempat masuk deras juga mengalir keluar deras. Layanan SVB menjadi tulang punggung perusahaan dengan bisnis berisiko tinggi.

Seorang karyawan (tengah) memberi tahu masyarakat bahwa kantor pusat Silicon Valley Bank (SVB) di Santa Clara, California, tutup per 10 Maret 2023. Regulator keuangan di California menutup SVB setelah bank bangkrut. (Photo by JUSTIN SULLIVAN / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / Getty Images via AFP)
Didirikan pada 1983, SVB fokus memberikan pinjaman untuk perusahaan-perusahaan rintisan bidang teknologi. Belakangan, SVB kehabisan dana simpanan setelah deposan berbondong-bondong menarik uang karena khawatir dengan kondisi bank itu.
Pada Jumat (10/3), regulator perbankan Amerika Serikat mengumumkan penutupannya dan menyita aset SVB. Selang dua hari kemudian, Minggu (12/3), lembaga penjamin pemerintah atau Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mengumumkan kebangkrutan Signature Bank yang bermarkas di New York.
Baca juga : Signature Bank Ikut-ikutan Kolaps
Anggota Dewan Signature Bank, Barney Frank, menyatakan, bank itu mengalami penarikan dana besar-besaran pada Jumat lalu. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran akan efek domino dari kolapsnya SVB. Penyebabnya, keterpaparan Signature Bank terhadap mata uang kripto besar. Per September 2022, hampir seperempat deposit Signature Bank berasal dari sektor mata uang kripto.
Sementara itu, bank Silvergate Capital Corp, Rabu (8/3), mengumumkan melikuidasi diri. Bank yang fokus pada uang kripto itu bangkrut akibat kejatuhan mata uang kripto FTX.

Kantor cabang Signature Bank di New York, Amerika Serikat, Minggu (12/3/2023). Regulators mengumumkan bahwa bank yang bangkrut itu ditutup dan aset-asetnya disita. (AP Photo/Bobby Caina Calvan)
Beda dengan kenyataan
”Pergulatan SVB memperlihatkan bahayanya berbisnis dengan perusahaan buruk. Pada dasarnya, banyak perusahaan rintisan bidang teknologi merupakan perusahaan zombi dengan model bisnis tidak jelas dan tak layak mendapat pinjaman,” kata David Trainer, CEO New Constructs, kelompok riset investasi yang berbasis di Nashville, dikutip The Street, Jumat (10/3).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha Maghfiruha Rachbini, berpendapat, industri perbankan Indonesia belum jorjoran membiayai perusahaan rintisan bidang teknologi. Namun, arah ke sana sudah tampak.
”Kasus SVB mengingatkan pentingnya mendalami kelayakan pembiayaan ke bisnis itu. Situasi SVB mengingatkan juga agar Indonesia waspada pada perusahaan dengan aset dan harga saham yang meroket pesat, tetapi kemudian anjlok drastis,” katanya.
Kasus SVB mengingatkan pentingnya mendalami kelayakan pembiayaan ke bisnis itu. Situasi SVB mengingatkan juga agar Indonesia waspada pada perusahaan dengan aset dan harga saham yang meroket pesat, tetapi kemudian anjlok drastis.
Hal serupa diingatkan oleh Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri. ”Kehancuran SVB bukan hanya masalah pengawasan, tetapi hasil dari kebijakan likuiditas ketat The Fed, serta model bisnis perusahaan teknologi yang cenderung sulit bertahan dalam jangka panjang.”
Menurut Yose, tidak semua perusahaan teknologi suram. Faktanya, banyak pula yang melejit. Hal yang perlu diwaspadai dan disadari adalah risiko yang mungkin ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan yang bisnisnya tidak didasarkan pada fundamental yang sehat.

Setelah menjalin hubungan dengan ASEAN pada 1992, ASEAN dan India menjadi mitra strategis pada 2012. Kerjasama ASEAN-India berlanjut di berbagai sektor termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rangka memperingati 30 tahun kemitraan ASEAN-India, tahun lalu, Komite ASEAN untuk Sains, Teknologi, dan Inovasi bekerja sama dengan Departemen Sains dan Teknologi, Pemerintah India, melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional dan Start-up Incubation and Innovation Center IIT Kanpur menyelenggarakan 1st ASEAN-India Start-up Festival 2022 pada 27-30 Oktober 2022 di Innovation Convention Centre, Cibinong Bogor, Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerangkan, dampak dari kolapsnya SVB tidak akan sebesar kejatuhan raksasa investasi Lehman Brothers pada krisis keuangan 2008. Penyebabnya, segmen pasar SVB spesifik, yaitu perusahaan rintisan. Dampaknya ke Indonesia dinilai tidak akan terlalu besar karena keterkaitan portofolio SVB dengan sektor keuangan relatif terbatas.
Menurut dia, kejatuhan SVB terjadi sebagai imbas dari penurunan kinerja perusahaan rintisan pada 2022. Lesunya sektor itu membuat penyaluran kredit SVB terhambat. Pada saat sama, tingkat deposito naik hingga tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan neraca keuangan SVB bermasalah dan berujung krisis.
Baca juga : Penutupan Silicon Valley Bank Tidak Berdampak Langsung ke Indonesia
Meski tidak sebesar krisis 2008, Sri Mulyani melanjutkan, kasus tersebut tetap berdampak pada sektor keuangan, khususnya terkait kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
”Kita perlu waspada karena transmisi persepsi dan psikologis terhadap perbankan itu bisa signifikan bagi sektor keuangan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat,” ucapnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi keterangan kepada wartawan saat konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (14/3/2023). APBN mencatatkan surplus sebesar Rp131,8 triliun pada akhir Februari 2023. Surplus ini setara dengan 0,63 persen produk domestik bruto Indonesia. KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK) 14-03-2023
Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Start Up Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro mengatakan, asosiasi masih menggalang data. Indikasi awal menunjukkan relatif sedikit perusahaan modal ventura di Indonesia yang berbisnis dengan SVB.
”Sangat sedikit perusahaan modal ventura Indonesia yang berinvestasi ke start up di AS,” ujarnya.
Sangat sedikit perusahaan modal ventura Indonesia yang berinvestasi ke start up di AS.
Menurut Eddi, ada sedikit perusahaan rintisan Indonesia yang menerima investasi dari perusahaan modal ventura berbasis di Silicon Valley. Meski demikian, Amvesindo masih mencari data konkret.
”Bank dengan model bisnis seperti SVB di Indonesia belum ada karena secara regulasi Indonesia melarang. Dengan demikian, tak ada relevansi kolapsnya SVB dengan ekosistem di Indonesia,” kata Eddi.

Situs The Verge menulis pada 14 Maret, sangat mudah untuk dilupakan, bahwa bahan bakar sebenarnya untuk startups adalah uang, bukan otak. SVB menyediakan bahan bakar itu, bekerja sama dengan banyak perusahaan rintisan yang didukung modal ventura (venture capital). Ini diklaim sebagai mitra keuangan untuk inovasi. Lebih dari 2.500 perusahaan modal ventura beralih ke SVB.
Analis perbankan dari Inside Intelligence, Tiffani Montez, juga mengatakan, runtuhnya SVB akan membuat pendanaan semakin langka. "Modal ventura akan menjadi sangat sadar akan aksi pembakaran uang ke perusahaan startup,” katanya.
Baca juga : Bank Silicon Valley Gagal Bayar, Pekerja Industri Teknologi Tak Terima Gaji
Menggambarkan sisi makro perusahaan tekonologi, situs majalah Time, 9 Maret, mengingatkan soal pemutusan hubungan kerja yang melanda industri ini. “Perusahaan teknologi telah memecat lebih dari 275.000 karyawan sejak 2022. Riset menunjukkan, PHK itu sering disebabkan oleh buruknya kinerja keuangan perusahaan seiring dengan berjalannya waktu. Perusahaan-perusahaan tidak konsisten meraih laba dan layanan pelanggaran tidak bagus,” sebut Time.
Riset juga memperlihatkan PHK tidak akan memperbaiki kinerja keuangan perusahaan. Sebab, PHK terjadi akibat penurunan keuntungan.

Mantan CEO Iflix dan Air Asia X, Azran Osman Rani menjadi pembicara dalam HI, Tech Conference Will Every Company Become Tech Company?, di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Risiko sistemik
Perkembangan terbaru di AS sehubungan dengan kebangkrutan SVB dan dua bank lainnya adalah kekhawatiran akan risiko sistemik. Menkeu AS Janet Yellen menyatakan kebangkrutan SVB tidak akan menyebabkan efek domino (CBS News, 12 Maret). Alasannya, perbankan AS memiliki permodalan cukup dan berdaya tahan kuat.
Akan tetapi kasus SVB telah menyeret 20 bank lain terancam kebangkrutan dengan total asset keseluruhan sekitar 1,4 triliun. Efek kebangkrutan SVB mungkin akan terbatas, tetapi pasar sudah mengkhawatirkan posisi 20 bank lainnya di AS.
Bank-bank tersebut tidak fokus ke pendanaan perusahaan-perusahaan teknologi tetapi terjerat masalah karena kenaikan suku bunga The Feds. Kebangkrutan SVD membuat pasar melacak potensi kebangkrutan bank-bank regional di AS, yang ditandai dengan kejatuhan saham-saham bank-bank di AS sekelas SVB.
Kasus SVB telah menyeret 20 bank lain terancam kebangkrutan dengan total asset keseluruhan sekitar 1,4 triliun. Efek kebangkrutan SVB mungkin akan terbatas, tetapi pasar sudah mengkhawatirkan posisi 20 bank lainnya di AS.
Ketua Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), Martin Gruenberg pada konferensi Institute of International Bankers, 6 Maret, Washington, mengatakan ada potensi kerugian sebesar 620 miliar dollar AS yang dihadapi perbankan. Ini disebabkan sejumlah bank telah menanamkan dana simpanan dalam bentuk obligasi terbitan pemerintah AS.
Gruenberg menambahkan, dana bank itu telah mengalami penurunan nilai karena kenaikan suku bunga obligasi. Dalam kasus terjadinya penarikan dana-dana oleh nasabah, dan perbankan tersebut menjual obligasi yang belum jatuh tempo, maka akan ada kerugian sebesar 620 miliar.
Pada 2019 Gruenberg sudah mengingatkan, agar pengawasan terhadap bank-bank regional ini tidak dilonggarkan. Alasannya, pelonggaran pengawasan akan membuat bank regional menjadi penyebab risiko besar seperti yang juga dibuktikan pada krisis perbankan AS pada 2008. (REUTERS/AP/AFP/MON/MED/Z15)