Penutupan Silicon Valley Bank Tidak Berdampak Langsung ke Indonesia
Penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, "facility line", serta investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan menilai, penutupan Silicon Valley Bank atau SVB oleh Federal Deposit Insurance Corporation Amerika Serikat pada 10 Maret lalu tak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang memiliki kondisi yang kuat dan stabil. Namun, masalah yang menimpa SVB itu akan membuat investor lebih berhati-hati dalam mendanai start up.
Dalam keterangan pers, Senin (13/3/2023), Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line, serta investasi pada produk sekuritisasi SVB. Berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberi kredit dan investasi kepada start up serta kripto.
”Oleh karena itu, OJK mengharapkan masyarakat dan industri tak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang,” kata Dian.
Menurut Dian, Indonesia, setelah krisis keuangan tahun 1998, melakukan langkah-langkah mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola, serta perlindungan nasabah yang menciptakan sistem perbankan kuat, resilien, dan stabil.
OJK memastikan terus meningkatkan pemantauan terhadap berbagai perkembangan yang terjadi secara global dan implikasinya terhadap perbankan Indonesia. OJK juga memastikan penerapan manajemen risiko dan tata kelola bank yang baik dalam setiap pengelolaan portofolio aset produktif dan pendanaan, serta memitigasi risiko konsentrasi yang berdampak pada kinerja bank.
”Selain itu, OJK meminta perbankan senantiasa melakukan langkah-langkah strategis, antara lain meningkatkan fungsi dan peran Asset and Liability Committee, dalam mengelola aset dan kewajiban, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko, serta melakukan stress test yang komprehensif,” ucap Dian.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah saat dihubungi, Senin. Menurut dia, dengan adanya bantuan Pemerintah AS untuk menyelamatkan SVB, tak perlu dikhawatirkan akan ada dampak sistemik. Pasar akan lebih tenang. Kalaupun ada gejolak, menurut dia, hal itu bakal bersifat temporer.
”Risikonya terlalu besar (untuk tak menyelamatkan SVB). Pemerintah AS pasti tidak akan lupa, kebangkrutan Lehman Brothers pada 2008 bisa memicu krisis finansial global,” ujar Piter.
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menambahkan, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), kini berada di persimpangan pilihan antara memprioritaskan pengendalian inflasi dan memastikan berjalannya sistem perbankan. Dengan kebijakan penyelamatan bank, The Fed akan mengguyur pasar dengan likuiditas.
Menurut Chief Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede, setelah regulator di AS menyatakan akan menanggung deposan SVB sebagai langkah antisipasi, hal itu dipercaya dapat menimbulkan sentimen positif bagi pelaku industri finansial global. Namun, kebijakan tersebut diyakini berimplikasi pada terbatasnya usaha rintisan (start up) untuk menempatkan dananya.
”Melihat perjalanan start up di Indonesia, pendanaan akan semakin sulit ketika suku bunga naik seperti sekarang dan ditambah sentimen negatif dari kejadian SVB. Akan tetapi, dalam jangka panjang, kondisinya akan kembali (normal) melihat fundamental ekonomi Indonesia. Kalau Indonesia memang tetap prospektif, tentu akan kembali lagi pendanaan itu ke sini,” ujar Josua.
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menambahkan, sejauh ini belum ada indikasi penyelewengan dana dalam kasus SVB karena hal itu membutuhkan investigasi dari pihak berwajib di AS. Ia menduga penyebab kolapsnya SVB ialah tingkat suku bunga yang meningkat tajam dan pengelolaan dana yang buruk.
Terkait dengan implikasi kasus SVB terhadap putaran pendanaan start up di luar AS, Pemerintah India telah menaruh perhatian. Di Indonesia, ia memandang ada potensi sentimen negatif untuk pasar modal. Start up nasional diperkirakan kian sulit mendapat pendanaan dari luar negeri.
”Apalagi, porsi pendanaan dari Amerika Serikat ke start up Indonesia diperkirakan relatif besar,” kata Nailul.
Principal Advisor di Nilzon Capital, Frizon Akbar Putra, mengatakan, berdasarkan observasi terbatas, sejumlah perusahaan modal ventura meminta klarifikasi kepada start up di Indonesia mengenai apakah mereka terpapar dampak SVB atau tidak. Namun, dia percaya mayoritas start up di Indonesia menggunakan layanan bank di Indonesia dan Singapura ataupun tidak banyak memiliki hubungan langsung ke SVB.
Mayoritas start up di Indonesia menggunakan layanan bank di Indonesia dan Singapura ataupun tidak banyak memiliki hubungan langsung ke SVB.
”Justru, hal yang harus menjadi perhatian adalah apakah perusahaan modal ventura yang mendanai start up siap untuk mengirim pendanaan dalam waktu terbatas. Banyak perusahaan modal ventura regional dan global menyimpan dana mereka di SVB,” ucap Frizon.
Frizon menambahkan, pernyataan Federal Deposit Insurance Corporation AS mengenai talangan likuiditas dan pengambilalihan SVB membuat sedikit lega karena perusahaan modal ventura bisa mengamankan dananya di SVB. Syaratnya, dana tak ditempatkan di obligasi tertentu, di saham SVB, atau di produk turunan yang melibatkan SVB sebagai penerbit.
”Start up harus sadar bahwa terdapat risiko keuangan yang nyata dan mengintai mereka, bahkan sektor keuangan pun dapat sewaktu-waktu mengalami tekanan,” ucapnya.
Analis Sucor Sekuritas Paulus Jimmy memiliki pandangan berbeda. Putaran pendanaan ke startup di Indonesia belum akan terlalu berdampak dari kejadian kebangkrutan SVB. Sebab, sementara ini belum terlihat ada spillover effect langsung ke depositor SVB setelah adanya bantuan dari regulator Amerika Serikat.
Hal sama juga ditegaskan oleh Co-Founder dan Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca. Menurut dia, ekosistem startup di Indonesia masih aman dan tidak terpengaruh kebangkrutan SVB. “(Start up di Indonesia) tidak perlu melakukan antisipasi. Tidak ada dampak SVB,” tegas Willson.
Chief Operating Officer GetPlus, program loyalitas dari berbagai merek, Adrian Hoon, yang ditemui di sela-sela peluncuran penukaran poin loyalitas dengan koin aset kripto, berpendapat bahwa kolapsnya SVB relatif tidak berpengaruh ke pasar kripto. Sepanjang dia pahamı dari berbagai pemberitaan, SVB memiliki pengelolaan dana yang kurang baik.
“Pada masa lalu, aset kripto kerap kali mengalami banyak spekulasi. Akan tetapi, kini, semakin banyak negara ingin mengatur aset kripto agar perdagangannya lebih teratur dan konsumen semakin terlindungi,” tutur Adrian.
Sebelumnya, penarikan besar-besaran oleh deposan SVB yaitu 42 miliar dollar AS hanya dalam 48 jam setelah kerugian besar dalam portofolio obligasi bank. Hal ini menyebabkan SVB yang berusia 40 tahun kolaps.