Persekongkolan Bankir Nakal-Politisi AS di Balik Kebangkrutan Bank Silicon Valley
Tim Greg Becker, Presiden dan CEO SVB, melobi lewat anak buah Kevin McCarthy, Ketua Republikan di DPR AS, pada 2018. Hasilnya, pada 24 Mei 2018, Presiden AS Donald Trump melonggarkan keketatan pengawasan pada bank-bank.
Di balik kebangkrutan tiga bank di Amerika Serikat, ungkapan yang paling tepat adalah para bankir di tiga bank tersebut tidak kapok. Peristiwa yang menimpa Bank Silicon Valley atau Silicon Valley Bank (SVB), salah satu bank yang bangkrut itu, sangat jelas menunjukkan ketidakpedulian akan risiko bisnis perbankan. SVB ini bahkan bisa mengubah peraturan demi kelancaran bisnisnya yang sarat risiko.
SVB, yang fokus memberikan pinjaman untuk perusahaan-perusahaan start up atau rintisan sejak 1980-an, kehabisan dana simpanan setelah para deposan—mayoritas pekerja perusahaan teknologi dan perusahaan dengan dukungan modal ventura—mulai menarik uang mereka karena khawatir dengan kondisi bank itu. Pada Jumat (10/3/2023), regulator perbankan Amerika Serikat menyita aset SVB.
Hanya berselang dua hari, Minggu (12/3/2023), lembaga penjamin pemerintah atau Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) mengumumkan kebangkrutan Signature Bank, yang bermarkas di New York. Bank dengan aset lebih dari 110 miliar dollar AS itu juga disita FDIC. Pada Rabu (8/3/2023), bank Silvergate Capital Corp mengumumkan melikuidasi diri setelah dihantam kebangkrutan akibat jatuhnya mata uang kripto FTX.
Terkait kebangkrutan SVB, salah satu eksekutif SVB kebetulan adalah juga bankir yang pernah bekerja di Lehman Brothers. Kebangkrutan Lehman pada 2008 memicu resesi terbesar perekonomian AS sejak malaise 1929. Kepala Bagian Administrasi SVB Joseph Gentile adalah mantan Kepala Divisi Keuangan Lehman Brothers, yang bangkrut dengan kewajiban 613 miliar dollar AS.
Gentile meninggalkan Lehman Brothers pada 2007. Ia bergabung SVB pada 2007, sesuatu yang tidak layak terjadi. Pelacakan karier masa lalu seorang eksekutif bank adalah hal yang layak didalami sebelum memasuki bank lain. Berdiri 1983 dan bank terbesar ke-16 di AS, SVB kini mengalami kebangkrutan akibat aksi-aksi spekulatif.
Baca juga: Bank Silicon Valley Gagal Bayar, Pekerja Industri Teknologi Tak Terima Gaji
SVB sudah ditutup dan ditangani lembaga penjamin pemerintah atau FDIC. Kasus SVB memperlihatkan dengan jelas sikap tak perduli akan risiko. Bankir SVB tidak mau belajar dari krisis masa lalu.
Bukan hanya Gentile, Presiden dan CEO SVB Greg Becker juga seorang jago lobi. Pada 2018, Becker bisa meminta Kevin McCarthy, Ketua DPR AS sekarang, untuk mengubah peraturan Dodd Frank Act, agar SVB bebas pelacakan lembaga pengawasan keuangan AS.
Tim Becker melobi lewat anak buah McCarthy. Pada 2018, McCarthy menjabat ketua kubu Republikan di DPR AS. Hasilnya adalah pada 24 Mei 2018, Presiden AS Donald Trump melonggarkan keketatan Dodd Frank Act. Peraturan keuangan terbaru menaikkan klasifikasi aset bank yang harus diawasi: dari 50 miliar dollar AS menjadi 250 miliar dollar AS. Saat itu aset SVB sebesar 20 miliar dollar AS dan bebas dari kewajiban stress test alias bebas dari pemantauan kekuatan keuangan (Bloomberg, 11 Maret 2023).
Akar bencana SVB
Alhasil, SVB, dari sebuah bank berposisi solid, hanya dalam dua tahun berubah menjadi prahara. Bank ini mendapatkan banyak dana deposito tanpa bunga pada 2021, simpanan dari sejumlah perusahaan-perusahaan teknologi informasi pemula (start up) di Silicon Valley. Booming bisnis internet pada masa pandemi Covid-19 membuat SVB ketiban deposito yang mengalir masuk begitu derasnya.
Baca juga: ”Start Up” Indonesia Kini Punya Akses ke Silicon Valley
Deposito tanpa bunga di SVB melejit dari 67 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 126 miliar dollar AS pada 2021 (Fortune, 11 Maret 2023). Informasi lain dari Barron’s, media mingguan milik Dow Jones & Company, deposito di SVB melejit lagi dari 74 miliar dollar AS pada Juni 2020 menjadi 198 miliar dollar AS pada 31 Maret 2022.
Dari sebuah bank berposisi solid, SVB hanya dalam dua tahun berubah menjadi prahara.
Masalah muncul setelah Bank Sentral AS (The Fed) mulai menaikkan suku bunga inti pada 22 Maret 2022 dan kini menjadi 4,75 persen karena tekanan inflasi. Simpanan deposito nasabah tadinya tanpa bunga di SVB kemudian berubah menjadi deposito dengan beban bunga yang terus meningkat.
Faktor lain, para deposan SVB mulai menarik dana-dana karena merasa lebih tertarik menanamkannya pada obligasi dengan suku bunga menarik ketimbang pada deposito. Kenaikan suku bunga membuat obligasi mengalami kenaikan kupon.
Saat bersamaan, dimulai pada 2022, bisnis internet mulai meredup karena work from home (WFH) menurun drastis. Perusahaan-perusahaan teknologi informasi mengalami pendapatan yang menurun, bahkan mandek, hingga menghentikan beberapa divisi bisnis. Lebih jauh, kebutuhan dana mendesak membuat perusahaan teknologi informasi beramai-ramai menarik dana deposito di SVB.
Faktor lain, pinjaman SVB ke sebagian perusahaan start up juga diduga mandek. ”Kemelut SVB memperlihatkan betapa bahayanya melakukan bisnis dengan perusahaan buruk. Banyak start up yang merupakan perusahaan zombi, tanpa model bisnis dan tidak layak dapat kucuran kredit. SVB mendapatkan pelajaran sangat berat,” kata David Trainer, CEO New Constructs, Jumat (10/3/2023), dikutip The Street, afiliasi Sports Illustrated.
Sebutan zombi diberikan kepada perusahaan yang tidak mampu mendapatkan keuntungan dan bisnisnya mengandalkan pinjaman semata tanpa bisnis yang jelas.
Baca juga: Krisis Utang Mengintai ”Zombi” di Zona Euro
Di sisi lain, SVB juga sudah telanjur menyalurkan dana deposito nasabah ke dalam bentuk surat-surat utang berjangka panjang, seperti obligasi terbitan Pemerintah AS. Tidak ada risiko menanamkan dana pada obligasi pemerintah AS. Namun, masalah besar bisa muncul jika suku bunga naik karena otomatis menurunkan nilai riil obligasi.
Penarikan dana massal
Kesalahan SVB adalah menanamkan dana pada oligasi berjangka sepuluh tahun ketimbang obligasi berjangka pendek. Pada akhir 2022, SVB memiliki aset berupa surat-surat berharga sebesar 117 miliar dollar AS, bagian terbesar dari asetnya sebesar 211 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, sebesar 91 miliar dollar AS berbentuk obligasi dengan nilai yang merosot menjadi 76 miliar dollar AS akibat kenaikan suku bunga.
Baca juga: The Fed: Suku Bunga Kemungkinan Naik dengan Besaran Lebih Tinggi
Situasi keuangan SVB yang buruk mudah menyebar. Para deposan SVB adalah perusahaan teknologi informasi yang sarat dengan niat pengamanan dana. Nasabah kategori ini akan mudah mendapatkan informasi tentang buruknya kondisi sebuah perusahaan. Saat hal itu terjadi, di mana satu nasabah melakukan penarikan dana, akan mudah mendorong perusahaan lain melakukan penarikan serupa dengan cepat.
Kesalahan SVB adalah terjadi mismatch antara sumber dana deposito, yang bisa ditarik setiap saat, dan kucuran dana ke dalam surat berharga berjangka panjang. Ini merupakan akibat dari aksi bankir yang berani bermain risiko (Business Insider, 11 Maret 2023).
Efek domino
Kebangkrutan SVB disebut tidak akan memberikan efek domino ke seluruh sistem keuangan AS. Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan, sistem keuangan memiliki daya tahan dan tidak akan menyebabkan efek domino kebangkrutan.
Namun. untuk itu Departemen Keuangan AS, The Fed, dan FDIC telah menyatakan bahwa mereka pasti menjamin semua dana deposito milik nasabah di SVB yang bangkrut. Jaminan serupa juga diberikan pada dana deposito nasabah Signature Bank dengan aset 110 miliar dollar AS dan simpanan deposito 88,6 miliar dollar AS, serta dana nasabah Silvergate Bank dengan deposito masabah 6 miliar dollar AS.
Departemen Keuangan AS, The Fed, dan FDIC telah menyatakan bahwa mereka pasti menjamin semua dana deposito milik nasabah di SVB, Signature Bank, dan Silvergate Bank.
Penyelamatan itu sesuai dengan pernyataan McCarthy, yang pernah dilobi SVB bahwa ia akan berbicara dengan Presiden Joe Biden untuk usaha penyelamatan SVB. Banyak yang menyindir aksi ini.
”Bayangkan jika dana kampanye para politisi tidak disimpan di SVB. Apakah kita berpikir ini tidak akan ditolong,” kata Ro Khanna, anggota DPR AS dari Partai Demokrat. Hal unik, SVB membayari bonus tahunan karyawan sebelum kebangkrutan (Axios, 12 Maret 2023).
Pengawasan sistem keuangan
Lepas dari polemik itu, apakah efek domino akan terhenti? Tidak demikian dalam pandangan mantan Ketua FDIC Chair William Isaac (Politico, 12 Maret 2023). ”Akan ada banyak lagi bank yang akan mengalami kebangkrutan,” kata Isaac.
”Dalam pikiran saya, tidak ada keraguan, akan ada lebih banyak bank mengalami hal serupa. Berapa banyak, berapa besar, saya tidak tahu. Tampaknya bagi saya, situasi sekarang ini sangat mirip dengan situasi dekade 1980-an,” kata Isaac. Ucapannya merujuk pada dekade 1980-an, di mana AS mengalami krisis perbankan, salah satunya karena kenaikan suku bunga.
Kenaikan suku bunga sekarang sudah diprediksi oleh ekonom AS, Nouriel Roubini, akan membangkrutkan banyak lembaga keuangan. Dengan memakai dana murah akibat kucuran dana The Fed, kemudian perbankan dan lembaga keuangan non-bank akan ketiban beban akibat kenaikan suku bunga dan kucuran kredit yang serampangan.
Baca juga: Roubini: Resesi Akut Segera Muncul
Namun, lebih jauh dari itu, pengenduran peraturan keuangan juga termasuk menjadi biang kerok di balik kebangkrutan perbankan. Senator AS Elizabeth Warren (Demokrat) menyerukan lagi penguatan pengawasan perbankan, yang terhambat karena lobi-lobi dari industri keuangan AS. ”Kejatuhan SVB menggarisbawahi perlunya perlindungan terhadap sistem keuangan. Para pengawas harusnya mampu melawan tekanan,” kata Warren.
Kemelut keuangan di AS sekarang juga membuktikan ucapan Bernie Sanders, Senator AS, beberapa waktu lalu, bahwa para politisi AS sarat dengan permainan manipulatif dengan Wall Street. ”Jika kita dapat menalangi para penipu di Wall Street, kita juga seharusnya dapat menghapuskan semua pinjaman mahasiswa di negara ini,” ujar Sanders pada 16 Mei 2022.
Istilah crooks merupakan kata yang marak di AS setiap kali terjadi krisis keuangan. Istilah itu merujuk pada aksi tipu muslihat yang diduga terjadi di Wall Street. Sanders juga gencar memakai istilah tersebut. (AP/AFP/REUTERS)