PBB Desak Rusia Segera Mundur dari Ukraina
Dunia mendukung Ukraina dan mendesak Rusia segera keluar dari menarik pasukannya dari wilayah yang diduduki di Ukraina. Namun, Rusia menolak dan China meminta keduanya mulai saling berdialog.
BEIJING, KAMIS — Rusia harus segera dan tanpa syarat keluar serta menarik seluruh pasukan dari Ukraina. Ukraina mendapatkan dukungan kuat dari pemungutan suara yang tidak mengikat di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari 193 negara anggota PBB, 141 suara mendukung Ukraina, 7 suara menentang, dan 32 suara abstain.
China dan India termasuk dalam negara yang abstain. Hasil pemungutan suara ini menunjukkan dukungan komunitas internasional pada Ukraina dan seruan untuk upaya perdamaian yang komprehensif, adil, dan abadi di Ukraina sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam PBB.
Baca juga: Rakyat Ukraina Lelah, Elite Kian Getol Kobarkan Perang
Resolusi yang disetujui PBB itu menegaskan kembali dukungan untuk kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina serta menolak klaim Rusia atas bagian negara yang didudukinya. Resolusi ini menunjukkan Rusia yang terisolasi dari panggung dunia setelah 12 bulan menginvasi Ukraina. ”Terima kasih kepada semua pihak yang sudah membela dan mendukung Ukraina. Dunia mengerti kebenaran itu ada di pihak yang mana,” kata Kepala Staf Presiden Ukraina Andriy Yermak, Kamis (23/2/2023).
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba juga menolak komentar atau pernyataan dari pihak-pihak tertentu yang menyebutkan Ukraina hanya mendapatkan dukungan dari Barat, yakni Uni Eropa, Amerika Serikat, dan sekutu-sekutu mereka. Hal itu tidak terbukti karena dalam pemungutan suara di PBB terlihat banyak negara pendukung Ukraina yang mewakili Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
Sementara Rusia hanya mendapatkan dukungan dari enam negara, yakni Belarus, Suriah, Korea Utara, Mali, Nikaragua, dan Eritrea. Keenam negara ini memang memiliki hubungan kerja sama militer yang erat dengan Rusia. Meski dukungannya terbatas, Rusia sudah menggunakan hak vetonya untuk memblokir setiap mosi yang mengikat terhadapnya di Dewan Keamanan PBB. Berbeda dengan di DK PBB, Majelis Umum PBB sudah dua kali melakukan pemungutan suara dan resolusinya memberikan dukungan kuat pada Ukraina.
”Seharusnya tahun depan kita tidak perlu bertemu lagi di sini untuk memperingati dua tahun perang agresi yang tidak masuk akal ini,” kata Menlu Jepang Yoshimasa Hayashi.
Menlu Perancis Catherine Colonna menegaskan, Rusia harus menghentikannya serangannya ke Ukraina besok. ”Perang yang dikobarkan Rusia ini menjadi urusan semua orang karena mengancam keberadaan suatu negara karena itu mewakili rencana mendominasi dan imperialis, serta menyangkal keberadaan perbatasan,” ujarnya.
Rusia jelas menolak resolusi Majelis Umum PBB itu. Perwakilan Rusia di PBB, Vasily Nebenzya, bahkan masih saja menyebut Ukraina sebagai ”neo-Nazi” dan menuduh Barat mengorbankan banyak negara hanya demi keinginan mengalahkan Rusia. ”Mereka mau menjerumuskan seluruh dunia ke dalam jurang perang hanya demi mempertahankan hegemoni mereka sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Ketidakpastian Membayangi Pengendalian Senjata Nuklir
Selain negara yang mendukung dan menentang, banyak negara yang mengambil posisi abstain terhadap isu ini. China dan India tidak mengecam invasi Rusia meski keduanya mengkritik ancaman Rusia yang hendak menyebarkan senjata nuklir dalam konflik ini.
Sebelum pemungutan suara, Wakil Kepala Perwakilan China di PBB Dai Bing mengatakan, China mengambil sikap netral serta meminta Rusia dan Ukraina menghentikan peperangan, memulai proses dialog dan pembicaraan perdamaian. ”Kami mendukung Rusia dan Ukraina bergerak ke arah yang sama, yakni melanjutkan dialog sesegera mungkin,” ujarnya.
Negara-negara yang dianggap kurang kuat dan sebagian besar negara di Afrika juga banyak terjebak dalam pertikaian diplomatik. ”Kami dijajah dan kami memaafkan mereka yang menjajah kami. Sekarang penjajah meminta kami untuk menjadi musuh Rusia, negara yang tidak pernah menjajah kami. Apakah itu adil?” kata Menlu Uganda Abubakar Jeje Odongo.
Rusia merupakan pemasok senjata utama Afrika. Odongo juga menyebut, sebagian besar peralatan militer negaranya buatan Rusia.
Menlu Slowakia Rastislav Kacer mengatakan, negara-negara di Afrika secara tradisional melekat pada keterbelahan Perang Dingin ke Uni Soviet. Mereka masih menyimpan memori itu. Namun, masalahnya Rusia juga mempunyai tawaran yang menarik melalui persenjataan sehingga mendorong mereka mendukung Rusia.
China sebagai negara dengan kekuatan besar juga tidak mau gegabah bersikap dan memperhitungkan apa yang baik untuk mereka. Adapun India memiliki ketergantungan Perang Dingin pada Uni Soviet dan beberapa kali abstain dari pemungutan suara di DK PBB yang menuntut Rusia menghentikan invasinya.
Ajakan dialog
China tidak mau krisis Rusia dan Ukraina menjadi tidak terkendali. Kementerian Luar Negeri China dalam pernyataan tertulis, Jumat, menyebutkan, satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik ini adalah melalui jalan dialog dan perundingan. China mengimbau agar ada kesepakatan gencatan senjata yang komprehensif dan pengurangan eskalasi secara bertahap hingga situasi tak lagi tegang.
”Konflik dan perang tidak menguntungkan siapa pun. Semua pihak harus tetap rasional, menahan diri, dan tidak memanas-manasi situasi sehingga malah semakin tegang. Krisis ini harus dicegah supaya tidak semakin parah dan tidak terkendali,” sebut pernyataan China.
Di dalam pernyataan itu, China juga menegaskan pesan agar senjata nuklir tidak digunakan dan perang nuklir tidak boleh sampai terjadi. Sampai saat ini, China menentang pengembangan, penggunaan senjata biologi dan kimia oleh negara mana pun dalam keadaan apa pun.
Sebelum pernyataan sikap dan posisi China ini keluar, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan tidak akan mundur bahkan akan melipatgandakan aksi militernya di Ukraina. Ada rencana Putin menyebarkan rudal balistik antarbenua Sarmat multihulu ledak baru pada tahun ini. Untuk ”menghukum” Rusia, AS akan mengumumkan sanksi baru terhadap siapa saja yang membantu serangan Rusia ke Ukraina.
China menilai sanksi sepihak dan tekanan luar biasa terhadap Rusia itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah dan justru hanya akan menciptakan masalah baru. ”China menentang sanksi sepihak yang tidak sah oleh Dewan Keamanan PBB. Negara-negara terkait harus berhenti menyalahgunakan sanksi sepihak dan yurisdiksi jangka panjang terhadap negara lain,” sebut China.
Baca juga: Perang di Ukraina Bisa Berhenti Kalau AS-Rusia Berkomunikasi
Seruan gencatan senjata antara Rusia dan Ukraina ini termasuk dalam bagian 12 poin usulan China untuk mengakhiri konflik. China mendesak agar sanksi Barat terhadap Rusia diakhiri sehingga fokus perhatian seharusnya lebih terarah pada langkah-langkah untuk memastikan fasilitas nuklir aman.
Perlu ada koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil dan langkah-langkah untuk memastikan ekspor biji-bijian aman. Ini penting karena gangguan pasokan biji-bijian ikut andil menyebabkan harga pangan dunia melonjak. China mengklaim berposisi netral dalam konflik ini.
Namun, China memiliki hubungan ”tanpa batas” dengan Rusia dan selama ini sudah menolak mengkritik invasi Rusia ke Ukraina. ”Pihak yang berkonflik harus mematuhi hukum humaniter internasional, menghindari menyerang warga sipil atau fasilitas sipil,” sebut China.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, Kamis lalu, menyatakan belum melihat rencana perdamaian China dan ingin bertemu dengan China untuk membicarakan usulan mereka. ”Saya pikir secara umum ini fakta yang sangat bagus karena China mulai berbicara soal Ukraina dan mengirimkan sinyal-sinyal,” ujarnya.
Sejak tank-tank Rusia meluncur melintasi perbatasan ke Ukraina, China telah menawarkan dukungan diplomatik dan keuangan kepada Putin, tetapi menahan diri dari keterlibatan militer secara terbuka atau mengirimkan senjata mematikan. Perusahaan-perusahaan yang dikendalikan China telah menjual pesawat tanpa awak yang tidak mematikan dan peralatan lain ke Rusia dan Ukraina, tetapi Rusia terpaksa beralih ke Iran untuk pasokan yang sangat dibutuhkan, seperti kendaraan udara tak berawak. Menurut AS, Korut juga menyediakan roket dan peluru artileri untuk Rusia.
Baca juga: Tiga Negara yang Paling Diuntungkan Perang Ukraina
Taiwan menyimpan kekhawatiran tersendiri terkait konflik Rusia dan China ini. Taiwan menilai militer China pasti banyak belajar dari pengalaman Rusia menginvasi Ukraina. Salah satunya, setiap serangan terhadap Taiwan harus dilakukan secara cepat dan harus berhasil. Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng menekankan, kemungkinan besar militer China akan menekankan faktor kecepatan dalam melakukan serangan.
Namun, serangan China bisa jadi tidak akan cepat karena masih harus menyeberangi Selat Taiwan yang memisahkan keduanya. ”Mereka harus melewati itu dulu dan tidak akan bisa secepat satu atau dua minggu. Kami akan terus berjuang sampai akhir dan yang jelas kami tidak akan memprovokasi,” ujarnya.
China berulang kali menyanggah penyamaan konflik Rusia-Ukraina dengan China-Taiwan. Di mata China, Taiwan dari dulu sudah menjadi bagian dari China sehingga persoalan keduanya adalah persoalan domestik. (REUTERS/AFP/AP)