Rakyat Ukraina Lelah, Elit Kian Getol Kobarkan Perang
Pada 24 Februari 2023 ini, perang Ukraina genap setahun. Bagi rakyat Ukraina, perang saudara itu hanya menyisakan tragedi. Alih-alih menuju damai, elite justru kian lantang mengobarkan perang.
KYIV, KAMIS - Perang Ukraina genap berlangsung selama setahun. Korban tewas dan luka serta pengungsi sudah tak terhitung lagi. Demikian pula dengan kerusakan berbagai bangunan dan infrastruktur. Masyarakat Ukraina sudah terlalu lama menderita dan lelah. Namun, alih-alih bergerak menuju perundingan, para elite justru mengindikasikan eskalasi.
Tepat setahun berlangsung, belum ada potensi perdamaian dalam perang Ukraina. Selain Ukraina, perang itu juga menimbulkan kesulitan terutama bagi warga Asia dan Afrika.
Masyarakat Ukraina sudah terlalu lama menderita dan lelah. Namun, alih-alih bergerak menuju perundingan, para elite justru mengindikasikan eskalasi.
Dalam laporan pada Kamis (23/2/2023), Euronews mengungkap kecemasan warga Kyiv atas korban yang terus berjatuhan. “Kami yakin pasti menang. Walakin, kami tidak tahu kapan atau berapa banyak lagi korban harus jatuh,” ujar Diana Shestakova, salah seorang penduduk Kyiv.
Warga lain, Boris, menyebut bahwa negaranya dalam lingkaran setan. Di satu sisi, Ukraina butuh sebanyak mungkin persenjataan agar bisa melawan Rusia. Di sisi lain, semakin banyak persenjataan berarti semakin banyak korban.
Baca Juga Ukraina Menanti ”Resolusi Perdamaian” Majelis Umum PBB
Warga lain, Zhanna Kadyrova, mengaku tidak tahu masa depannya. “Sepertinya kami tidak punya masa depan lagi. Setiap hari bisa jadi hari terakhir hidup kami dan kami terpaksa melakoni kecemasan seperti itu,” ujarnya kepada Washington Post.
Perasaan senada disampaikan Nataliia Levina. “Saya seperti gila. Setiap bangun dan sadar masih hidup, saya khawatir hari ini bisa jadi hari terakhir hidup,” kata dia kepada Washington Post.
Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat, 8 juta orang Ukraina masih mengungsi di luar negeri. Di dalam negeri, jumlah pengungsi ditaksir paling sedikit 5 juta orang.
Dengan kata lain, 29 persen warga Ukraina menjadi pengungsi. Ada pun Kantor PBB untuk Urusan HAM (OHCHR) menyebut, setidaknya setidaknya 10.183 warga sipil Ukraina menjadi korban dalam perang setahun terakhir. Serangan Rusia dan Ukraina sama-sama menimbulkan korban warga sipil.
Baca juga Rusia Ingin Nord Stream Ditangani PBB, AS Ngotot Sekutunya yang Investigasi
Meski warga sipil cemas, para pemimpin Rusia-Ukraina sama-sama belum menunjukkan tanda mau merundingkan perdamaian. Para penyokong Ukraina juga mengindikasikan penolakan keras pada upaya perdamaian.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden sama-sama menyebut perang Ukraina sebagai penentuan hidup atau mati. Putin menyebut, kelangsungan bangsa Rusia bergantung pada hasil perang di Ukraina.
Rusia memandang, perundingan harus dilakukan dengan AS. Moskwa memandang, Kyiv hanya pion Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Sementara Biden mengatakan, kelangsungan AS dan bangsa-bangsa lain bergantung pada kekalahan Rusia di perang itu. Oleh karena itu, selepas menyambangi Kyiv, Biden menjanjikan tambahan persenjataan bagi Ukraina.
Wakil Tetap Rusia di PBB Vasily Nebenzya mengatakan, sudah tidak ada peluang berunding dengan Kyiv. Rusia memandang, perundingan harus dilakukan dengan AS. Moskwa memandang, Kyiv hanya pion Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Untuk sebab itu, solusi atas masalah di Ukraina hanya mungkin dilakukan antara Rusia dengan AS sebagai pemimpin faktual NATO.
PolarisasiPerang Ukraina membuat polarasi kian tajam. Dari 60 negara pendukung rancangan resolusi Majelis Umum PBB soal Ukraina, hanya ada tiga negara Asia-Afrika. Liberia, Jepang, dan Korea Selatan masuk dalam daftar pendukung rancangan resolusi itu. Majelis Umum PBB menggelar pemungutan suara atas rancangan itu pada Jumat dini hari WIB.
PBB sudah beberapa kali membahas resolusi terkait perang Ukraina. Lebih dari separuh Asia-Afrika menolak mendukung sejumlah resolusi itu. Sementara hampir seluruh Eropa Barat dan sebagian Amerika mendukungnya.
Baca juga Putin Tak Akan Mundur dari Ukraina, Siap Uji Nuklir jika Diancam AS
Afrika Selatan malah menggelar latihan perang dengan Rusia dan China pekan ini. Bersama India dan Brazil, trio itu membentuk koalisi ekonomi yang dikenal sebagai BRICS. China-Rusia sebagai motor utama BRICS berusaha memperluas keanggotaan forum ekonomi itu.
Beijing-Mokswa juga berusaha memperluas keanggotaan Shanghai Cooperation Organization (SCO). Asia-Afrika jadi target perluasan SCO-BRICS. China-Rusia berusaha membuat SCO-BRICS fokus pada kerja sama ekonomi. Sebaliknya, AS dan sekutunya fokus membangun aliansi dengan pendekatan militer dan geopolitik.
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin di Jakarta berharap, perang di negaranya segera berakhir. Ukraina porak poranda akibat perang setahun terakhir dan tujuh tahun sebelumnya di Donetsk-Luhansk. “Penjajah bisa menyampaikan apa pun. Setahun terakhir, kami terus melawan,” kata dia.
Ia mengingatkan, dampak perang tidak hanya ditanggung Ukraina. Indonesia dan banyak negara di Asia-Afrika harus menanggung pula dampak perang. Kenaikan harga aneka kebutuhan hidup adalah dampak yang harus dirasakan miliaran orang di Indonesia dan puluhan negara lain.
Negara-negara Afrika tidak punya ruang fiskal untuk memberi subsidi tambahan. Kini, separuh Afrika terancam kesulitan membayar utang luar negeri mereka.
Manajer Program PBB Kantor Afrika Bitsat Yohannes-Kassahun mengatakan, Afrika tidak punya kemewahan seperti Eropa. Subsidi 640 miliar dollar AS membuat warga Eropa relatif terlindungi dari dampak perang.
Sementara pemerintah Afrika tidak bisa melakukan itu. Negara-negara Afrika tidak punya ruang fiskal untuk memberi subsidi tambahan. Kini, separuh Afrika terancam kesulitan membayar utang luar negeri mereka.
Harga pangan Afrika naik hampir 30 persen sepanjang 2022. Terakhir kali ada lonjakan seperti itu terjadi pada 2008.
Ketidakmampuan memberi subsidi membuat inflasi di 40 persen negara-negara Afrika menembus 10 persen dalam setahun terakhir. Kini, 50 persen penghasilan mayoritas warga Afrika habis untuk membeli pangan dan energi.
Harga kedua komoditas itu melonjak dalam setahun terakhir. Dana Moneter Internasional mencatat, harga pangan Afrika naik hampir 30 persen sepanjang 2022. Terakhir kali ada lonjakan seperti itu terjadi pada 2008.
Lonjakan harga terjadi karena sebagian Afrika mengandalkan impor sebagai sumber utama pangan dan energinya. Sebanyak 15 negara Afrika misalnya, mendapatkan separuh gandumnya dari Rusia dan Ukraina. Bagi mayoritas orang Afrika, gandum merupakan makanan pokok seperti beras bagi Indonesia.
Bank Pembangunan Afrika, AFDB, menyebut Afrika kekurangan 30 juta ton gandum gara-gara perang Ukraina. Sementara PBB menaksir, 83 persen negara Afrika rawan pangan pada skala menengah hingga kritis. Hingga 300 juta orang Afrika terancam kelaparan atau setidaknya kekurangan makan.
Baca juga Biden: Rusia Tak Akan Menang di Ukraina
PBB juga menyebut, Afrika akan sulit memacu produksi pangan lokal. Sebab, 65 persen lahan Afrika sulit ditanami. Sementara pada lahan yang bisa ditanami, akan ada kekurangan pupuk. Selama ini, trio Belarus-Rusia-Ukraina menjadi pemasok pupuk bagi Afrika.
Presiden Joko Widodo juga berulang kali mengingatkan potensi kekurangan pupuk di Asia. Seperti Afrika, produksi pangan di Asia juga bisa terganggu karena kekurangan pasokan pupuk.
Yohannes-Kassahun mengatakan, kelangkaan pupuk tidak hanya dirasakan oleh negara yang mengimpor dari trio Belarus-Rusia-Ukraina. Kekurangan bisa dirasakan importir yang mendapat dari sumber lain.
Perang membuat pasokan pupuk terbatas. Akibatnya, negara-negara kaya memborong sisa pasokan di pasar dengan harga lebih tinggi. Sementara negara-negara menengah dan miskin kesulitan membeli dengan harga yang terus naik.
Bukan hanya pupuk, hal itu terjadi juga di komoditas pangan dan energi. Eropa mampu membeli gas yang naik lebih dari 200 persen dalam setahun terakhir. Sementara banyak negara Asia-Afrika tidak mampu membayar harga yang melonjak.
Eropa mampu membeli gas yang naik lebih dari 200 persen dalam setahun terakhir. Sementara banyak negara Asia-Afrika tidak mampu membayar harga yang melonjak.
Dalam riset di 116 negara oleh peneliti gabungan Asia dan Eropa disimpulkan, 114 juta orang akan tergolong sangat miskin gara-gara perang Ukraina. Sebab, mereka tidak mampu membeli makan setelah harga terus melonjak.
Tambahan orang sangat miskin tidak hanya terjadi di Afrika. Di AS pun, yang harga telurnya naik 70 persen dalam setahun terakhir, ada tambahan orang sangat miskin.(AFP/REUTERS/RAZ)