Taktik AS tentang China Tidak Akan Jalan
”AS bukan lagi pemain tunggal, dan respons dunia terhadap invasi Ukraina konsisten dengan sikap dunia tersebut,” kata Stephen Walt.
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat sejak 2016 tetap menekankan nuansa ”America First”, Amerika dan aspirasinya yang utama. Basis pemikiran ini masih melekat di tengah kekuatan yang tidak lagi unipolar. Persepsi tersebut membuat sekutu AS dalam posisi rawan. Potensi AS meraih dukungan sekutu juga menjadi agak sulit.
Keadaan tersebut sekaligus membuat China mendapatkan tempat bagi banyak negara. Padahal, China yang menguat dan semakin menonjol bukanlah jaminan kokoh untuk stabilitas dunia. AS harus mengubah taktik terhadap China.
Kini tidak zamannya lagi bagi unipolarisme AS, demikian pesan konstan Stephen Walt dari Harvard University yang dituliskan lagi di situs Foreign Policy, 21 Desember 2022. China makin kuat dan makin berani menantang eksistensi AS di banyak tempat.
Baca juga : Koreksi Persahabatan AS-China
Maka terminologi balance of power atau perimbangan kekuatan dengan kiat-kiat terbaiknya menjadi tantangan paling aktual era sekarang, demikian pandangan Shivshankar Menon, mantan diplomat India dan penasihat Keamanan Nasional era Perdana Menteri Manmohan Singh di situs Foreign Affairs, 8 September 2022. Hanya pandangan yang bisa memainkan strategi balance of power yang bisa meraih sukses, menurut Menon.
Makin banyak muncul ide baru tentang strategi balance of power, perimbangan di antara kekuatan-kekuatan global dengan sikap saling menjaga dan memantau sembari terus bisa bernegosiasi (engagement). Bermusuhan, tetapi tetap berupaya memiliki jalur komunikasi.
Memang tidak ada jaminan strategi balance of power akan membuat dunia lebih aman. Akan tetapi, kini tidak ada pilihan lain.
Uniknya, pemikiran AS tetap akut. Strategi berbasiskan engagement kalah dari falsafah containment (pembendungan) agresif. Nuansa unipolar masih mendominasi kebijakan luar negeri Presiden AS Joe Biden. Hal itu sekaligus merupakan refleksi dari ketidakpedulian sebagian besar warga AS tentang eksistensi dunia lain.
Nuansa America First jelas sangat tergambar dari kebijakan perdagangan AS. Dengan kebijakan itu, negara ”Paman Sam” tetap menginginkan basis produksi global beralih ke AS lewat pengenaan tarif dan perang cip. Upah buruh mahal di AS, entahlah bisa mewujudkan niat tersebut. Untuk tujuan itu, AS rela meninggalkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang dianggap tidak bisa lagi didikte oleh AS.
Sinisme dan sarkasme
Nuansa America First juga tergambar pada urusan non-ekonomi. Ambil contoh tentang misi ideologi liberal dan kebebasan yang selalu melekat dalam ucapan Biden jika itu berhadapan dengan Rusia dan China. Frasa ini dipakai untuk menyerang rezim otokraktik di Rusia dan China. Ada sinisme dan sarkasme yang dialami China dan Rusia.
Baca juga: Bilateral AS-China Tengah Berlangsung
Apakah jualan AS tentang ideologi kebebasan diterima di Benua Afrika, di mana AS pernah membiarkan kolonialis Eropa bertindak semena-mena? Lalu, bagaimana tanggung jawab AS terhadap sejumlah pemimpin otoriter masa lalu yang justru mendapatkan dukungan kuat AS?
Dalam unipolarisme AS, negara-negara lain terkesan hanya sebagai alat dan bisa ditinggal saat tidak dibutuhkan seperti Afganistan. Lihatlah Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), bentukan AS yang ditinggalkan AS itu sendiri dan membentuk Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) untuk membendung China. AS seakan tidak memahami jaringan ekonomi China dengan dunia telah begitu erat dan tidak bisa diputus begitu saja.
Qatar pernah diblokir negara-negara tetangga dan didukung mantan Presiden Donald Trump. Amatilah juga Eropa, di mana mantan Kanselir Jerman Angela Merkel dituduh membangkitkan kejayaan Rusia. AS hanya lebih akrab dengan Israel dan berbagi informasi dengan Inggris, tidak melakukan hal serupa dengan Perancis dan anggota Uni Eropa penting lainnya.
Jika di Eropa muncul figur engagement dengan Rusia, mereka akan mudah dicap sebagai ”stupid idiot”. AS tidak saksama mengamati efek perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di balik invasi Rusia ke Ukraina. AS tidak mau mendengar opini lain tentang kepentingan geopolitik Rusia.
Taktik jangka panjang dan kesabaran yang diusulkan pakar geopolitik AS George F Kennan meluntur. Padahal, taktik tersebut berhasil membubarkan Uni Soviet, dalam pandangan Kennan, tanpa tetesan darah lewat perang fisik.
Taktik diwarnai sarkasme mendominasi di era Trump dan berlanjut ke era Biden. Sebagian anggota Kongres AS turut mematrikan nuansa agresi dan sarkasme.
Baca juga: Perang AS-China Hampir Mustahil
Jangkauan sengketa meluas
Hal lebih akut, AS melakukan serangan agresif di sejumlah wilayah. AS memainkan isu Taiwan meski para pakar Center for Strategic and International Studies (CSIS) AS mengatakan, tidak jelas sebenarnya peta jangka Panjang China tentang unifikasi Taiwan. Hal ini didapatkan lewat survei terhadap para pakar periode 10 Agustus–8 September 2022.
Amati Iran, yang pada 2015 dirangkul Presiden Barack Obama lewat perjanjian nuklir, lalu ditinggal sepihak oleh Trump dan kini Biden melanjutkan ciri khas Trump. Iran dengan efek geopolitik kuat dikeroyok bersama oleh AS dan Israel. Sekarang duet ini harus berhadapan dengan Rusia dan China yang berpihak pada Iran. Pandangan China tentang Iran adalah renegosiasi tentang pengembangan nuklir.
Jika Biden mengatakan ”America is back”, itu adalah AS yang tetap bervisi unipolar di tengah situasi dunia yang total berbeda. AS di bawah Biden tetap datang dengan sikap lama, bahkan memperluas front permusuhan.
Sikap ini disebut oleh peneliti dari American Statecraft Program di Carnegie Endowment for International Peace, Stephen Wartheim, sebagai kebijakan luar negeri ”overstecht” (The Financial Times, 3 Januari 2023). AS tidak merangkul sepenuh hati para sekutu bahkan terus memperluas rentang permusuhan dengan gaya unipolar. ”Para sekutu AS khawatir apakah jangkauan intervensi yang terlalu luas bisa membuat AS melakukan penyelamatan di saat sekutunya membutuhkan pertolongan,” demikian Wartheim.
Sejarawan Yale University, Paul Kennedy, pernah menuliskan artikel berjudul ”American Power is on the Wane”, 14 Januari 2009, di The Wall Street Journal. Kekuatan yang memudar akan sulit menjalankan kebijakan luar negeri yang terlalu luas, demikian Kennedy.
Menyulitkan posisi Asia
AS tidak hanya agresif, tetapi juga mempersulit negara-negara lain. Asia merasakan kesulitan tersebut. Asia kini mau tidak mau menjadi kawasan paling rentan dalam pertarungan geopolitik AS versus China. Kebijakan luar negeri AS membuat sejumlah negara di Asia harus memilih antara AS dan China. China yang terletak di Asia membuat negara-negara di kawasan menjadi lebih pelik untuk bersikap ketimbang negara-negara di luar Asia.
Baca juga : Indonesia di Tengah Pertarungan Geopolitik AS-China
Di situs Foreign Policy, 5 Januari 2023, Blake Herzinger, peneliti di American Enterprise Institute, menuliskan artikel berjudul ”Southeast Asia is Getting Squeezed by America’s Embrace”. Herzinger menyebutkan betapa Asia Tenggara akan kesulitan mengakomodasikan kebijakan luar negeri AS yang bernuansa memaksa negara-negara memilih antara Washington dan Beijing.
Indonesia dapat menunjukkan intelijen AS yang pernah mendestabilisasi pemerintahannya.
Ia menuliskan, taktik itu merupakan sebuah kesalahan strategis. Tidak didefinisikan secara resmi, tetapi taktik ini sudah merupakan hal rutin dalam kebijakan luar negeri AS di Indo-Pasifik, demikian Herzinger. Memilih AS, lalu menjadi kelompok eksklusif dengan tujuan mengucilkan China, itulah yang menjadi tema. ”Strategi ini tidak akan jalan di Asia Tenggara,” lanjut Herzinger.
Strategi AS ini mengasumsikan negara-negara di Indo-Pasifik pasti melihat China sebagai negara hostile. AS, sebaliknya, dilihat sebagai kekuatan benevolent. Namun, sulit mengharapkan Asia beropini seperti itu. Vietnam, Kamboja, dan Laos tidak melupakan tahun-tahun perang yang destruktif. ”Indonesia dapat menunjukkan intelijen AS yang pernah mendestabilisasi pemerintahannya,” demikian Herzinger.
”Sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara memandang Amerika Serikat dan China dengan sedikit gamang. Akan tetapi, pengalaman Asia Tenggara dengan Beijing tidak setajam yang mungkin pernah disiratkan oleh Washington, dan interaksi Asia Tenggara dengan Washington juga tidak begitu ramah,” demikian Herzinger.
Asia Tenggara pun tidak terlalu lugu dengan keberadaan dan kekuatan China di kawasan. Asia Tenggara dengan demikian tidak akan memilih AS atau China. ”AS bukan lagi pemain tunggal, dan respons dunia terhadap invasi Ukraina konsisten dengan sikap duia tersebut,” kata Walt. Dengan kata lain, dunia tidak mudah menuruti begitu saja sekarang ini.
”Pesona” China
Oleh karena itu, strategi AS yang membuat negara-negara memilih AS atau China jelas tidak didasarkan pada visi kebijakan luar negeri yang pas. Di tengah semua itu ada China dengan ekspansi ekonomi dan guyuran investasi di seberang. Ada pembangunan yang sudah dirasakan Afrika, dan perdagangan China dengan Asia yang melebihi perdagangan China dengan belahan dunia lainnya.
Di harian The Global Times, 24 Februari 2022, Winston Lord, salah satu arsitek di balik pemulihan relasi AS-China di era Presiden Richard Nixon pada 1972, mengatakan, banyak manfaat yang didapatkan dari relasi tersebut. ”Saya beruntung turut berperan di balik upaya itu,” kata Lord.
Upaya pemulihan diplomasi itu, lanjut Lord, karena AS tidak memiliki pilihan. ”Apa alternatifnya? Containment tidak mungkin karena negara-negara lain tidak akan bergabung, jadi tidak akan efektif dan mungkin berbahaya karena kita bisa sama-sama terjebak konflik,” kata Lord.
Baca juga : Relasi AS-China dan Dunia
”Kami ingin memperbaiki relasi, tetapi kita tidak bersikap naif juga. China memiliki kepentingan nasional dan ideologi. Jadi, kami memelihara sekutu dan kekuatan militer. Kami memberi perhatian ke Asia untuk mengimbangi pengaruh China,” kata Lord.
”Kita memiliki banyak keuntungan dengan relasi, baik itu secara ekonomi, pertukaran budaya, maupun kerja sama internasional. China menolong kita banyak hal secara global meski ada sejumlah persoalan. Untuk semua alasan itu, faktanya tidak ada alternatif,” lanjut Lord.
Kantor berita China, Xinhua, 17 Desember 2022, menuliskan ucapan Helga Zepp-LaRouche, pendiri dan ketika lembaga pemikir Jerman, Schiller Institute. ”Ada banyak negara yang ingin bekerja sama dengan China karena China membantu mereka menjalankan pembangunan yang dahsyat. Itulah rahasia di balik Belt and Road Initiative dan menjadi alasan mengapa banyak negara yang ingin bekerja sama dengan China,” kata Zepp-LaRouche.
Maka Wartheim dan Shivshankar Menon menyebutkan, kebijakan luar negeri AS yang tepat sekarang adalah mengupayakan balance of power. Jika tidak berubah, AS hanya melencangkan potensi kesemena-menaan China kelak. (AFP/AP/REUTERS)