AS juga tak sempurna tentang HAM, termasuk hak minoritas, hingga kepemilikan senjata. AS juga menginvasi Afghanistan pada 2001.
Oleh
REDAKSI
·3 menit baca
Pertarungan baru Amerika Serikat-China muncul lagi. Presiden AS Joe Biden memboikot Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 dan Paralimpiade Musim Dingin 2022.
Isu hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang menjadi alasan boikot yang diumumkan Biden pada 6 Desember 2021. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Zhao Lijian mengatakan, China akan membalas aksi AS. Namun, bisa dikatakan, pertarungan kali ini tak signifikan.
Boikot itu tidak lebih parah daripada langkah Presiden AS Jimmy Carter pada 1980, yang melarang atlet AS berlaga di Olimpiade Moskwa 1980 dengan alasan Uni Sovet menginvasi Afghanistan pada 1979. Boikot AS itu diikuti 54 negara lain (The Washington Post, 9 Mei 1984). Uni Soviet pun memboikot Olimpiade Los Angeles 1984, diikuti 14 negara Blok Timur.
Dalam boikot kali ini, AS tak hadir secara diplomatik. Jubir Gedung Putih Jen Psaki mengatakan, tim atlet AS tidak akan ikut pada pawai Olimpiade. Namun, Gedung Putih menjanjikan kepedulian kepada atletnya yang bertanding. Biden sebatas melakukan boikot simbolis, kata Joshua Shifrinson, pakar hubungan internasional Boston University.
Ada seruan agar AS memboikot lebih keras. Senator Republikan, Marco Rubio, meminta korporasi memboikot pemasangan iklan pada Olimpiade dan Paralimpiade Beijing. Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo mengatakan, Gedung Putih tidak akan memaksa perusahaan memboikot.
Kepentingan bisnis agaknya menghalangi perusahaan memboikot, kata Senator Republikan Rick Scott. Kata Scott, kepentingan bisnis di China ada di atas penyebaran nilai-nilai Amerika. Tentu ini tidak semata-mata soal kepentingan laba.
AS juga tak sempurna tentang HAM, termasuk hak minoritas, hingga kepemilikan senjata. AS juga menginvasi Afghanistan pada 2001. Semua itu menjadikan AS sekaligus sasaran empuk bagi China, yang sedang gencar mencari-cari sekaligus memublikasikan kekurangan AS.
AS juga tak sempurna tentang HAM, termasuk hak minoritas, hingga kepemilikan senjata.
Maka, dimaklumi jika dari AS hanya ada semacam correctio fraterna, mengoreksi secara persahabatan. Sebab, seperti kata mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, dua negara itu saling membutuhkan. Dalam istilah Presiden Xi Jinping, dua negara itu sama-sama perlu berelasi baik.
Sebaliknya, China menyadari correctio fraterna yang sudah menjadi tradisi lama di negara itu, sebagaimana disinggung dalam sebuah buku terbitan Januari 1676 berjudul Tratados históricos, políticos, éthicos y religiosos de China: Añádense los Decretos Pontificios para la Misión Chínica karya Domingo Fernandez Navarrete. Tertulis, ”Koreksi persaudaraan berlaku sejak lama dan dihargai di China, bahkan untuk orang tua.”
China sering spontan membela diri. Namun, ada yang senang dengan aksi AS, termasuk Omer Kanat, Direktur Eksekutif Uyghur Human Rights Project. Artinya, ada masalah soal hak asasi di China bagi pihak tertentu. Pesan saling koreksi masuk akal. Andrew Moravcsik, pakar relasi internasional dari Princeton University, mengatakan, persaingan di antara negara-negara kuat tak menutup pintu diskusi.