Angka Pertumbuhan Penduduk China Terendah sejak Tahun 1961
Angka kelahiran di China semakin menurun dan kini sudah disalip oleh angka kematian. Warga negara itu semakin enggan memiliki anak karena berbagai alasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Pertumbuhan penduduk China mencapai titik terendah sejak tahun 1961. Masyarakat semakin enggan memiliki anak karena berbagai alasan, terutama biaya hidup yang mahal dan pekerjaan yang menyita waktu. Hal ini akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi China karena negara tersebut adalah negara berkembang yang masih bertumpu pada sektor industri padat karya.
Data tersebut diumumkan oleh Biro Pusat Statistik Nasional China pada Selasa (17/1/2023). Disebutkan, selama 2022, penduduk China berkurang 850.000 jiwa, yakni dari 1,412 miliar jiwa menjadi 1,411 miliar jiwa. Apabila dibandingkan antara angka kelahiran dan kematian, jumlah kematian lebih banyak.
Pada 2022, tercatat ada 10,41 juta kematian. Jumlah ini tidak bisa diimbangi oleh kelahiran yang angkanya 9,56 juta jiwa. Bahkan, dari 31 provinsi yang ada di China, 13 provinsi mengalami angka kelahiran minus. Ini terjadi, antara lain, di Provinsi Shanghai, Sichuan, Liaoning, Hunan, dan Mongolia Dalam.
Berkurangnya angka kelahiran berarti semakin menuanya angkatan kerja di China. Pada 2012, penduduk usia produktif, usia 16-59 tahun, mencapai 70 persen dari total populasi. Per Desember 2022, penduduk di kelompok umur ini berkurang menjadi 62 persen dari keseluruhan populasi, sementara penduduk berumur 60 tahun ke atas berjumlah 60 persen.
Faktor kematian ini juga mengundang skeptisisme berbagai pihak. China mengeluarkan data bahwa sejak pembukaan kembali wilayah pada Desember 2022, ada 600.000 kematian akibat Covid-19. Akan tetapi, para pakar kesehatan internasional tidak percaya. Berbagai simulasi perhitungan menunjukkan, perkiraan kematian akibat Covid-19 minimal 1 juta jiwa dan akan bertambah pada bulan-bulan ke depan.
Bagi China, kondisi tersebut mengkhawatirkan karena perekonomian mereka masih bergantung pada sektor industri padat karya. Memang, pada Desember 2022, pendapatan domestik bruto China naik 3 persen setelah selama tiga tahun mengerut akibat pandemi Covid-19 dan penguncian wilayah yang ketat. Kenaikan ini baik, tetapi belum cukup untuk memecut pertumbuhan ekonomi yang bisa mengatasi ketertinggalan selama pandemi.
”Faktor terbesar yang memengaruhi penurunan jumlah penduduk ialah bertambahnya kelas menengah di China,” Kent Deng, kata pakar sejarah ekonomi China pada London School of Economics and Politics, kepada media NBC.
Bagi China, penurunan pertumbuhan penduduk mengkhawatirkan karena perekonomian negara itu masih bergantung pada sektor industri padat karya.
Ia menjelaskan, bagi masyarakat pekerja, jumlah anak berarti lebih banyak tenaga kerja untuk menggarap ladang. Sebaliknya, di kalangan masyarakat kelas menengah, mereka menginginkan keturunan yang berkualitas. Pergerakan menuju kondisi kesejahteraan yang lebih baik sekarang ditentukan dari mutu pendidikan dan pekerjaan. Terdapat pula faktor semakin tingginya biaya hidup, terutama di perkotaan.
”Jika Pemerintah China menginginkan masyarakat memiliki keturunan, tidak bisa hanya memberikan insentif pemeriksaan kehamilan. Harus ada tunjangan keluarga berkelanjutan seperti di Eropa,” kata Deng.
Tak berminat punya anak
Pemerintah China pada 1980-an mengeluarkan aturan bahwa setiap keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Tujuannya agar jumlah penduduk tidak membeludak tanpa terkendali. Budaya China yang mengagungkan anak laki-laki mengakibatkan jumlah laki-laki dan perempuan tidak imbang. Data tahun 2022 menunjukkan, ada 722 juta penduduk laki-laki dan 689 juta perempuan.
Pada 2016, aturan ini direvisi menjadi pemerintah membolehkan masyarakat memiliki dua anak. Jumlah ini lalu ditambah lagi pada 2021 menjadi satu keluarga boleh memiliki tiga anak. Akan tetapi, minat masyarakat untuk berketurunan tetap tidak bertambah.
Seperti dilansir surat kabar nasional China, Global Times, Universitas Renmin mengadakan jajak pendapat kepada 9.775 mahasiswa dari 30 perguruan tinggi. Hasil jajak pendapat itu mengungkapkan bahwa 80 persen mahasiswa berpendapat bahwa jumlah anak yang ideal di setiap keluarga adalah dua orang.
”Namun, jawaban ini tidak ada hubungan dengan keinginan responden untuk memiliki anak,” tutur sosiolog Li Ting yang mengepalai tim jajak pendapat itu.
Li menerangkan, ketika ditanya lebih lanjut, 50 persen responden menjawab bahwa jika memang memiliki anak, mereka hanya menginginkan satu orang. Terdapat pula pertanyaan lain yang mayoritas penjawabnya mengatakan bahwa mereka memilih tidak memiliki anak karena biaya hidup tinggi atau pekerjaan yang menuntut hampir seluruh waktu mereka.
Ahli demografi di Universitas Nankai, Yuan Xin, menuturkan bahwa jumlah penduduk China tetap 1,4 miliar jiwa hingga tahun 2035. Setelah itu, mulai turun menjadi 1,3 miliar pada 2050.
Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa menghitung, jumlah penduduk China pada akhir abad ke-21 adalah 800 juta jiwa. Amerika Serikat diperkirakan memiliki pertumbuhan penduduk terbesar di dunia menjadi 337 juta jiwa, tetapi melalui aspek imigrasi. (AP)