Seiring populasi yang menua, China akan menghadapi besarnya beban dana pensiun untuk rakyatnya. Puncaknya diperkirakan akan terjadi pada 2027 dengan nilai tanggungan Rp 1 triliun dollar AS.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Seiring populasi yang menua, China akan menghadapi besarnya beban penyediaan dana pensiun untuk rakyatnya. Puncaknya diperkirakan akan terjadi pada 2027 dengan nilai tanggungan Rp 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 14.390 triliun. Tanpa inovasi, dana pensiun negara akan habis pada 2035.
Sensus satu dasawarsa 2021 yang diumumkan China per 13 Mei lalu menunjukkan, penduduk berusia 60 tahun ke atas mencapai 18,7 persen dari total populasi. Artinya terjadi peningkatan jumlah penduduk usia tua sebesar 13,3 persen selama kurun waktu sepuluh tahun.
Sementara penduduk berumur 15-59 tahun menyusut 5 persen. Pada akhir 2025, penduduk berusia 60 tahun ke atas bisa mencapai 300 juta jiwa. Sebagai perbandingan, penduduk Indonesia saat ini sekitar 270 juta jiwa.
Asosiasi Asuransi China, sebagaimana dikutip South China Morning Post, pada November 2020, menyebutkan, akan terjadi kekurangan dana pensiun negara senilai 10 triliun yuan dalam satu dekade.
Akademi Ilmu Sosial China (CASS), sebuah lembaga pemikir negara, melaporkan pada 2019 bahwa cakupan dana pensiun yang harus ditanggung Pemerintah China akan mencapai puncaknya pada 2027 senilai 6,99 triliun yuan atau 1,09 triliun dollar AS. Sementara Akademi Ilmu Pengetahuan China di 2019 memperkirakan, dana pensiun negara akan habis pada 2035.
Untuk itu, Pemerintah China mulai mereformasi sistem pensiunnya yang skalanya mencapai 1,2 triliun dollar AS. Caranya adalah dengan meningkatkan keterlibatan swasta.
Para ahli berpandangan, China perlu melakukan perubahan mendasar pada program dana pensiun untuk menyediakan jaring pengaman yang memadai bagi rakyatnya. Tantangannya adalah sektor informal China sangat besar. Artinya, jutaan orang bekerja tanpa kontrak dan pemberi kerja tidak memberikan kontribusi pensiun. Akibatnya, tidak ada jaminan, termasuk jaminan pensiun, bagi para pekerja.
”Cakupan yang dipimpin negara menghadapi tantangan dan perluasan kontribusi perusahaan ke sistem pensiun dibatasi oleh pekerjaan informal,” kata Dong Keyong, seorang profesor di Universitas Tsinghua, dalam sebuah forum di Beijing.
Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi China (CBIRC), regulator perbankan dan asuransi utama negara itu, mengatakan pada akhir pekan lalu bahwa pihaknya memperluas program percontohan pensiun swasta ke dua wilayah lagi, yakni Provinsi Chongqing dan Provinsi Zhejiang. CBIRC dilaporkan juga tengah mempertimbangkan keterlibatan pengelola dana pensiun swasta dan menunjuk sekelompok manajer profesional untuk menjalankan skema baru.
Peluang
Kondisi yang dialami China itu, di sisi lain, menarik bagi para pelaku bisnis dana pensiun di sektor swasta. Penyedia dana pensiun asing juga menunggu untuk ikut serta jika aturannya mengizinkan.
Menurut para ahli, penyedia dana pensiun swasta membutuhkan insentif, misalnya keringanan pajak imbal hasil yang lebih besar. Harapannya adalah investor mau mengambil program yang ditawarkan pemerintah. Sasarannya adalah para investor yang biasanya bergantung pada hasil dari deposito bank dan investasi di sektor properti.
Jika mengacu pada pengalaman praktik di negara-negara maju, pemerintah dan perusahaan adalah kontributor utama sistem pensiun mereka. Di China, kontribusi perusahaan dan pensiun swasta hanya setara dengan 7,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir 2018. Bandingkan dengan kondisi di AS yang kontribusinya mencapai 136 persen dari PDB.
Kebanyakan warga China bergantung pada dana pensiun perkotaan yang diselenggarakan oleh negara. Hal itu mengharuskan para pesertanya untuk membayar setara dengan 16 persen dari gaji pokok staf mereka ke dana pensiun negara setiap bulan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, persentase di China itu lebih tinggi.
Mantan Menteri Keuangan China Lou Jiwei, tahun lalu, mengatakan,pensiun negara di China rata-rata hanya menopang pensiunan dengan kurang dari 50 persen dari pendapatan yang mereka peroleh sebelum pensiun. Ironisnya rasio itu diperkirakan akan turun lebih jauh. Porsi warga berusia 65 ke atas di China akan meningkat tajam sebelum stabil pada rasio sekitar sepertiga dari total populasi.
Beberapa raksasa asuransi lokal, termasuk People’s Insurance Company of China dan China Pacific Insurance Group, dan beberapa manajer investasi reksa dana telah menjual produk pensiun komersial di China. Namun, rata-rata program yang mereka jual berjangka pendek, hanya beberapa tahun. Beberapa dari mereka mencoba menjual produk berjangka panjang, dikemas dengan investasi properti. Produk milik China Pacific Insurance Group dilaporkan diterima dengan baik.
Perusahaan asuransi yang ditunjuk dalam uji coba investasi pensiun swasta pertama di Shanghai dan Suzhou hanya memikat sekitar 400 juta yuan dalam program pembelian selama tiga tahun terakhir. Itu hanya sebagian kecil dari sistem pensiun China saat ini yang besarnya senilai 8 triliun yuan. Dalam jangka panjang, CBIRC ingin meningkatkan investasi pensiun swasta yang didukung oleh deposito perbankan China sebesar 80 triliun yuan dan 20 triliun yuan lewat aneka produk.
”Kita harus mempelajari dan mengubah simpanan individu besar-besaran yang tidak memiliki karakteristik pensiun menjadi produk pensiun yang berjangka panjang, terjamin, dan menguntungkan,” kata Wakil Ketua CBIRC Xiao Yuanqi, April lalu.
Indonesia sekalipun, yang tengah menikmati bonus demografi, juga mulai menghadapi tantangan serupa dalam beberapa tahun terakhir. Dana jaring pengaman sosial tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Dana pensiun aparatur sipil negara bersama dengan TNI dan polisi, misalnya, terus membengkak membebani keuangan negara.
Hal sama terjadi pada program Jaminan Kesehatan Nasional. Setiap tahun, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mengalami defisit setiap tahun yang terus membengkak. (REUTERS)