China yang Kian Menua, Penurunan Pertumbuhan Penduduknya Mencemaskan
Pada 2055 jumlah kelompok usia produktif berusia 15-59 tahun di China diperkirakan akan berkurang setengah dari angka sekarang. Apabila itu terjadi, China akan menjadi negara dengan mayoritas penduduk menua.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — China masih menduduki peringkat pertama negara dengan penduduk terbanyak, yaitu 1,411 miliar jiwa. Akan tetapi, selama satu dekade belakangan negara itu mengalami penurunan penduduk cukup signifikan. Hal ini akan berpengaruh pada perkembangan ekonominya mengingat sebagai negara berpenghasilan menengah, China masih bergantung pada industri padat karya.
Hasil pencacahan penduduk per 10 tahun oleh Badan Statistik Nasional China diumumkan di Beijing pada Selasa (11/5/2021). China selalu melakukan pencacahan penduduk setiap 10 tahun yang dimulai sejak tahun 1990.
”Penduduk China akan tetap 1,4 miliar untuk beberapa tahun ke depan. Namun, negara perlu memikirkan langkah untuk menambah jumlah penduduk apabila kita tidak ingin terjebak menjadi negara menua,” kata Ning Jizhe, Kepala Badan Statistik Nasional China.
Hasil sensus mengungkapkan angka pertumbuhan tahunan periode 2011-2019 adalah 0,53 persen. Jumlah ini menurun drastis pada 2019 akibat pandemi Covid-19 menjadi 0,04 persen. Kantor berita China, Xinhua, menjabarkan bahwa tingkat kesuburan di negara tersebut hanya 1,3 persen dengan jumlah total kelahiran sepanjang tahun 2020 sebanyak 12 juta. Artinya, untuk setiap 1.000 penduduk hanya ada 10,48 kelahiran.
Sebagai gambaran, pada 1960 setiap keluarga di China rata-rata memiliki enam anak. Pada 1980 jumlah itu menurun, setiap keluarga umumnya memiliki tiga anak. Sekarang satu keluarga hanya terdiri dari 2,62 orang atau anggota keluarga cuma sebatas suami dan istri tanpa anak.
Menua
Pencacahan penduduk juga mengungkapkan bahwa kelompok masyarakat lansia kian meningkat. China mengategorikan penduduk usia produktif sebagai orang-orang dengan rentang umur 15-59 tahun. Data sensus menyebutkan kelompok usia produktif berjumlah 925 juta jiwa. Secara persentase mereka memang paling banyak, yaitu 63,53 persen dari total penduduk. Akan tetapi, ketika dilihat lebih cermat, jumlah penduduk usia produktif berkurang 7 persen dibandingkan dengan tahun 2010.
Sebaliknya, penduduk lansia atau berumur 60 tahun ke atas jumlahnya meningkat 5,44 persen dari tahun 2010, yaitu menjadi 264 juta jiwa. Mereka mencakup 18,7 persen dari keseluruhan warga ”Negara Tirai Bambu”. Pencacahan ini tidak menghitung jumlah warga Taiwan, Hong Kong, Makau, dan warga negara asing yang tinggal di China.
Ketika dilihat lebih cermat, jumlah penduduk usia produktif di China berkurang 7 persen dibandingkan dengan tahun 2010.
Kenaikan penduduk usia anak, yaitu umur 0-14 tahun, sangat rendah, yakni 1,35 persen dari tahun 2010. Persentase total kelompok usia muda ini di China adalah 17,95 persen, lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok lansia.
Pakar kependudukan Universitas Peking, Lu Jiehua, memaparkan, angka pertumbuhan penduduk ini mencemaskan. Ia menghitung pada tahun 2055 jumlah kelompok usia produktif berusia 15-59 tahun akan berkurang setengah dari angka sekarang. Apabila itu terjadi, China akan menjadi negara dengan mayoritas penduduk menua.
Meningkatkan kelahiran
Pemerintah China berpendapat, berkurangnya angka kelahiran ini karena peraturan Satu Keluarga Satu Anak yang diterbitkan tahun 1980. Penduduk yang melanggar dikenai berbagai hukuman, mulai dari denda hingga pidana. Akibat aturan ini, banyak warga China yang lebih menyukai anak laki-laki menggugurkan kandungan ketika mengetahui janinnya berjenis kelamin perempuan.
Pencacahan tahun 2021 menunjukkan, jumlah penduduk laki-laki 51,24 persen dan perempuan 48,76 persen. Pada 2015 China melonggarkan aturan dan mengizinkan satu keluarga memiliki dua anak.
Namun, peneliti obstetri dan genealogi Universitas Wisconsin-Madison di Amerika Serikat, Yi Fuxian, menjelaskan bahwa penyebab menurunnya angka kelahiran ini bukan karena aturan Satu Keluarga Satu Anak saja. Ia berteori, Pemerintah China tidak bisa menyediakan kehidupan yang memadai bagi keluarga sehingga masyarakat akhirnya memilih tidak memiliki anak karena tidak punya biaya untuk kehamilan, persalinan, dan mengasuh anak.
Data menunjukkan bahwa 63,89 persen penduduk China tinggal di wilayah perkotaan. Umumnya masyarakat tinggal di rumah atau apartemen yang sempit dengan biaya hidup selangit.
Kaum perempuan sukar hamil karena tuntutan pekerjaan. Tidak semua perusahaan menawarkan cuti melahirkan berbayar. Bahkan, seperti diperlihatkan oleh liputan kantor berita Reuters di kota Shenzhen yang angka kelahirannya tergolong tinggi, para perempuan mengaku cemas akan kehilangan pekerjaan apabila mereka hamil dan melahirkan, padahal tanpa gaji dari pekerjaan, mereka tidak akan bisa mengasuh anak.
Al Jazeera menulis, untuk ibu tunggal, asuransi dan jaminan sosial otomatis tidak tersedia karena masyarakat China masih berpandangan konservatif terhadap perempuan yang memiliki anak tanpa suami. Biaya mengasuh anak pada 2005 adalah 490.000 yuan per tahun (setara Rp 1,08 miliar). Tahun 2020 media lokal menghitung biaya mengasuh anak mencapai 1,99 juta yuan (Rp 4,3 miliar).
Xinhua melaporkan, Partai Komunis China mematok seusai pandemi Covid-19 negara bisa tumbuh paling kurang 4,7 persen setiap tahun. Batas usia pensiun juga dinaikkan dari 50 tahun menjadi 55 tahun guna mendongkrak produktivitas masyarakat. Yi Fuxian mengatakan, aturan-aturan ini justru semakin membuat masyarakat tidak mau punya anak.
”Mahalnya biaya akibat urbanisasi serta kurangnya sekolah dan hunian layak keluarga di perkotaan juga menjadi faktor yang memengaruhi keengganan masyarakat berkeluarga,” kata Yi.
Bank Dunia mengategorikan China sebagai negara berpendapatan menengah. Teknologi otomasi masih belum akrab di negara ini karena industrinya masih bergantung pada manufaktur yang memakai sistem padat karya. Sumber pendapatan negara lainnya ialah belanja produk dalam negeri karena masyarakat China adalah pasar yang besar bagi negara. (AP/AFP/REUTERS)