Dorong Warga Tambah Anak, China Perketat Aturan Industri Bimbingan Belajar
China berencana menerbitkan aturan ketat untuk industri bimbingan belajar. Industri ini turut memperbesar pengeluaran rumah tangga yang berujung masyarakat enggan menikah atau punya anak.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BEIJING, JUMAT — Demi mendorong masyarakat untuk mau memiliki anak lebih dari satu, Pemerintah China mengurangi berbagai biaya terkait pengasuhan anak. Kali ini, industri bimbingan belajar atau bimbel yang akan dikenai peraturan ketat. Harapannya, hal ini bisa meringankan beban pikiran anak dan beban finansial yang ditanggung orangtua.
Pemerintah China hendak menerapkan aturan ketat kepada perusahaan-perusahaan bimbel, seperti yang ditemukan oleh kantor berita Reuters pada Jumat (23/7/2021). Bahkan, sejumlah sumber di pemerintahan mengungkapkan, ada rencana mendorong perusahaan les itu beralih menjadi kegiatan nirlaba. Sejauh ini, pemerintah masih menggodok aturan agar perusahaan bimbel tidak bisa menambah laba ataupun menjadikan dirinya perusahaan terbuka di bursa saham.
Masyarakat China terkenal sangat kompetitif dalam mendidik anak. Demi menyekolahkan anak ke satuan pendidikan bergengsi, mereka menyuruh anak mengikuti les sepulang sekolah. Lembaga independen Masyarakat Pendidikan China melakukan survei yang mengungkapkan bahwa 75 persen anak berusia 6-18 tahun mengikuti les yang membahas ulang kurikulum sekolah.
Bahkan, les ini juga ada yang ditujukan untuk siswa pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan rentang usia 3-5 tahun. Mereka diberi bimbel mengenai kurikulum sekolah dasar agar ketika tahun ajaran baru tiba bisa diterima di SD yang dinilai orangtua bermutu tinggi. Akibatnya, tingkat stres pada anak meningkat dan orangtua juga kewalahan menanggung beban finansial yang besar.
Angka kelahiran penduduk China pada 2020 merupakan yang terendah selama 60 tahun terakhir. Hasil pencacahan penduduk per 10 tahun yang diumumkan Mei lalu menunjukkan, penduduk China saat ini adalah 1,4 miliar jiwa. Jumlah ini akan tetap sama selama beberapa tahun ke depan kecuali ada tindakan yang diambil pemerintah.
Perekonomian China masih mengandalkan sektor manufaktur sehingga ketersediaan sumber daya manusia dalam jumlah banyak sangat penting untuk pertumbuhannya. Pemerintah menargetkan pada 2025 angka kelahiran bisa bertambah dari angka 10,48 kelahiran per 1.000 penduduk saat ini. Pada Juni, Presiden Xi Jinping mengumumkan bahwa negara itu mengizinkan setiap keluarga memiliki tiga anak. Selama tiga dekade terakhir, setiap keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu anak.
Akan tetapi, kebijakan itu tidak disambut baik oleh masyarakat. Mereka mengatakan, aturan pemerintah salah sasaran karena yang membuat masyarakat China enggan menikah dan memiliki anak bukan aturan hanya boleh punya satu anak, melainkan tingginya biaya pengasuhan. Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Statistik China, biaya pengasuhan anak pada 2005 adalah 490.000 renminbi atau Rp 1,09 miliar per tahun. Pada 2020, biayanya melambung menjadi 2 juta renminbi.
Biaya terbesar dalam pengasuhan anak adalah pendidikan, dalam hal ini bimbel karena sekolah negeri gratis. Pemerintah China mencatat, industri bimbel secara keseluruhan memiliki nilai pasar mencapai 120 miliar dollar Amerika Serikat per tahun. Sejumlah korporasi raksasa, seperti Alibaba, Tencent, dan Didi, turut menanam modal di dalam industri ini.
Dalam rapat kabinet Mei lalu, Presiden Xi mengumumkan akan mengurangi beban pendidikan. Beberapa di antaranya adalah beban pekerjaan rumah dan waktu les di luar jam sekolah, terutama untuk siswa yang duduk di bangku SD dan SMP.
Kementerian Pendidikan China kemudian membuka direktorat khusus yang mengawasi praktik pendidikan oleh sektor swasta. Pertama kalinya di negara ini ada aturan yang mengelola sistem pendidikan bimbel. Pada awal Juni, Kementerian Pendidikan mengeluarkan aturan bahwa semua kegiatan les di akhir pekan, libur sekolah, dan tanggal merah wajib ditiadakan.
”Aturan ini membuat perusahaan-perusahaan bimbel bisa kehilangan pendapatan 70-80 persen. Bahkan, niat meminta perusahaan bimbel menjadi lembaga nirlaba sama saja dengan menghapus industri ini,” kata pakar ekonomi dari Funding Capital Management Beijing, Wu Yuefeng, kepada Bloomberg. (Reuters)