Isu demografi termasuk sangat sensitif secara politik bagi China sebab negara ini memerlukan sumber daya manusia yang besar untuk menggerakkan ekonominya.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BEIJING, KAMIS — Pemerintah China menyebutkan bahwa jumlah penduduk negara itu tahun lalu bertambah, Kamis (29/4/2021). Pernyataan ini disampaikan untuk menepis laporan Financial Times bahwa jumlah penduduk China telah turun.
”Sepemahaman kami, di tahun 2020 populasi China tetap tumbuh,” demikian Biro Statistik Nasional China menyatakan dalam laman resminya.
Biro Statistik Nasional China tidak memberikan detail dari pernyataannya yang hanya satu kalimat itu. Lembaga ini menyampaikan bahwa laporan detail akan disampaikan menyusul.
”Sensus ini sangat akurat, tetapi alasan penundaan publikasi hasilnya mungkin karena beberapa spekulasi itu benar,” kata Liu Kaiming, pakar tenaga kerja di Kota Shenzhen. ”Jumlah kelahiran yang dirilis Kementerian Keamanan Publik turun hampir menyentuh 10 juta jiwa. Untuk itulah, populasi tahun 2020 mungkin kurang dari 1,4 miliar jiwa.”
Pada Selasa (27/4), mengutip sumber-sumber yang mengetahui Sensus Penduduk China 2020, Financial Times melaporkan bahwa populasi China turun di bawah 1,4 miliar jiwa tahun 2020 dibandingkan tahun 2019, penurunan yang pertama selama lima dekade terakhir.
Partai Komunis China (PKC) telah mendorong pembatasan kelahiran untuk menahan laju pertumbuhan penduduk sejak tahun 1980. Namun, penurunan jumlah penduduk akan mengurangi arus pekerja pada sektor ekonomi ketika negara itu mencoba meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.
Beijing pun mengambil langkah dramatis di tahun 2015 ketika pembatasan jumlah satu anak dilonggarkan menjadi dua anak. Dampaknya ada, tetapi tidak terlalu besar. Banyak keluarga dengan satu anak akhirnya memiliki anak kedua. Namun, kelahiran total di tahun 2017-2018 menurun karena masih banyak keluarga yang hanya memiliki satu anak.
Sejak lama, populasi China diperkirakan akan mengalami puncaknya kemudian menurun sejalan dengan tren di Korea Selatan dan ekonomi berkembang lainnya di Asia. Akan tetapi, para peneliti mengatakan bahwa penurunan penduduk sepertinya terjadi sebelum mereka mencapai level pendapatan tertentu.
Negara kaya seperti Jepang dan Jerman juga terus mencari cara bagaimana mendukung populasinya yang menua dengan tenaga kerja yang terus menyusut.
Dalam laporannya pada Maret kemarin, para peneliti di bank sentral China berargumen bahwa angka kelahiran sesungguhnya lebih rendah dari data perkiraan pemerintah. Untuk menutupi kekurangan tenaga kerja, Beijing perlu mempermudah dan mempermurah orang untuk memiliki dan membesarkan anak.
”Dibandingkan dengan negara maju, transisi demografi berlangsung lebih cepat di negara kami, periode transisi yang pendek, masalah penuaan, serta kesuburan yang parah,” tulis laporan itu.
Berdasarkan data Pemerintah China, populasi pekerja potensial usia 15-59 tahun telah menyusut dari puncaknya di tahun 2011 sebanyak 925 juta jiwa. Pada 2016, Kementerian Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial menyebutkan, kelompok usia itu kemungkinan menyusut hingga 700 juta jiwa di tahun 2050.
Populasi penduduk China naik 4,7 juta di tahun 2019 atau tumbuh hanya 0,3 persen. ”Jika populasi China sudah mencapai puncaknya, mungkin tidak akan berpengaruh banyak pada dekade ini. Tapi, ini bisa berdampak besar pada ekonomi di kemudian hari,” kata Mark Williams, kepala ekonom Asia di Capital Economist.
China bisa disalip India sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. China memiliki tenaga kerja yang lebih besar. Namun, pada 2035, India diperkirakan memiliki penduduk 120 juta lebih banyak dari China. Di tahun 2050 jumlah itu bisa membengkak hingga 270 juta jiwa.
PKC telah melakukan sejumlah perubahan, tetapi belum jelas apakah kebijakan itu bisa membalikkan penurunan jumlah pekerja dalam jangka panjang dan mencari solusi sistem pensiun yang kekurangan pendanaan. (AP/REUTERS)