Kekhawatiran soal pendapatan menjadi penyebab banyak orang muda Asia Timur khawatir untuk menikah dan punya anak.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
Selama bertahun-tahun, pemimpin di semua negara mengupayakan pertumbuhan ekonomi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan warga. Di sejumlah negara Asia Timur, kemajuan ekonomi menghadirkan tantangan baru. Tantangan itu adalah ketakutan warga untuk punya anak.
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China kompak mencatat tren penurunan jumlah penduduk selama beberapa tahun terakhir. Kondisi itu terutama terjadi karena angka kelahiran lebih rendah dibandingkan angka kematian.
Angka kelahiran di negara-negara Asia Timur di bawah 2,1 anak per perempuan, tingkat kelahiran yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi. Bahkan, Taiwan dan Jepang bertahun-tahun mencatat angka kelahiran tidak sampai satu anak.
Kala jumlah bayi berkurang, kemajuan teknologi dan perawatan kesehatan membuat jumlah orang lanjut usia meningkat. Pada 2060, rata-rata 40 persen pendudukan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan berusia di atas 64 tahun atau di usia pensiun. Pada 2020-2060, kelompok usia produksi di Jepang akan berkurang 30 persen, di Korsel 26 persen, dan di China 19 persen.
Kekurangan penduduk usia produktif berarti pemangkasan tenaga kerja dan konsumen potensial. Jepang sudah merasakan dampak pemangkasan itu sejak 1995 kala penduduk usia produktifnya mulai berkurang. Jepang bolak-balik mengalami deflasi dan stagfalasi. Perekonomian sulit tumbuh karena konsumsi tidak terdorong.
Korea Selatan, Taiwan, dan China juga mulai mengalami pemangkasan penduduk usia produktif. Di sisi lain, penduduk usia pensiun terus bertambah. Peningkatan jumlah usia pensiun membuat biaya jaminan sosial terus meningkat.
Di Jepang, pemerintah antara lain harus menambah utang untuk menjaga layanan jaminan pensiun terus terselenggara. Sebab, semakin sulit mengandalkan iuran dari usia produktif yang jumlahnya semakin berkurang.
Dampak lain dari pengurangan usia produktif adalah investor pun terus berpikir ulang untuk menanam modal di komunitas yang konsumsi dan perekonomiannya sulit tumbuh. Tanpa pertumbuhan ekonomi, sulit mengharapkan kenaikan pendapatan.
Biaya anak
Kekhawatiran soal pendapatan menjadi penyebab banyak orang muda Asia Timur khawatir untuk menikah dan punya anak. Punya anak berarti harus mempersiapkan setidaknya biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Selain itu, tentu saja tempat tinggal, pangan, dan pakaian.
Standar kehidupan layak di Asia Timur, juga banyak tempat di negara lain, membuat biaya-biaya itu bisa amat tinggi. Sistem hukum di sana membuat tanggung jawab itu harus dipenuhi jika tidak mau terkena sanksi.
Karena itu, daripada terkena sanksi atau merasa bersalah karena gagal memenuhi tanggung jawab, banyak orang muda Asia Timur belum berani punya anak.
Soal perumahan, penduduk muda di kota-kota besar Asia Timur mengeluhkan kesulitan mendapat tempat tinggal yang harganya semakin tidak terjangkau. Di sisi lain, proyek baru terus hadir dan banyak unit-unit apartemen yang kosong di Seoul, Shenzhen, Hong Kong, hingga Taipei.
Kebiasaan di Asia, yang mendorong anggota keluarga lebih mudah merawat anggota keluarga lanjut usia, juga menjadi pertimbangan banyak orang muda Asia Timur. Mereka khawatir tidak bisa melakukan kewajiban itu jika memiliki anak. Bagi yang punya anak, maka akan berhemat besar-besaran agar bisa menabung sehingga bisa menyediakan dana perawatan orangtua.
Seoul, Tokyo, dan Taipei memang sudah menawarkan subsidi agar warga mau punya anak. Sayangnya, banyak warga menganggap biaya itu di bawah kebutuhan untuk bisa hidup layak. Selisih yang harus ditanggung warga dinilai terlalu besar dan sulit dicukupi dengan tingkat penghasilan sekarang.
Selain subsidi, Pemerintah Jepang, Korsel, dan Taiwan juga terus berupaya menambah jumlah warga asing untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Kecuali di Taiwan, upaya itu mendapat hambatan dari masyarakat. Berbagai laporan menunjukkan sulitnya masyarakat Jepang dan Korsel menerima orang asing.
Mereka bisa menerima pelancong dan karena itu jumlah pelawat ke Jepang dan Korsel tinggi. Sementara menerima orang untuk menetap lebih lama, maka ceritanya akan berbeda.
Kombinasi kekhawatiran punya anak dan kesulitan menerima orang asing membuat persoalan depopulasi Asia Timur pelik dipecahkan. Masalah itu, sayangnya, tidak hanya membayangi Asia Timur. Kawasan lain, termasuk Asia Tenggara, juga mulai berada di bawah bayang-bayang depopulasi yang semakin nyata dari tahun ke tahun.